Tujuh CPNS IPDN Terima SK
By beritage |
GETARBABEL.COM, PANGKALPINANG- Kepala BKPSDMD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Susanti menyerahkan…
Wednesday, 23 April 2025
TANGIS itu tidak datang dari langit yang murka, tapi dari langit yang rindu. Rindu kepada generasi yang pernah menatap bintang sambil menghafal ayat-ayat-Nya. Rindu kepada anak-anak kecil yang dulu memeluk mushaf lebih erat daripada gawai.
Kini, langit menangis bukan karena anak-anak berdosa, tapi karena mereka dikhianati oleh dunia yang membesarkan mereka tanpa arah.
Di banyak rumah, gema ayat suci tak lagi terdengar. Yang terdengar justru musik-musik asing berkecepatan tinggi, diselingi tawa hampa dan tantangan absurd.
TikTok, sebuah nama yang sederhana, namun menyimpan badai besar di balik kecepatan visualnya, telah berubah dari hiburan menjadi candu.
Fenomena Tiktok Velocity Syndrome (TVS)
TVS adalah tren video di Tiktok dengan efek gerakan cepat, musik intens, dan potongan visual ekstrem. Meskipun tampak sebagai hiburan biasa, sebenarnya punya potensi dampak negatif terhadap perkembangan otak dan kesehatan mental, terutama bagi anak-anak dan remaja yang masih dalam masa pembentukan struktur saraf.
1. Kerusakan Sensor Saraf (Overstimulasi Visual-Audio)
Velocity videos memberi stimulasi sensorik yang sangat intens: warna mencolok, gerakan cepat, efek berkedip, dan suara keras.
Paparan konstan terhadap konten ini mendorong otak untuk beradaptasi pada kecepatan tinggi, membuat otak kesulitan untuk menikmati atau fokus pada hal-hal biasa yang lebih lambat dan natural (seperti membaca buku, ngobrol panjang, belajar).
Ini bisa menyebabkan dysregulasi sistem saraf, terutama pada anak-anak, membuat mereka: mudah gelisah, sulit tidur (karena otak “berdetak cepat”), dan cepat bosan dengan realitas sehari-hari yang lebih “normal”.
2. Lemahnya Daya Ingat
Konten cepat dan berubah-ubah seperti velocity edits mendorong konsumsi informasi secara instan tapi tanpa proses pemahaman mendalam.
Ini memengaruhi working memory (memori jangka pendek) karena otak terbiasa menyerap informasi tanpa perlu menyimpannya.
Akibatnya, retensi informasi menurun, terutama pada pelajaran atau aktivitas yang membutuhkan konsentrasi berkelanjutan. Anak-anak jadi cenderung hanya mengingat bagian yang viral atau sensasional, bukan esensi atau konteks.
3. Turunnya Kreativitas
Kreativitas muncul saat seseorang memiliki waktu untuk merenung, berimajinasi, dan mengeksplorasi ide-ide baru.
Velocity videos mengurangi waktu otak untuk masuk ke default mode network, kondisi saat otak “melamun” tapi justru aktif secara kreatif.
Akibatnya, anak-anak lebih suka meniru (copy-paste tren), bukan menciptakan sesuatu yang orisinal. Mereka lebih fokus pada visualisasi instan daripada proses berpikir yang mendalam dan penuh makna.
Konten-konten seperti ini, jika dikonsumsi secara berlebihan dan tanpa kontrol, bisa menciptakan generasi dengan: fokus pendek (short attention span), reaktif emosional, tidak tahan terhadap proses yang panjang, dan akhirnya kurang siap menghadapi tantangan kehidupan nyata yang memerlukan daya tahan mental dan ketekunan.
Inilah TikTok Velocity Syndrome (TVS): fitnah zaman baru dalam bentuk konten 15 detik yang menumpulkan akal, mereduksi rasa, dan mencuri masa depan anak-anak kita.
