Tangis Kosmis Di Ujung Ramadhan (15): Jihad Sunyi Melawan Sindrom Tiktok

IMG_20250416_072211_11zon

Oleh : Maman Supriatman || Alumni HMI

Di balik layar-layar kecil yang menyala terang di genggaman tangan, sebuah gelombang sunyi sedang menggerus fondasi kesadaran kita. 

Anak-anak yang dahulu bertanya tentang bintang dan masa depan, kini terpaku pada scrolling tanpa ujung, dibuai algoritma yang menjinakkan naluri berpikir dan membius kecakapan berempati. Kita menyebutnya: Sindrome Tiktok.

Dalam esai sebelumnya, kita menyoroti strategi pencegahan: regulasi negara, pengawasan masyarakat, serta parenting Islami di level keluarga. 

Namun, langkah pencegahan saja tak cukup. Terlalu banyak yang telah tenggelam. Terlalu dalam luka yang diam-diam menganga. Dan bahaya terbesar adalah ketika masyarakat tak lagi menganggap ini sebagai masalah.

Maka, esai ini berdiri sebagai lonceng peringatan dan pelita kecil: inilah jihad kita pasca-Ramadhan, jihad yang tidak berdebu dan berdarah, tetapi sunyi dan mendalam: jihad melawan candu yang menyamar sebagai hiburan, yang menghilangkan kemampuan anak-anak kita untuk hening, berpikir, dan menyerap makna hidup yang sejati.

Sindrom Kecanduan Tiktok: Dampak Psikologis dan Kognitif

Secara harfiah, kata “velocity” dalam bahasa Inggris berarti “kecepatan”, yaitu ukuran seberapa cepat sesuatu bergerak dalam suatu arah tertentu.

Namun, dalam konteks “TikTok Velocity Syndrome”, istilah “velocity” digunakan secara metaforis untuk menggambarkan kecepatan konsumsi dan pergantian tren konten di TikTok (atau media sosial secara umum).

Jadi, “TikTok Velocity” secara harfiah: kecepatan (velocity) TikTok. Makna yang dimaksud adalah, seberapa cepat konten viral berganti, seberapa cepat pengguna ingin mendapatkan stimulasi baru, dan seberapa cepat perhatian kita bergeser dari satu video ke video lainnya.

Syndrome di sini berarti semacam pola perilaku atau dampak psikologis dari terlalu seringnya paparan kecepatan ekstrem tersebut.

Gejala yang muncul adalah: rentang perhatian yang makin pendek (short attention span), cepat bosan, butuh stimulasi instan terus-menerus, dan sulit fokus pada konten yang lebih lambat atau panjang.

Berikut pendalaman lebih lanjut tentang “TikTok Velocity Syndrome” dari sudut pandang psikologi, media digital, dan budaya populer.

“TikTok Velocity Syndrome”, belum merupakan istilah klinis resmi, tapi istilah populer untuk menggambarkan dampak psikologis dan kognitif akibat kebiasaan mengonsumsi konten ultra-cepat seperti di TikTok (juga berlaku di Reels, Shorts, dll).

Kata kuncinya: “velocity” = kecepatan. TikTok mengandalkan video pendek (5–60 detik), algoritma agresif, dan umpan tanpa akhir (infinite scroll), yang menciptakan lingkungan digital super cepat, serba instan, dan tinggi stimulasi.

Beberapa efek yang dikaitkan dengan “velocity syndrome”:

Short Attention Span (Rentang Perhatian Pendek)

– Otak terbiasa mendapat stimulasi cepat: saat konten lambat atau butuh konsentrasi (misal: buku, kuliah, diskusi panjang), jadi cepat bosan.

Dopamine Loop. Tiap video menarik = suntikan kecil dopamin. Lama-lama otak “ketagihan” klik cepat, mirip dengan pola kecanduan, susah menikmati hal-hal yang butuh waktu.

Mental Fatigue & Overstimulation. Terlalu banyak informasi dalam waktu singkat membuat otak lelah secara tak sadar. Ini yang membuat: cemas _(anxious),_ merasa “numb” (mati rasa emosional), sulit tidur atau fokus.

Dari sisi media digital, TikTok (dan platform sejenis) didesain untuk maksimalisasi _engagement:_ Semakin cepat “swipe”, semakin banyak data yang dikumpulkan algoritma; mereka pelajari seleramu, lalu beri konten yang bikin kamu makin betah.

Velocity di sini bukan cuma soal konten yang cepat, tapi juga: perputaran tren yang sangat singkat, cepatnya viralitas dan kejatuhan seleb dadakan, dan pengguna ingin kepuasan instan tanpa menunggu.

Dari sudut budaya populer, fenomena ini menciptakan pola hidup “fast content, fast life”: Musik cepat viral, lalu cepat ditinggal, influencer naik-turun popularitas dalam hitungan hari, bahkan opini publik cepat berubah hanya karena satu video.

