Jiwa Yang Tenang Di Tengah Bumi Yang Retak (15):  Dari Pandemi Covid Ke Pandemi AI

images (6)

Oleh : Maman Supriatman || Alumni HMI

Sejarah mungkin ditulis oleh pemenang, tetapi makna hidup selalu ditemukan oleh mereka yang berani mempertanyakan pemenangnya.

Kita sedang menulis bab baru dalam sejarah manusia, bab di mana teknologi tidak mengecilkan kita, tetapi justru membuat kita lebih menyadari keagungan yang sudah ada dalam diri.

DUNIA masih menyimpan duka dari pandemi COVID-19, sebuah krisis yang bukan hanya merenggut nyawa, tetapi juga mengungkap kerapuhan peradaban modern.  

Namun, sebelum luka itu sembuh, gelombang disruptif baru telah datang: Kecerdasan Buatan (AI), yang menyebar lebih cepat dari varian virus mana pun, menginfeksi setiap aspek kehidupan dengan cara yang halus namun mendalam.  

Jika COVID menguji ketahanan tubuh kita, AI menguji batas jiwa kita. Yang satu menyerang paru-paru; yang lain mengancam kebermaknaan manusia.  

Paralel yang Mencemaskan: Dari Virus ke Algoritma*l

COVID-19 dan AI memiliki pola yang mirip. COVID melonjak dari Wuhan ke seluruh dunia dalam hitungan bulan, sementara AI berkembang dari _machine learning_ sederhana ke generative AI (seperti ChatGPT) dalam hitungan tahun, mengubah ekonomi, seni, bahkan relasi manusia.  

Pandemi memicu pro-kontra vaksin, lockdown, dan teori konspirasi. Sampai hari ini, perdebatan soal asal-usul virus; apakah dari zoonosis alami atau kebocoran laboratorium, belum sepenuhnya reda. 

WHO sempat menyebut kemungkinan kebocoran laboratorium sangat kecil, tetapi laporan independen seperti The Wall Street Journal (2021) membuka ruang skeptisisme. 

Demikian pula soal vaksin: dari Robert Malone, penemu teknologi mRNA, muncul peringatan mengenai efek jangka panjang yang belum sepenuhnya diketahui.  

Kini, di era AI, perpecahan muncul antara techno-optimist yang memandang AI sebagai solusi segala masalah, dan doomers yang memperingatkan potensi kehancuran, seperti sering disuarakan Elon Musk dan Yuval Noah Harari.  

Selama COVID, kita bergantung pada Zoom dan telemedicine. Kini, kita menyerahkan keputusan moral pada algoritma, mulai dari dating apps yang memilih pasangan, hingga AI hakim yang menimbang vonis.  

“Kita tidak takut pada mesin yang berpikir, tapi pada manusia yang berhenti berpikir,” ujar John McCarthy, Bapak AI.  

Ketika Mesin Menggantikan Lebih dari Sekadar Tenaga

Bank Dunia (2023) memprediksi 40% pekerjaan global akan terdampak otomatisasi. AI tidak hanya menggantikan buruh pabrik, tetapi juga profesi elit: analis keuangan, pengacara, bahkan penulis.  

Yang tersisa hanyalah pekerjaan yang membutuhkan empati dan kreativitas murni, jika mesin belum bisa menirunya sepenuhnya.  

Generasi Alpha kini lebih nyaman berbicara dengan _AI companion_ (seperti Replika) daripada teman nyata. Deepfake dan synthetic media mengaburkan realitas, memunculkan pertanyaan: “Apa itu benar, atau hanya algoritma yang sangat persuasif?”

Jika COVID membuat kita social distancing, AI bisa membuat kita humanity distancing, bersama tapi terasing di ruang gema digital.  

Maka muncul pertanyaan etika yang mengguncang fondasi kemanusiaan:

– Jika AI bisa menulis puisi seperti Rumi, melukis seperti Da Vinci, atau mensimulasikan cinta, apakah seni dan kasih sayang masih eksklusif milik manusia?  

– Jika robot priest (seperti di kuil-kuil India) bisa memimpin ritual, apakah berkah bisa dikodekan? 

“Bahaya terbesar AI bukanlah bahwa ia akan memberontak, tapi bahwa ia akan menuruti kita dengan sempurna, termasuk perintah yang jahat,” tulis Nick Bostrom dalam Superintelligence.  

AI dan Skenario Great Reset: Kontrol atau Pembebasan? 

Sejarawan Yuval Noah Harari mengingatkan, “Krisis adalah peluang besar untuk mempercepat perubahan.” Dari sini muncul gagasan The Great Reset yang diusung World Economic Forum,, sebuah ajakan untuk “mengatur ulang” ekonomi global menuju sistem yang lebih digital, hijau, dan inklusif.  

