Tangis Kosmis Di Ujung Ramadhan (9): Ratapan Semesta Atas Dekadensi Manusia, Alarm Eskatologos dan Kode Genetika Kebangkitan 

images

Oleh : Maman Supriatman || Alumni HMI

Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah menolaknya, malah berkehendak menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir itu tidak menyukainya” (QS. At-Taubah: 32).

Bencana alam yang semakin meningkat—banjir, gempa bumi, kebakaran hutan, perubahan iklim, krisis politik, ekonomi, dan budaya—semuanya bukan sekadar gejala alam biasa. 

Dalam perspektif Eskatologi Islam, alam semesta memiliki hubungan erat dengan perilaku manusia. Ketika kezaliman dan dosa merajalela, maka alam pun ikut berduka dan menampakkan tanda-tanda kehancurannya. 

Seperti kata Ibnu Qayyim, “Sesungguhnya bumi dan langit menangis karena kemaksiatan, dan keduanya bersaksi atas amal manusia.”

Ramadhan yang seharusnya menjadi bulan pembaruan moral gagal mengubah keadaan dunia. Tangis perpisahan dengannya menjadi lebih dari sekadar emosional; ia adalah ratapan atas dunia yang terus menerus menolak untuk kembali kepada fitrah. 

Jalaluddin Rumi pernah berkata, “Apa yang engkau cari di luar dirimu telah ada di dalam. Tetapi engkau lupa. Dan Ramadhan datang setiap tahun untuk mengingatkanmu kembali.”

Dialog Imajiner Rumi dan Syekh Imran Hosein

Dalam penglihatan ruhani, seakan dua tokoh dari zaman berbeda bertemu di tepian waktu: Jalaluddin Rumi dan Syekh Imran Hosein.

Mereka memandang dunia dari atas hamparan langit yang remang. Bumi di bawah mereka berguncang, tak hanya karena gempa, melainkan karena dosa yang terus menggulung.

Rumi berkata lirih:

“Aku melihat manusia mengejar cahaya yang palsu. Padahal lentera sejati telah ia biarkan padam dalam jiwanya. Apakah ini zaman yang dijanjikan?”

Syekh Imran menjawab, matanya tajam menembus zaman:

“Ya, ini adalah zaman di mana Dajjal memimpin bukan dari mimbar, tapi dari layar-layar. Mereka melihat dengan satu mata, dan kehilangan basirah.”

Rumi menggenggam tongkat kayu:

“Aku dulu menari karena cinta, kini aku ingin menari karena duka. Bukankah Ramadhan adalah jamuan rahmat? Mengapa manusia malah menutup jendela jiwanya?”

Syekh Imran menarik napas dalam:

“Karena hati mereka dikuasai materialisme. Ramadhan yang datang seharusnya menjadi Madrasah akhir zaman. Tapi mereka sibuk dengan diskon, bukan dzikir.”

Rumi terdiam sejenak, lalu berkata lembut:

“Tuhan tidak pernah jauh. Tapi mereka terlalu bising untuk mendengar panggilan-Nya.”

Syekh Imran mengangguk:

“Dan ketika fitnah besar datang, hanya mereka yang punya batin tercerahkan yang mampu bertahan. Aku telah mengingatkan dalam kitab-kitabku, tapi kaum akademisi mencibir, seakan kiamat adalah mitos.”

Rumi menggeleng, lalu berujar:

“Manusia terlalu terpesona pada bentuk. Padahal kebenaran tidak memiliki bentuk.”

Syekh Imran menutup percakapan:

“Dan karena itulah, wahai Rumi, kita harus berpesan pada generasi akhir ini: Jadikan Ramadhan bukan hanya ritual, tapi strategi hidup menghadapi zaman penuh tipu daya.”

Eiplog: Ratapan Semesta dan Kode Genetika Kebangkitan

Di malam terakhir Ramadhan, saat langit menggantungkan air matanya dan bumi menggigil dalam sunyi, dua ruh mulia bertemu di suatu ruang gaib yang melampaui waktu. 

Jalaluddin Rumi melangkah ringan dengan wajah yang memantulkan kedalaman cinta, sementara Syekh Imran Hosein hadir membawa beban zaman yang menggantung di bahunya.

Rumi berkata: Wahai Syekh, pernahkah kau dengar tangis semesta? Bukan sekadar denting hujan atau bisik angin, tetapi ratapan yang datang dari dalam tanah, dari akar-akar yang patah, dari udara yang sesak oleh dosa-dosa manusia. Alam tidak diam. Ia menangis bersama Ramadhan yang hendak pergi.

Syekh Imran menjawab perlahan: Ya, aku mendengarnya. Tangis itu bukan hanya ungkapan duka, tapi juga peringatan. Alam telah menjadi saksi dan sekaligus korban dari dekadensi moral manusia. Banjir, gempa, perubahan iklim, semuanya adalah bayang-bayang kerusakan spiritual umat manusia. Ketika kezaliman merajalela, langit pun enggan menurunkan rahmatnya.

