Bangka Barat Dilanda Banjir, Aktivis Ini Ingatkan Pemda Fokus Penanganan Daerah Terdampak
By beritage |
GETARBABEL.COM, BANGKA BARAT– Bencana alam (banjir) kembali terjadi di dua…
Wednesday, 23 April 2025
Oleh : Maman Supriatman || Alumni HMI
FATWA merupakan produk hukum Islam yang tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial, politik, dan intelektual zamannya.
Dalam dunia Islam kontemporer, fatwa tentang jihad menjadi salah satu bentuk ijtihad yang paling kontroversial, apalagi ketika dikaitkan dengan konflik Palestina-Israel yang bersifat multidimensi: teologis, historis, geopolitik, hingga eskatologis.
Dua contoh mencolok muncul baru-baru ini: fatwa jihad dari Persatuan Ulama Muslim Internasional (IUMS) dan respons penolakan dari Dewan Fatwa Mesir.
Keduanya memberikan narasi yang berseberangan dan mencerminkan pendekatan yang sangat berbeda dalam memahami krisis Gaza dan konsep jihad itu sendiri.
Studi kasus ini penting untuk melihat bagaimana posisi keagamaan dibentuk oleh pilihan-pilihan epistemologis dan politik.
Dalam konteks lebih luas, kasus ini menjadi arena pertemuan antara dua model nalar Islam kontemporer: nalar eskatologis-transnasional dan nalar politik-pragmatis kenegaraan.
Narasi Fatwa: Antara _Fardhu ‘Ain_ dan Otoritas Negara
IUMS mengeluarkan seruan jihad sebagai _fardhu kifayah_ yang bisa meningkat menjadi _fardhu ‘ain_ bagi umat Islam, khususnya dalam menghadapi agresi Israel terhadap Gaza. Narasi jihad ini tidak semata-mata bersifat militeristik, tetapi mencakup dukungan finansial, diplomatik, dan ekonomi, seperti boikot terhadap entitas yang mendukung penjajahan.
Lebih dari sekadar hukum, fatwa ini membawa pesan moral dan teologis: bahwa diam terhadap kezaliman adalah bentuk pengkhianatan terhadap prinsip Islam. Dalam semangat ini, IUMS mengutuk keras normalisasi hubungan diplomatik negara-negara Arab dengan Israel.
Sebaliknya, Dewan Fatwa Mesir menganggap seruan jihad IUMS sebagai tidak sah karena tidak melalui otoritas ulil amri yang sah. Mereka menilai fatwa semacam ini berbahaya karena dapat memicu instabilitas politik dan kekacauan sosial. Fatwa jihad tidak boleh dilepaskan dari kepentingan nasional dan stabilitas negara.
Tafsir Konteks dan Arah Epistemologi
IUMS memosisikan krisis Gaza sebagai bagian dari konflik global antara kekuatan penindas (Zionisme dan sekutunya) dan umat Islam sebagai korban yang harus bersatu. Ini sejalan dengan pemikiran Syekh Imran Hosein, yang membaca situasi Palestina sebagai bagian dari narasi akhir zaman: konflik besar menjelang turunnya Imam Mahdi dan Isa AS.
Seruan jihad dalam perspektif ini bukan hanya reaksi atas penderitaan, tetapi proyeksi ideologis dan eskatologis, bahwa dunia sedang menuju _final showdown_ antara kebenaran dan kebatilan. Maka, jihad bukan hanya dibenarkan, tapi diperlukan sebagai panggilan takdir sejarah.
Dewan Fatwa Mesir menunjukkan ciri khas kontekstualisme modernis, mirip dengan pendekatan Nurcholish Madjid. Stabilitas politik lebih diprioritaskan daripada solidaritas simbolik transnasional.
Jihad harus tunduk pada struktur negara, bukan dikendalikan oleh gerakan transnasional yang tidak memiliki otoritas yuridis dalam konteks kenegaraan.
Dalam logika ini, fatwa jihad IUMS dilihat sebagai potensi chaos, bukan solusi. Terlebih, Mesir memiliki relasi strategis dengan AS dan Israel; maka diplomasi dipilih sebagai jalur rasional, sesuai dengan raison d’état.
*Konsekuensi Strategis dan Sosial*
Fatwa IUMS memberikan semangat perjuangan dan legitimasi moral bagi mereka yang ingin membela Palestina, baik secara fisik maupun simbolik. Ia mempersatukan sentimen keagamaan lintas negara dan menjadi simbol perlawanan terhadap tatanan global yang dianggap zalim.