Namun, Naomi Klein, penggagas istilah disaster capitalism, memberi peringatan: krisis sering dimanfaatkan oleh elit untuk memperluas kontrol sosial dan ekonomi, menciptakan normal baru, _new normal_, yang menguntungkan segelintir pihak.  

Contoh:

– AI digunakan untuk memberi atau mencabut hak berdasarkan perilaku di China.

– Bias Algoritma: Studi Joy Buolamwini (MIT) membuktikan facial recognition lebih sering salah mengenali wajah perempuan dan kulit berwarna.  

Jika COVID memaksa kita menyerahkan sebagian kendali kepada negara dan otoritas medis, pandemi AI memaksa kita menyerahkan kendali kepada algoritma. Dari biopolitics (politik tubuh) menuju datapolitics (politik data), dari protokol kesehatan menuju protokol perilaku digital.  

Seperti kata Slavoj Žižek: “Masalah utama bukan apakah algoritma lebih pintar dari kita, tetapi siapa yang mengendalikan algoritma itu.”

Epilog: Jiwa yang Selamat di Era AI

COVID mengajari kita tentang kerapuhan fisik; AI menguji kerapuhan jiwa. Yang satu membuat kita takut pada sentuhan; yang lain membuat kita lupa akan kehangatannya.  

Di sekolah-sekolah, anak-anak sekarang belajar menulis esai dengan bantuan AI. Seorang guru bercerita: “Mereka bisa menghasilkan tulisan sempurna secara tata bahasa, tapi kosong dari pengalaman nyata.”

Di klinik-klinik terapi, pasien mulai mengaku lebih nyaman berbagi cerita pada chatbot daripada psikolog manusia. “Dia tidak pernah menghakimi,” kata seorang pasien tentang AI-nya.  

Tapi bukankah justru dalam penghakiman itulah kita tumbuh? 

Dalam ketidaksempurnaan percakapan manusiawi, dalam jeda yang canggung, dalam salah paham yang memicu diskusi lebih dalam, kita menemukan ruang untuk menjadi lebih manusiawi.  

Seorang penyair tua pernah berkata: “Kita tidak kehilangan puisi ketika mesin bisa menulisnya. Kita kehilangan puisi ketika kita berhenti merasakannya.” 

AI bisa meniru Rumi, tapi tidak bisa mengalami kesepian di tengah keramaian seperti Rumi. Ia bisa menganalisis tren pasar, tapi tidak bisa merasakan getir seorang pedagang kecil yang usahanya bangkrut.  

Ia bisa merekomendasikan lagu berdasarkan algoritma, tapi tidak bisa memahami mengapa kita masih mendengar lagu lama yang mengingatkan pada seseorang yang sudah pergi.  

Sejarah mungkin ditulis oleh pemenang, tetapi makna hidup selalu ditemukan oleh mereka yang berani mempertanyakan pemenangnya.

Kita sedang menulis bab baru dalam sejarah manusia, bab di mana teknologi tidak mengecilkan kita, tetapi justru membuat kita lebih menyadari keagungan yang sudah ada dalam diri.  

Seperti kata Al-Qur’an: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri…” (QS Fushshilat: 53).  

AI mungkin bisa menaklukkan ufuk, tetapi ia takkan pernah bisa menguasai horizon dalam jiwa kita, tempat di mana makna sejati bersemayam.  

Di tengah bumi yang retak ini, jiwa yang tenang adalah mereka yang tetap bisa melihat bintang-bintang, meski layar-layar di sekelilingnya penuh dengan iklan yang disesuaikan algoritma.  

Ia tidak anti-teknologi, tetapi tahu persis kapan harus mematikan mesin, dan menyalakan hatinya. 

والله أعلم  

MS 03/05/25

(Foto: ilustrasi/IST)

Posted in

BERITA LAINNYA

Jiwa Yang Tenang Di Tengah Bumi Yang Retak (4):  Cacat Metafisika, Nestapa Modernisme Dan Resakralisasi Kurikulum

Oleh : Maman Supriatman || Alumni HMI Lapar metafisika manusia…

Hati-hati, Pohon Bambu Belakang Stadion OROM Condong Ganggu Kendaraan Lewat

GETARBABEL.COM, BANGKA — Para pengemudi bus dan truk yang akan…

Jelang Arus Mudik, Polres Bangka Barat Cek Distribusi BBM di SPBU

GETARBABEL.COM, BANGKA BARAT —Polres Bangka Barat mulai mengecek distribusi stok…

POPULER

HUKUM

hipk

IPTEK

drone

TEKNOLOGI