Akibatnya, budaya jadi dangkal _(shallow culture)_, sulit membangun depth (kedalaman berpikir atau relasi), dan hidup jadi seperti “maraton scroll” yang tak berujung.

Anatomi Kecanduan: Ketika Pikiran Diculik, Jiwa Ditawan

Sindrome Tiktok bukan sekadar perilaku berlebihan dalam bermedia sosial. Ia adalah perpaduan antara disorientasi atensi, kehilangan kedalaman kognitif, dan degradasi spiritual. Anak-anak terjebak dalam pola pikir instan, menilai segalanya dari “like” dan “view,” serta kehilangan koneksi batin dengan nilai dan tujuan hidup.

Secara psikologis, kecanduan ini melemahkan kemampuan fokus, menurunkan ketahanan terhadap tekanan hidup, serta menumbuhkan ketergantungan pada validasi eksternal. 

Secara kognitif, terjadi kemunduran dalam kemampuan refleksi, kontemplasi, dan berpikir kritis. 

Secara spiritual, fitrah anak, yang semestinya terbuka pada keagungan dan makna hidup, terselimuti kabut distraksi.

Kita tidak sedang berhadapan dengan sekadar aplikasi hiburan, tapi sebuah sistem global yang menyasar kelemahan jiwa generasi muda kita: mengganti kemuliaan berpikir dengan kecepatan konsumsi visual, mengganti keheningan dengan derai notifikasi.

Di sinilah pentingnya tindakan rehabilitatif. Kami menyusun sebuah Modul Rehabilitasi 21 Hari, disusun dalam tiga level: detoksifikasi digital, pemulihan kognitif, dan rekonstruksi spiritual. Modul ini bukan sekadar untuk menghentikan kebiasaan, tapi untuk membangun ulang langit di dalam diri anak-anak kita: langit yang pernah retak oleh cahaya semu Tiktok.

Setiap level dirancang agar tidak menggurui, tetapi menuntun; tidak menakut-nakuti, tetapi menyadarkan; tidak sekadar memutus kebiasaan buruk, tetapi menumbuhkan kebiasaan baik yang selaras dengan fitrah. 

Modul ini bisa dijalankan secara personal, dalam keluarga, atau melalui program sekolah dan komunitas yang peduli.

Modul Rehabilitasi Tiga Level: Jalan Pulang Menuju Fitrah

1. Level 1: Kesadaran dan Pemulihan Awal

Pada tahap pertama, fokus utama adalah menumbuhkan kesadaran terhadap pola konsumsi konten cepat seperti TikTok, Reels, atau Shorts. 

Hari pertama dimulai dengan mencatat durasi penggunaan media sosial dan mengenali perasaan setelah scrolling. Sebagai penyeimbang, disarankan membaca satu halaman Al-Qur’an dan mencatat ayat yang terasa menyentuh hati. 

Hari kedua mengajak untuk menyisihkan satu jam tanpa konten cepat dan menggantinya dengan aktivitas lambat, seperti membaca atau berjalan santai, sembari memperdalam tadarrus. 

Hari ketiga diarahkan pada kurasi ulang feed media sosial dengan berhenti mengikuti akun-akun yang tidak bermanfaat dan mulai mengikuti akun yang edukatif dan spiritual. Hari keempat melatih fokus selama 15 menit tanpa gangguan, serta merenungi satu ayat Al-Qur’an. 

Pada hari kelima, “digital sunset” dilakukan dengan tidak menyentuh layar satu jam sebelum tidur dan mengisi waktu dengan journaling atau lantunan surat seperti Al-Mulk. 

Hari keenam adalah detox setengah hari dari konten cepat, menggantinya dengan aktivitas bermakna dan Qur’ani. 

Terakhir, hari ketujuh menjadi momen refleksi untuk mencatat pelajaran, perubahan, serta ayat-ayat Al-Qur’an yang paling berkesan. 

Seluruh rangkaian ini bertujuan membuka ruang kesadaran dan menjadikan wahyu sebagai pusat refleksi.

2. Level 2: Pola Baru dan Penguatan Fokus

Setelah membangun kesadaran, tahap kedua mengarahkan peserta untuk menciptakan pola baru dan memperkuat fokus. 

Hari kedelapan memperkenalkan teknik Pomodoro—25 menit fokus tanpa gangguan—yang salah satunya bisa digunakan untuk memahami tafsir Qur’an. 

Hari kesembilan menggantikan kebiasaan scrolling dengan journaling, mengajak menuliskan perasaan yang muncul dan mengaitkannya dengan ayat-ayat Qur’an. 

Pada hari kesepuluh, peserta diajak menonton satu konten edukatif berdurasi panjang dan mencari ayat yang bisa memperkuat perspektif dari video tersebut. 

Hari kesebelas adalah “puasa TikTok” selama 24 jam penuh, membuka ruang untuk refleksi dan memperdalam hubungan dengan Al-Qur’an. 

Hari kedua belas mengajak mengeksplorasi diri melalui buku dengan mencatat kutipan bermakna dan membandingkannya dengan nilai-nilai Qur’ani. 

