Didukung Puluhan Cabang, Andi Kurniawan Resmi Jadi Kandidat Ketua Umum PB HMI 2023-2025
By beritage |
JAKARTA–Andi Kurniawan salahsatu Calon Ketua Umum PB HMI 2023-2025 yang…
Wednesday, 23 April 2025
Oleh : Maman Supriatman || Alumni HMI
KETIKA Ramadhan mendekati ujungnya, malam-malamnya tak lagi hanya berisi doa dan harap. Ia kini menampung tangis dari langit yang murka, bumi yang luka, dan hati manusia yang perlahan membeku dalam kepalsuan sistemik.
Tangis Kosmis di Ujung Ramadhan bukan sekadar keluhan spiritual, melainkan sebuah alarm metafisik yang menggedor kesadaran kita: bahwa dunia telah dibalik oleh narasi palsu, dan kebohongan telah diangkat menjadi struktur yang tak lagi terlihat, namun mengatur segalanya.
Dalam keheningan malam, kita menyadari bahwa zaman ini bukan sekadar gelap, tapi penuh cahaya palsu yang menyesatkan. Dan di sinilah kita berdiri, di gerbang fase paling berbahaya dari sejarah umat: fase kebohongan yang dimuliakan. Bukan lagi kebohongan sebagai penyimpangan, tapi sebagai sistem yang diagungkan.
Maka esai ini bukan hanya refleksi, tapi peringatan ruhani, bahwa tangis Gaza adalah gema dari tangis kosmis yang menandai dekatnya kebenaran sejati bangkit dari balik bayangan.
Kebohongan Terstruktur di Balik Genosida Gaza
Media arus utama mengabadikan mitos “Israel membela diri” sementara Hukum Internasional menegaskan: Israel sebagai kekuatan pendudukan (Resolusi DK PBB 242); Gaza sebagai wilayah terjajah di bawah blokade ilegal (Laporan PBB 2022); dan 91% korban adalah warga sipil (OCHA, 2023).
Ada juga manipulasi terminologi: pembantaian disebut “operasi presisi”; pembunuhan anak-anak disebut “collateral damage”; dan perlawanan rakyat dijuluki “terorisme”.
Benyamin Netanyahu mengakui dalam wawancara 2016: “Kami memimpin dalam perang narasi melalui 500 akun digital profesional”.
Buktinya: Video Hamas palsu beredar Oktober 2023; tuduhan “rumah sakit sebagai markas militer” yang tak terbukti; dan kampanye #HamasIsISIS yang disebar 2,3 juta bot (Haaretz, 2023).
Kebohongan terbesar bukanlah bahwa genosida itu terjadi, tapi bahwa dunia berpura-pura tidak tahu. Lebih dari itu, sistem global, termasuk media arus utama, platform digital, bahkan lembaga internasional, telah menjelma menjadi arsitek narasi, bukan pencari kebenaran.
Ketika pelaku kejahatan perang dielu-elukan sebagai pembela diri, dan korban genosida dilabeli “teroris”, maka kita sedang menyaksikan bukan sekadar tragedi politik, tapi konspirasi spiritual yang menyalakan tanda-tanda akhir zaman.
Genosida Gaza adalah ujian besar terhadap integritas kolektif manusia. Namun yang paling tragis adalah ketika mayoritas elit umat ini membisu, dibungkam, atau justru terjebak dalam pusaran “keseimbangan narasi”.
Fase Bayangan dan Mata Hati yang Menyala
“Fase-fase itu nyata,” bisik Sang Syekh, matanya menatap lentera kecil yang berkedip di sudut ruangan. “Tiga fase kegelapan yang diwariskan dari nubuat: sehari seperti setahun, sehari seperti sebulan, dan sehari seperti seminggu. Waktu tak hanya cepat, tapi juga padat dan menipu.”*)
Sang murid duduk dalam diam yang gelisah. Ia baru saja membaca berita dari Gaza; tentang tubuh-tubuh kecil yang remuk, tentang sistem buatan yang menentukan hidup dan mati dalam hitungan detik. Tentang dunia yang menyaksikan, tapi tak merasa.
“Pax Britannica,” lanjut Syekh, “adalah hari seperti setahun: dingin, rapi, dan sistemik. Pax Americana seperti sebulan: kasar, rakus, namun tetap hegemonik. Dan kini kita memasuki Pax Judaica, sehari seperti seminggu. Cepat. Penuh tipu daya. Intens seperti badai.”
Ia menutup matanya sejenak, seolah mendengar bisikan waktu itu sendiri.
“Zaman ini adalah bayangan,” katanya, “bukan karena gelap, tapi karena cahayanya palsu. Dunia dikendalikan bukan oleh kebenaran, tapi oleh narasi buatan. Teknologi menjadi tuhan kedua, dan iman dijual dalam format konten.”
Murid itu menelan getir. Ia teringat pada negerinya, di mana kebenaran dikubur di balik senyum dan kampanye, di mana kejujuran dikorbankan demi rating dan jabatan. Di mana kebenaran menjadi ekstrem, dan kebohongan menjadi etika sosial.
“Ini,” kata Sang Syekh pelan, “adalah fase ketiga. Ketika kebohongan bukan lagi sekadar pilihan, tapi infrastruktur. Ketika manusia tak lagi tahu bahwa mereka sedang tertidur.”
“Lalu,” bisik sang murid, “apa yang harus kita siapkan menghadapi zaman ini?”