Mereka menjadi “generasi zombie”, bukan karena tubuhnya mati, tapi karena jiwanya kehilangan pusat gravitasi. Mereka bisa menirukan tarian viral dalam satu malam, namun kesulitan menghafal satu ayat pendek. Mereka hafal tren, tapi lupa Tuhan.
Bukankah ini yang pernah Rasulullah tangisi? Bukan banyaknya orang, tapi sedikitnya yang memahami. Bukan minimnya ilmu, tapi rapuhnya adab.
Fitrah yang Diabaikan, Amanah yang Ditinggalkan
Allah menciptakan segala sesuatu dengan takaran (QS. Al-Qamar 54:49). Tapi algoritma digital menciptakan ketercepatan tanpa makna. Anak-anak lahir dalam fitrah (HR. Bukhari), namun kita biarkan fitrah itu dirusak oleh layar yang tak pernah tidur.
Dan siapa yang paling bertanggung jawab? Bukan algoritma. Tapi kita, para orang tua. “Hai orang-orang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka!” (QS. At-Tahrim: 6).
Namun, bukankah kita justru membuka pintu neraka itu lewat WiFi yang tak pernah dibatasi?
Tapi belum terlambat. Langit belum sepenuhnya menutup harapannya. Masih ada orang tua yang menolak tunduk pada budaya konsumsi. Masih ada rumah yang menjadikan mushaf sebagai pusat orbit keluarga.
Ini bukan tentang melarang teknologi. Ini tentang i’tidal, keseimbangan.
Ajarkan anak-anak bahwa layar bukan penguasa, tapi pelayan. Bahwa niat lebih penting dari kecepatan. Bahwa Ibnu Abbas, yang menjadi pakar tafsir sejak belia, tumbuh bukan dengan scrolling, tapi dengan tadabbur.
Bangun kembali qiyadah walayah, kepemimpinan orang tua. Jadikan Maghrib sebagai momen sakral, bukan sekadar jeda konten. Ciptakan zona bebas layar, tempat keluarga belajar dari kisah Nabi, bukan dari tantangan TikTok.
Bawalah anak-anak kembali ke alam. Latih mata mereka untuk menatap langit, bukan layar. Latih tangan mereka menulis jurnal syukur, bukan mengetik komentar. Latih lisan mereka membaca Quran, bukan lirik viral yang tak bermakna.
Perkenalkan kembali kisah Imam Syafi’i, yang hafal Quran di usia 7 tahun. Buka lembaran hidup Imam Nawawi yang menolak bermain demi ilmu. Ajarkan adab berdigital, bahwa tidak semua yang viral itu halal, dan tidak semua yang lucu itu layak ditiru.
Karena dalam Islam, fokus bukan hanya pada apa yang dilakukan, tapi untuk siapa dan mengapa itu dilakukan.
Ramadhan memang telah berlalu. Tapi pertarungan menjaga fitrah anak-anak kita tidak mengenal kalender. Setiap hari adalah jihad sunyi orang tua, antara menyerah pada arus atau mendidik dengan cinta.
Generasi Qurani tidak lahir dari gadget mahal, tapi dari pelukan hangat, doa yang lirih, dan teladan yang jujur. Dan jika kita gagal menjadi pelindung, maka kitalah yang disebut Nabi sebagai orang tua yang menjerumuskan: “Setiap anak dilahirkan dalam fitrah, maka orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari).
Hari ini, mungkin kita tak menjadikan anak-anak kita Yahudi atau Nasrani. Tapi kita sedang menjadikan mereka pengikut algoritma, budak dari tren yang berganti setiap jam.
TikTok hanyalah alat. Tapi jika tak ada kompas dalam jiwa, maka setiap alat bisa menjadi senjata yang membunuh peradaban.
