Dini Safiril Ilmi, Putri Lurah Srimenanti Wakili Babel di MHQ SeIBa Internasional 2024
By beritage |
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sungguh membanggakan prestasi Dini Safiril Ilmi, mahasiswi…
Saturday, 14 June 2025
Oleh : Maman Supriatman || Alumni HMI
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan tangan manusia, agar Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, supaya mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41).
Ayat ini bukan hanya teguran Ilahi, tapi juga kaca eskatologis yang memantulkan kondisi akhir zaman. Sebuah nubuwwah yang terus membenarkan dirinya dalam peristiwa demi peristiwa dunia hari ini: kerusakan ekologis, krisis kemanusiaan, bahkan keheningan spiritual yang mengerikan.
Tafsir eskatologis atas Ayat ini membuka tabir bahwa kerusakan _(fasad)_ bukan sekadar fenomena alam, melainkan isyarat akhir zaman yang tak bisa diabaikan.
Ini bukan kerusakan biasa, ini adalah sinyal dari langit bahwa dunia sedang menuju fase transisi besar: _qabla al-inhiyar al-kamil,_ sebelum kehancuran total.
Dalam konteks ini, kerusakan yang dimaksud Ayat di atas bukanlah kerusakan satu sektor, tetapi keretakan kosmik, titik kritis dalam sejarah manusia di mana makna, moral, dan spiritualitas tercerabut dari akar penciptaannya.
Maka, sebelum bumi benar-benar retak, ada fase kesunyian terakhir, yaitu saat manusia masih diberi kesempatan untuk membaca tanda-tanda zaman, sebelum semuanya menjadi terlambat.
Epistemologi Bermata Satu: Awal dari Keretakan Kosmis
Kerusakan itu tidak muncul tiba-tiba. Ia dibentuk oleh sistem pengetahuan yang cacat secara metafisik. Inilah yang disebut sebagai sistem Dajjalik: sebuah cara membaca dunia yang hanya mengandalkan mata lahir, mata empiris, mata rasional, yang silau oleh cahaya buatan namun buta terhadap Nur Ilahi.
Sains berkembang pesat, tapi lupa pada hikmah. Teknologi meroket, tapi spiritualitas tenggelam. Maka, kerusakan yang hari ini melanda darat dan laut adalah buah dari sistem pengetahuan bermata satu yang telah mengabaikan dimensi Wahyu sebagai Sumber Kebenaran Tertinggi.
Inilah tafsir eskatologis dari QS. Ar-Rum: 41: manusia sedang menciptakan nerakanya sendiri dengan tangannya, dengan ilmunya, dengan sistemnya. Dan Allah memperlihatkan akibatnya di dunia ini, sebagai peringatan, agar mereka kembali sebelum waktunya habis.
Agama yang Tercerabut dari Zaman
Ironisnya, agama pun terperangkap dalam jebakan yang sama. Ulama-ulama yang semestinya menjadi penjaga nurani zaman, malah sibuk memperdebatkan hal-hal furu’ yang terlepas dari kenyataan dunia yang sedang runtuh. Kitab-kitab dibaca tanpa konteks. Akhirat dibahas tanpa memperhatikan isyarat keruntuhan dunia yang semakin dekat.
Padahal, dalam perspektif eskatologis, agama bukan hanya menyelamatkan akhirat, tetapi juga menuntun manusia membaca tanda-tanda sebelum _Malhamah Kubra_ datang.
Tafsir Ar-Rum Ayat 41 mengajak kita bukan hanya bertobat, tapi mengubah cara kita membaca dunia, dari kacamata sempit menuju pandangan Profetik.
“Al-Qur’an adalah kitab yang membicarakan alam semesta sekaligus jiwa manusia. Barangsiapa memisahkan keduanya, ia telah memisahkan agama dari realitas.”
(Bediuzzaman Said Nursi, Risalah An-Nur).
Di Mana Kita Berdiri?
Di tengah gempuran krisis iklim, ketimpangan sosial, dan keringnya makna, kita seperti terperangkap dalam labirin kesibukan yang tak berujung. Setiap hari, berita tentang banjir, perang, dan korupsi menjadi rutinitas yang mematikan rasa. Di manakah posisi kita? Apakah kita sekadar penonton, atau bagian dari solusi?