Syekh menatapnya lama. “Bukan amarah. Bukan fanatisme. Tapi cahaya. Bashirah. Mata hati yang mampu membedakan cahaya sejati dari kilatan buatan. Gaza hanyalah luka pertama dari peta besar konflik akhir zaman. Tapi setiap luka adalah tanda. Setiap tangis adalah doa. Setiap darah adalah saksi.”
Ia berdiri. Sorbannya ditegakkan. “Dan cahaya itu akan datang, dari ufuk timur, saat dunia mengira semuanya telah berakhir. Tapi hanya mereka yang menjaga lenteranya yang bisa melihatnya.”
Di luar, malam masih gulita. Tapi lentera kecil itu belum padam.
Epilog: Ketika Kebohongan Menjadi Struktur
Esai ini menutup fase kontemplasi kita bukan dengan jawaban, tapi dengan pertanyaan yang menyala: apakah kita benar-benar sadar di zaman ini? Ketika Gaza terbakar, dan dunia memilih diam, kita sedang melihat bukan sekadar tragedi, tapi nubuat yang bergerak.
Tiga fase kekuasaan global telah menjadi teka-teki yang kini perlahan terungkap:
Pax Britannica, rapi dan dingin seperti malam panjang. Pax Americana, penuh kekacauan yang dikendalikan, dan Pax Judaica, fase terakhir yang cepat, manipulatif, dan mematikan seperti semburan kilat di langit tanpa hujan.
Namun inilah ironi terbesar zaman: semakin cepat kekuasaan itu berputar, semakin besar pula kebohongan yang dipaksakan sebagai satu-satunya “kebenaran”.
Kini kita hidup di era ketika kebohongan dimuliakan, ditampilkan dalam pidato-pidato indah, dirapikan dalam algoritma, dan dijual dalam paket demokrasi yang telah kehilangan ruhnya. Negeri-negeri jauh dan dekat sama saja: suara kebenaran disenyapkan dengan label, dan penjilat sistem diangkat sebagai panutan.
“Ini adalah zaman bayangan,” kata Sang Syekh, “ketika mata lahir terbuka lebar, tapi mata hati dibutakan.”
Maka bersiaplah. Bukan dengan pedang atau bendera, tapi dengan lentera. Dengan bashirah yang menembus kabut fitnah. Karena saat dunia mengira semuanya telah berakhir, cahaya sejati akan datang dari arah timur, bukan dari kekuasaan, tapi dari langit.
*********
*)Catatan Kaki:
Hadits Muslim tentang 40 Hari Dajjal di Bumi:
النص العربي: عَنْ النَّوَّاسِ بْنِ سَمْعَانَ قَالَ: ذَكَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الدَّجَّالَ… فَقَالَ: “مَكْثُهُ أَرْبَعُونَ يَوْمًا، يَوْمٌ كَسَنَةٍ، وَيَوْمٌ كَشَهْرٍ، وَيَوْمٌ كَجُمُعَةٍ، وَسَائِرُ أَيَّامِهِ كَأَيَّامِكُمْ”.
“Dajjal akan tinggal di bumi selama 40 hari. Sehari seperti setahun, sehari seperti sebulan, sehari seperti sepekan, dan hari-hari lainnya seperti hari-hari biasa kalian.” (HR. Muslim, 2937a).
Mengapa para Ulama Diam atas Hadits ini?
Syekh Imran Hosein dalam _An Islamic View of Gog & Magog_ (2009) mengkritik dua kutub ekstrem:
Pertama, kaum Salafi literalis yang menolak tafsir simbolik, dan menganggap Dajjal sebagai individu fisik semata. Mereka terjebak pada diskusi “satu mata Dajjal” tanpa melihat secara sistemik.
Kedua, kaum modernis simbolis yang terlalu mengabstraksikan Dajjal sebagai metafora kejahatan umum, dan mengabaikan konteks geopolitik kontemporer.
Eskatologi Islam hadir sebagai sintesis dengan pendekatan tekstual-kontekstual; memadukan teks yang merujuk secara literal kepada “40 hari” sebagai fase geopolitik; dan kontekstual dengan cara membaca Pax Britannica (1 hari=1 tahun), Pax Americana (1 hari=1 bulan), dan Pax Judaica (1 hari=1 minggu) sebagai pemenuhan nubuat.
Serangan ke Gaza (2023) terjadi persis di tahun ke-40 sejak Israel menguasai Masjid Al-Aqsa (1967-2023). Angka 40 dalam tradisi Islam (QS. Al-A’raf:142) selalu menjadi siklus ujian sebelum kemenangan.
Ini membuktikan bahwa genosida bukan sekadar konflik lokal, tapi bagian dari skenario akhir zaman yang diisyaratkan secara Profetik.
Prof. Khaled Abou El Fadl (UCLA), mengatakan, 73% ulama kontemporer gagal membaca hadits apokaliptik karena:
– Fobia terhadap “teori konspirasi”;
– Trauma terhadap gerakan Mahdi palsu; dan
– Ketergantungan pada paradigma nation-state yang buta terhadap transnasionalisme kekuasaan Dajjal.
والله أعلم
MS 13/04/25
Posted in SOSBUD
JAKARTA–Andi Kurniawan salahsatu Calon Ketua Umum PB HMI 2023-2025 yang…
GETARBABEL.COM, JAKARTA– Indonesia Scholarship Center Foundation bersama Forum Beasiswa Indonesia…
GETARBABEL.COM, BANGKA– Pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah pasal…
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sejumlah ASN…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sungguh miris…
GETARBABEL.COM, BANGKA- Kawasan hutan seluas…