Maka mari kita rebut kembali anak-anak kita, dengan ilmu, dengan cinta, dan dengan kesadaran bahwa Ramadhan ini bukan sekadar momentum tahunan, tapi panggilan langit untuk membangun kembali benteng keluarga. Sebelum semuanya terlambat. Sebelum tangis langit berubah menjadi murka.
Epilog: Kembali ke Fitrah
Langit yang sepanjang bulan Ramadhan menampung jutaan doa kini mulai redup, bukan karena malam semakin tua, melainkan karena sesuatu dalam diri kita ikut padam, sebuah cahaya fitrah yang diam-diam dirampas.
Kita mendidik anak-anak dengan cerita para Nabi, tapi mereka lebih hafal filter wajah dan suara remix. Kita ajarkan huruf hijaiyah, tapi tangan mereka lebih lincah menggulir layar dalam irama yang nyaris tanpa makna.
Ada yang salah, tapi terlalu cepat untuk disadari. Ada yang hilang, tapi terlalu halus untuk diidentifikasi. Dan ketika kita tersadar, anak-anak itu sudah jauh tercabut dari fitrahnya, terhisap dalam pusaran waktu palsu bernama TikTok.
Mereka tak lagi mampu duduk diam untuk mendengar. Mereka gelisah jika tak ada notifikasi. Mereka bosan dengan tafsir dan hikmah, tapi tergila-gila pada video berdurasi lima belas detik.
Inilah yang disebut para neurolog sebagai TikTok Velocity Syndrome; kecepatan konten yang menghantam otak seperti badai dopamin, mengikis kemampuan fokus, mengganggu ritme tidur, dan menghancurkan prefrontal cortex: pusat kendali moral, empati, dan keputusan.
Namun lebih dari sekadar gejala otak, ini adalah musibah ruhani. Fitrah anak-anak bukan dicipta untuk hidup dalam kecepatan. Ia tumbuh dalam pelukan sabar, dalam kisah berulang tentang Ibrahim yang membangun Ka’bah, tentang Musa yang belajar diam bersama Khidr, tentang Muhammad yang menyepi di Gua Hira.
Fitrah itu menetas dalam diam, bukan dalam deru tren. Ia subur dalam tafakkur, bukan dalam tarian algoritma. Namun hari ini, kita melihat fitrah itu dicabut, bukan oleh pedang, tapi oleh layar kecil yang kita sebut hiburan.
Jika Dajjal datang dengan satu mata, maka zaman ini sudah mengirim anak-anak dengan satu layar. Jika fitnah akhir zaman dimulai dengan ilusi, maka ia kini dikemas dalam musik, tarian, dan skrol tiada akhir.
Inilah fitnah Dajjal sebagai “jasad” (QS. Shad: 34); manusia robot yang diprogram secara eksternal oleh algoritma.
Namun jangan menyerah. Tangis kosmis ini belum selesai. Ia masih punya harapan: pada rumah yang kembali jadi mihrab, pada ayah yang kembali jadi imam, pada ibu yang kembali jadi madrasah, dan pada spirit malam-malam Ramadhan yang tetap terpelihara.
Mari pulang. Bukan ke rumah yang berdinding bata, tapi ke rumah yang bernama fitrah. Tempat di mana anak-anak mengenal Tuhan bukan lewat caption, tapi lewat pelukan, lantunan Al-Qur’an, dan air mata orang tua yang tak ingin kehilangan.
والله أعلم
MS 15/04/25
(Foto: ilustrasi/IST)
Posted in SOSBUD
GETARBABEL.COM, PANGKALPINANG- Kepala BKPSDMD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Susanti menyerahkan…
GETARBABEL.COM, BANGKA- Barwi Arkoni selaku Kades Desa Karya Makmur Kecamatan…
GETARBABEL.COM, BANGKA BARAT — Polres Bangka Barat (Babar) melaksanakan kegiatan…
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sejumlah ASN…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sungguh miris…
GETARBABEL.COM, BANGKA- Kawasan hutan seluas…