Namun, pendekatan ini juga rawan dimanfaatkan oleh kelompok radikal yang dapat mengekspresikan jihad secara tidak terkendali, sehingga berdampak pada keamanan nasional negara-negara Muslim.
Narasi Mesir, di sisi lain, menghindari kekerasan, namun sering dituding sebagai bentuk kepatuhan terhadap tekanan geopolitik Barat. Pendekatan ini menjaga kestabilan dalam negeri, tetapi juga kehilangan daya juang simbolik umat, terutama di mata generasi muda Muslim yang kecewa terhadap sikap pasif negara-negara Islam.
Dialektika Fatwa, Tafsir, dan Kekuasaan
Studi kasus ini menunjukkan bahwa fatwa bukan entitas netral, melainkan hasil dialektika antara teks, konteks, dan kekuasaan.
Fatwa jihad IUMS dan respons Dewan Fatwa Mesir mencerminkan dua wajah Islam kontemporer:
Satu berpijak pada nalar eskatologis-transnasional yang melihat perjuangan Palestina sebagai bagian dari panggilan zaman akhir.
Satu lagi berpijak pada nalar politik-realistik, yang memprioritaskan stabilitas dan hubungan internasional. Keduanya sah secara epistemologis dalam kerangka mereka masing-masing.
Tantangan umat Islam adalah menavigasi perbedaan ini dengan cerdas, memahami bahwa jihad tidak selalu berarti perang, dan diplomasi tidak selalu berarti pengkhianatan.
*Fatwa Jihad dalam Dinamika Pemikiran Islam: Dari Literalis-Konservatif sampai Kosmopolitan-Sufistik*
Pembacaan terhadap dua narasi fatwa jihad ini sangat relevan bila kita hubungkan dengan kerangka klasifikasi pemikiran Islam.
1. Literalis-Konservatif
Kelompok ini mendasarkan seluruh legitimasi jihad pada teks dan otoritas klasik tanpa mempertimbangkan konteks geopolitik modern. Namun, IUMS, meskipun tampak literal dalam menyerukan jihad, sebenarnya memiliki corak textual-contextual, karena juga membuka ruang jihad non-militer (ekonomi, diplomasi).
2. Kontekstual-Modernis
Dewan Fatwa Mesir lebih dekat pada posisi ini. Mereka memprioritaskan negara dan stabilitas nasional, serta memandang jihad sebagai sesuatu yang tidak sah tanpa izin penguasa.
Perspektif ini menempatkan jihad dalam kerangka _state-centered authority_ dan kepentingan relasi internasional pragmatis, bahkan jika itu berarti menghindari konfrontasi terhadap Zionisme demi stabilitas politik. Pemikiran ini lebih dekat kepada corak pemikiran Nurcholish Madjid.
3. Kritis-Konservatif (Tekstual-Kontekstual)
Fatwa IUMS lebih beririsan dengan pendekatan Teksual-kontekstual, khas Syekh Imran Hosein. Ia tidak hanya memakai nash secara literal, tapi juga mengontekstualisasikan jihad sebagai reaksi terhadap penindasan sistemik Zionisme dan sekutu Baratnya.
Dukungan non-militer seperti boikot ekonomi dan diplomasi adalah bentuk strategi jihad kontekstual yang sangat dekat dengan pendekatan Syekh Imran.
4. Inklusif-Islamis
Narasi Jihad IUMS juga mengandung unsur pendekatan ini, dengan menyerukan aksi-aksi non-kekerasan berbasis solidaritas umat, tetapi tidak mengusulkan integrasi dalam sistem barat, melainkan perlawanan terhadapnya. Sementara Dewan Fatwa Mesir justru menyiratkan semangat integratif, tunduk pada realitas geopolitik barat.
5. Progresivisme-Reformis
Tidak terlalu tampak pada kedua fatwa ini, karena keduanya tidak menawarkan reinterpretasi mendasar terhadap konsep jihad. Namun, Dewan Fatwa Mesir mungkin sedikit lebih dekat karena ia menekankan transformasi sosial-politik lewat jalur diplomasi.
6. Kosmopolitan-Sufistik
Kedua lembaga tidak menonjolkan pendekatan sufistik atau transendental. Tapi posisi Dewan Fatwa Mesir yang menghindari kekerasan bisa didekati dengan argumen _“peaceful spirituality,”_ meskipun dengan motivasi politis, bukan teosofis.