Hari ketiga belas mengembalikan koneksi sosial nyata tanpa gadget, lalu merenungi ayat tentang silaturahmi dan akhlak sosial. 

Hari terakhir pada level ini, hari keempat belas, adalah saat untuk menulis refleksi dan rencana jangka panjang: tantangan yang dialami, kebiasaan baru yang ingin dijaga, dan bagaimana Qur’an memberi makna pada proses tazkiyatun nafs.

3. Level 3: Transformasi Digital Mindset

Tahap akhir adalah transformasi mindset digital secara menyeluruh. Dimulai dengan hari kelima belas, peserta diminta menyusun manifesto digital pribadi—pernyataan prinsip tentang bagaimana mereka ingin menggunakan teknologi, disertai landasan ayat-ayat Qur’an seperti Q.S. Al-Mu’minun: 3.

Hari keenam belas mengarahkan untuk menciptakan “ruang sakral digital” melalui akun-akun yang benar-benar menginspirasi dan Qur’ani. 

Hari ketujuh belas menjadi waktu untuk membebaskan diri dari gadget selama satu jam pertama setelah bangun, menggantinya dengan aktivitas grounding seperti olahraga ringan atau tadarrus Qur’an. 

Hari kedelapan belas mengajak merebut kembali perhatian dengan teknik pernapasan sadar dan pertanyaan reflektif seperti “Apa yang sebenarnya aku butuhkan sekarang?” dan “Apa yang Allah ingin aku lakukan?” 

Hari kesembilan belas mengarahkan untuk membuat konten yang bernilai dan mencerminkan pengalaman spiritual, bukan sekadar mencari likes. 

Hari kedua puluh adalah “Digital Sabbath”, yaitu satu hari bebas konsumsi digital untuk fokus pada interaksi nyata dan memperdalam hafalan Qur’an. 

Terakhir, hari kedua puluh satu menjadi waktu untuk meninjau ulang seluruh perjalanan: apa perubahan terbesar, prinsip digital yang ingin dipertahankan, serta bagaimana Al-Qur’an kini menjadi fondasi gaya hidup digital yang lebih sehat dan bermakna.

Epilog: Cahaya Kecil yang Tak Akan Padam

Kini, modul telah ditanamkan. Langkah-langkah telah disusun, bukan sekadar teori, tapi sebagai bentuk cinta yang teraplikasi. 

Namun kita tahu, jalan menuju kesembuhan tidak selalu lurus. Ia berliku, terjal, kadang gelap, seringkali membuat kita ingin menyerah. Tapi setiap langkah kecil menuju kejernihan adalah bentuk jihad yang agung.

Rehabilitasi ini bukan hanya soal berhenti menonton. Ia adalah proses mengembalikan anak-anak pada ruang batin yang hening, pada langit malam yang bisa direnungi tanpa distraksi, pada waktu yang tak lagi dicabik algoritma. Ini adalah jihad menyelamatkan bukan hanya mental, tapi juga spiritualitas yang dirampas secara perlahan.

Kita tidak hanya ingin mencabut candu. Kita ingin menanamkan makna. Kita tidak hanya ingin mematikan notifikasi. Kita ingin menghidupkan kesadaran. Sebab dunia hari ini sedang dipenuhi suara, tapi kehilangan kedalaman. Banyak yang bicara, tapi sedikit yang mengerti.

Dan di ujung segala usaha ini, kita tak boleh lupa: tidak ada kekuatan yang lebih kuat daripada doa dan cinta yang tulus. Rehabilitasi bukan pekerjaan satu hari, bukan kerja satu orang. Ini perjuangan kolektif, lintas generasi, yang hanya bisa digerakkan oleh cinta yang sadar dan iman yang teguh.

Mari kita rawat tangis kosmis ini dengan harapan. Mari kita ubah isak sunyi langit menjadi simfoni pemulihan. Sebab masih ada waktu. Masih ada harapan. Dan selama kita percaya, langit itu bisa dibangun kembali, di dalam diri mereka, dan di dalam diri kita sendiri.

والله أعلم

MS 16/04/25

(Foto: Ilustrasi/IST)

Posted in

BERITA LAINNYA

Puluhan TI Sebu Masih Beroperasi Dekat Terminal Air Ruai

GETARBABEL.COM, BANGKA- Sepertinya para penambang TI Sebu yang masih beroperasi…

SMA YPK Air Kenanga Sungailiat Gelar Persiapan Akreditasi, Berharap Jadi Sekolah Unggul

GETARBABEL.COM, BANGKA — SMA Swasta YPK Air Kenanga Sungailiat Kabupaten…

Serap Aspirasi FMPN Sungailiat, DPRD Babel Gelar Rapat Gabungan Komisi

GETARBABEL.COM, BANGKA –– DPRD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) menggelar…

POPULER

HUKUM

hipk

IPTEK

drone

TEKNOLOGI