Tangis Kosmis di Ujung Ramadhan (2)

images

Oleh : Maman Supriatman || Alumni HMI

KETIKA Ramadhan pergi, langit menangis dengan hujan yang lembut, dan bumi bergetar dalam diamnya, seolah seluruh semesta meratapi kepergian tamu agung yang singgah sebulan penuh. 

Ini bukan sekadar peralihan waktu, melainkan perpisahan antara kekasih dengan Sang Kekasih, sebuah metafora kosmis yang dirajut oleh Rumi dalam tarian rindu dan kepasrahan.  

Langit yang Menitiskan Cahaya

Langit, dalam kesunyiannya, adalah cermin jiwa-jiwa yang merindukan. Setiap tetes hujan adalah air mata bintang-bintang yang kehilangan teman dialognya: doa-doa manusia yang membumbung tinggi, merobek kegelapan, menyentuh ‘Arasy. 

Secara logis, ini adalah pertemuan siklus bulan: Ramadhan tiba dan pergi dengan fase sabit, mengajarkan kita tentang ketidakkekalan. 

Namun, secara spiritual, ia adalah pengingat bahwa setiap pertemuan mengandung perpisahan, dan setiap perpisahan menyimpan janji pertemuan kembali. 

Rumi berkata: “Langit menangis bukan karena ia kehilangan bulan, tapi karena ia tahu air matanya akan menyuburkan bumi yang berpuasa.”

Bumi yang Merunduk dalam Syukur

Bumi, di sisi lain, meratap dengan caranya sendiri. Ia kehilangan gemerisik sujud di malam hari, derap kaki yang bergegas ke masjid, dan desahan tasbih yang menenangkan debunya. 

Bunga-bunga layu bukan karena panas, tapi karena mereka tak lagi mendengar lantunan Al-Qur’an yang membuatnya bergoyang. Secara rasional, ini adalah hukum alam: aktivitas manusia memengaruhi ekosistem. 

Tapi dalam lensa tasawuf, bumi adalah kekasih yang merindukan sentuhan kaki hamba-hamba yang tawadhu. “Bumi menangis karena ia tahu: manusia mungkin kembali lalai, tapi langit akan selalu mengirimkan fajar sebagai panggilan”, bisik Rumi dalam angin yang berhembus pelan.  

Logika dan Spiritualitas: Dua Sayap Burung yang Sama

Di sini, logika dan spiritualitas bersatu. Siklus bulan bukan hanya fakta astronomi, tapi simbol dari perjalanan insan menuju Khalik-nya. Ramadhan pergi agar kita belajar menghargai waktu, sebuah konsep logis yang dijelaskan Al-Qur’an: 

“Demi masa. Sesungguhnya manusia dalam kerugian.” Namun, air mata langit dan bumi mengajarkan bahwa kerinduan adalah bentuk tertinggi dari ingatan. 

Seperti kata Rumi: “Kau menangis bukan karena kehilangan, tapi karena kau terlalu kaya akan cinta sehingga tak bisa menyimpannya sendirian.”

Epilog: Fajar Setelah Tangisan

Ketika Ramadhan pergi, langit dan bumi tak sekadar berduka. Mereka menari dalam diam, merayakan pertemuan yang akan datang. Setiap tangisan adalah benih harapan; setiap perpisahan adalah janji reuni. 

Dalam tetes hujan, ada garam yang mengawetkan doa-doa. Dalam debu bumi, ada debu yang akan bangkit sebagai sajadah di hari akhir. 

Ramadhan mungkin pergi, tapi cahayanya tetap melekat di langit-langit hati, seperti puisi Rumi yang tak pernah usai: “Kau pergi, tapi rindumu lebih dekat daripada nafasku.” 

Esai ini adalah harmoni antara akal dan kalbu, di mana langit dan bumi bukan sekadar elemen alam, melainkan sahabat sejati dalam ziarah manusia mencari makna. Ramadhan pergi, tapi air matanya tetap mengalir dalam diri kita: sebagai taufik, sebagai hidayah, sebagai fajar yang menuntun kita menapaki jalan pencerahan untuk pulang.

والله أعلم

MS 03/04/25

Posted in

BERITA LAINNYA

OPINI || Kotak Kosong Bukan Kotak Amal

Oleh : GUSTARI || Tokoh Masyarakat Bangka FENOMENA kotak kosong…

Tim Damkar Wilayah Bangka Utara Berhasil Jinakkan Dua Karhutla di Belinyu

GETARBABEL.COM, BANGKA –– Musim kemarau yang terjadi saat ini harus…

Polres Babar Amankan Gereja-gereja Saat Ibadah Kenaikan Isa Al Masih

GETARBABEL.COM, BANGKA BARAT — Personil Polres Bangka Barat (Babar) melaksanakan…

POPULER

HUKUM

hipk

IPTEK

drone

TEKNOLOGI