Dalam konteks serial esai ini yang ingin menjembatani antara pendekatan literalistik dan kontekstual modern, kasus dua fatwa ini menjadi bukti betapa “fatwa” bukan hanya dokumen keagamaan, tapi instrumen geopolitik.
IUMS bisa ditafsirkan sebagai representasi dari narasi perlawanan ummah transnasional yang teksual-kontekstual. Mereka melihat dunia dengan kacamata akhir zaman, sangat serasi dengan pendekatan Syekh Imran Hosein: bahwa dominasi Zionis adalah bagian dari proyek Dajjalik yang perlu dilawan secara kolektif.
Dewan Fatwa Mesir sebaliknya lebih cocok dimasukkan dalam kelompok kontekstual modernis yang menegaskan supremasi negara, menjunjung diplomasi, dan menghindari instabilitas domestik. Mereka tidak melihat Dajjal secara eskatologis, tapi lebih sebagai potensi kekacauan sosial dalam negeri.
Kedua fatwa ini bisa dijadikan studi kasus sebagai ilustrasi ketegangan antara idealisme eskatologis dengan pragmatisme politik, persis seperti perbedaan mendasar antara Syekh Imran Hosein dan Nurcholish Madjid. Inilah contoh hidup dari konflik antara nalar akhir zaman dan nalar kenegaraan.
Epilog: Fatwa di Ambang Langit dan Bumi
Di ujung tamadun, ketika waktu menua dan langit mulai retak oleh jerit-jerit kemanusiaan, umat Islam berdiri di persimpangan paling menentukan.
Di satu sisi, mereka dihadapkan pada Suara-suara Ilahiyah yang menyeru pembelaan terhadap yang tertindas. Di sisi lain, mereka dibungkam oleh protokol-protokol duniawi yang memaksa diam demi stabilitas.
Dalam ruang antara langit dan bumi itulah fatwa jihad dari Persatuan Ulama Muslim Internasional dan respons keras dari Dewan Fatwa Mesir bertabrakan, bukan hanya sebagai dua ijtihad, tapi sebagai dua arah peradaban yang saling menegasikan.
Fatwa jihad bukan sekadar dokumen hukum. Ia adalah gema nubuwah, serpih-serpih warisan nubuwwah yang berusaha bersuara di tengah riuhnya dunia sekuler. Ia adalah tangis langit yang menyusup ke bumi, memanggil umat untuk bangkit dari kematian ruhani mereka.
Namun, ketika suara itu dihadang oleh logika politik, diplomasi pragmatis, dan kepatuhan terhadap kekuatan global, maka terjadilah pembelahan kosmis: antara mereka yang masih percaya pada janji akhir zaman dan mereka yang tenggelam dalam realitas palsu kekinian.
Gaza menjadi altar penderitaan umat. Di sana, nyawa tak lebih dari angka statistik. Tetapi di balik reruntuhan dan darah yang tumpah, terdengar bisikan-bisikan gaib: bahwa akhir dari peradaban dunia sedang mendekat, dan bahwa sang Imam yang dinanti akan segera muncul, dan bahwa fatwa-fatwa yang berani adalah bara yang menyala dari obor akhir zaman.
Maka, Tangis Kosmis bukan hanya judul esai, tapi kesadaran bahwa dunia sedang menangis; dan hanya mereka yang mendengar tangisan itu yang akan diselamatkan.
Fatwa jihad yang ditertawakan hari ini bisa jadi akan menjadi catatan sejarah bahwa di tengah kegelapan, masih ada cahaya kecil yang menolak padam.
Umat Islam hari ini tidak hanya ditantang untuk memilih antara diam dan bergerak, tetapi antara menjadi bagian dari sejarah yang ditulis oleh langit atau menjadi debu dalam narasi dunia yang sedang runtuh.
والله أعلم
14/04/25
(Foto: ilustrasi/IST)
Posted in SOSBUD
GETARBABEL.COM, BANGKA BARAT– Bencana alam (banjir) kembali terjadi di dua…
MEDAN–Ditjen Pengendalian & Penertiban Tanah & Ruang Kementerian ATR/BPN melaporkan …
GETARBABEL.COM, JAKARTA – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) pada Senin…
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sejumlah ASN…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sungguh miris…
GETARBABEL.COM, BANGKA- Kawasan hutan seluas…