QS. Ar-Rum: 41 mengingatkan bahwa setiap kerusakan adalah cermin kesalahan kolektif. Saat hutan terbakar, laut tercemar, atau anak-anak kelaparan, itu bukan hanya “bencana alam”, tapi panggilan untuk mengoreksi diri.
Sebagaimana kata Buya Hamka: “Bencana adalah surat cinta dari Tuhan yang ditulis dengan huruf-huruf besar, agar manusia terbangun dari kelalaian.”
Solusi Majma’ al-Bahrain: Belajar dari Khidr dan Musa
Kisah Musa dan Khidr dalam Surat Al-Kahfi (18: 60-82) menawarkan paradigma majma’ al-bahrain, tempat bertemunya dua lautan: ilmu lahir dan ilmu batin. Musa, simbol syariat dan logika, gagal memahami tindakan Khidr yang merusak kapal, membunuh anak, dan memperbaiki tembok. Khidr, pemegang ilmu laduni, mengajarkan bahwa Kebenaran Ilahi seringkali melampaui rasionalitas manusia.
Di sini, Al-Qur’an mengajak kita menghidupkan “dua mata”: mata indrawi untuk membaca ayat-ayat kauniyah, dan mata hati untuk menangkap ayat-ayat qur’aniyah. Inilah esensi membaca Surat Al-Kahfi setiap Jumat: mengingatkan diri agar tidak terjebak dalam dikotomi ilmu, tapi merajut harmoni antara sains dan hikmah, antara fakta dan makna.
“Ilmu tanpa spiritualitas buta, spiritualitas tanpa ilmu lumpuh.”
(Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science).
Dari ruang akademik hingga ruang politik, sistem pengetahuan yang memisahkan langit dan bumi terus melahirkan generasi teknokrat yang buta arah. Ini bukan sekadar kegagalan kebijakan, melainkan buah dari krisis epistemik yang telah berlangsung berabad-abad.
Dalam konteks eskatologis, ini adalah fase akhir dari dominasi sistem dunia yang tidak berpijak pada Hikmah Ilahiah. Kita tidak sedang menunggu keruntuhan, kita sedang hidup di dalamnya.
Ramadhan bukan sekadar ritual, tapi interupsi kosmis, jeda yang diberikan langit agar manusia kembali ke fitrah epistemiknya. Dalam malam-malam terakhir Ramadhan, manusia diberi kesempatan untuk kembali membuka mata batinnya, agar bisa melihat tanda-tanda retakan yang semakin dekat.
Kembalilah, kata QS. Ar-Rum: 41, bukan hanya kepada ibadah, tapi kepada kebenaran makna. Kembali bukan sekadar ke masjid, tapi ke cara berpikir yang menyambungkan langit dan bumi. Karena jika tidak, maka apa yang tersisa hanyalah kesunyian terakhir sebelum semuanya runtuh.
Epilog: Jiwa yang Tenang di Atas Bumi yang Retak
Esai ini menutup ziarah Tangis Kosmis yang selama Ramadhan mengajak kita melihat dunia bukan hanya dari kaca data, tapi dari mata batin yang tercerahkan.
Namun ini bukan akhir, melainkan awal dari babak berikutnya: narasi jiwa-jiwa yang tetap tenang di tengah dunia yang mulai retak.
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama (yang benar ilmunya).
(QS. Fathir: 28).
Semoga kita menjadi bagian dari mereka, yang membaca zaman dengan dua mata, yang mendengar tangis bumi yang retak, dan menuntun umat kembali sebelum terlambat.
وَاللّٰهُ أَعْلَمُ
MS 18/04/25
(Foto : Ilustrasi /IST)
Posted in SOSBUD
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sungguh membanggakan prestasi Dini Safiril Ilmi, mahasiswi…
GETARBABEL.COM, BELTIM-– Dengan torehan waktu satu jam 39 menit dan…
GETARBABEL.COM, BANGKA – Rabu (28/8/2024, bertempat di Hotel Manunggal Sungailiat…
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sejumlah ASN…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sungguh miris…
GETARBABEL.COM, BANGKA- Kawasan hutan seluas…