Rumi menarik napas dalam-dalam, lalu berkata: Padahal Ramadhan datang membawa wewangian fitrah, menggugah hati yang tertidur, menghidupkan jiwa yang layu. Tapi mengapa setelah ia pergi, manusia kembali menari dalam pesta lupa, larut dalam gemerlap dunia seolah tak ada esok?

Syekh Imran menunduk dan berkata: Karena manusia telah menjadikan dunia sebagai kiblat baru. Mereka memperlakukan Ramadhan sebagai festival, bukan transformasi. Ramadhan seharusnya menjadi waktu untuk membakar kemunafikan, bukan hanya menghindari makan dan minum.

Rumi menatap langit dan berkata: Apakah ini pertanda bahwa umat ini takkan pernah benar-benar berubah? Apakah kehancuran dunia sudah menjadi takdir yang tak bisa ditawar?

Syekh Imran menjawab: Tidak semua akan binasa. Karena, selalu ada jiwa-jiwa yang bertahan. Mereka yang menjadikan Ramadhan sebagai titik balik, bukan hanya untuk melawan hawa nafsu, tapi juga melawan kezaliman, melawan dominasi kekuasaan global yang menindas. Mereka yang memperkuat tauhid dan membangun ketahanan ruhani. Mereka adalah bara dalam gelap.

Rumi tersenyum lirih: Mereka ibarat lilin yang terus menyala walau diterpa badai. Mereka tahu bahwa Ramadhan bukan sekadar ibadah individual, tetapi ladang jihad spiritual dan sosial. Generasi Qur’ani tidak lahir di ruang hampa. Mereka ditempa dalam perjuangan, sebagaimana kata Sayyid Qutb.

Syekh Imran melanjutkan: Tapi bahaya besar sedang mengintai. Budaya konsumtif dan candu digital telah menjauhkan generasi muda dari makna sejati Ramadhan. Mereka sibuk mengejar viralitas, bukan keabadian. Jika ini dibiarkan, bagaimana mereka akan bertahan menghadapi fitnah Dajjal yang semakin mendekat?

Rumi mengangguk perlahan: Maka Ramadhan harus diwariskan bukan sebagai kenangan, tapi sebagai warisan genetik perlawanan. Sebagai kompas yang menunjukkan arah dalam badai akhir zaman. Karena Cahaya Allah tidak akan pernah padam, sekalipun seluruh dunia bersatu untuk memadamkannya.

Syekh Imran menutup matanya sejenak lalu berkata: Ramadhan adalah rahmat yang datang sekali setahun, namun bekasnya harus tertanam sepanjang zaman. Tangis kosmis bukan ratapan, tapi panggilan untuk bertindak. Sebab dalam kegelapan, hanya Cahaya Tauhid yang menjadi penuntun.

Rumi menambahkan dengan nada haru: Maka, wahai umat, bakarlah dirimu dengan semangat tauhid. Jadilah obor yang menerangi zaman yang gelap. Karena hanya mereka yang terbakar oleh Cinta Ilahi yang akan selamat dalam badai besar yang sedang datang.

Ali Syariati berkata: “Manusia harus berubah menjadi subjek sejarah, bukan objek yang digulung zaman.”

Ketika percakapan dua ruh itu memudar bersama fajar yang pelan-pelan menyingsing, bumi masih menggigil dan langit masih bersaksi. Tapi cahaya kecil menyala di kejauhan: harapan, selama masih ada mereka yang memilih untuk kembali pada fitrah.

Ramadhan telah usai, tapi pesan langit belum selesai. Sebab di depan sana, sebuah lonceng kematian sedang bersiap berdentang: kematian ekonomi kapitalis pasca kebijakan tarif Donald Trump yang mengguncang April ini. Dunia sedang bergerak menuju babak baru dari tangis kosmis.

Di ujung zaman yang gelap, hanya Cahaya Tauhid yang bisa menjadi kompas. Dan Ramadhan adalah pengingat abadi tentang hal itu.

Esai ini ditutup dengan api, bukan air mata. Sebab, di ujung zaman, hanya yang berani membakar diri dengan semangat Tauhid yang akan menjadi penerang.

والله أعلم

MS, 10/04/25

(Foto: Ilustrasi/IST)

Posted in

BERITA LAINNYA

Tragis Nasib Kakek ini! 5 Bulan Menunggu, Hasil Panennya Dibakar OTD

Hari ini, Jum’at (9/6/2023) warga tweeps dikejutkan dengan postingan @AREAJULID…

Sah! Anggota KPU Bangka dan Pangkalpinang Dilantik

Anggota KPU Bangka yang dilantik

Porwanas XIV 2024 Kalsel,Sebagian Besar Kontingen PWI Provinsi Boikot Acara Pembukaan

GETARBABEL.COM, BANJARMASIN — Berbeda dengan pelaksanaan Pekan Olahraga Wartawan Nasional…

POPULER

HUKUM

mediaonlinenatal2024ok

IPTEK

PolitikUang-Copy

TEKNOLOGI