SIMPONI YANG TAK PERNAH USAI

images (9)

Oleh: Maman Supriatman || Alumni HMI

Di awal, Ibnu Khaldun mengangkat pena,
bukan pedang,
menyisih riwayat yang dianggap mitos badui
Imam Mahdi?
Itu hanya simbol rindu kaum terjajah.

Lalu zaman bergulir,
satu per satu sarjana mengumandangkan nada yang sama,
dari menara gading hingga meja redaksi,
bahwa Ya’juj dan Ma’juj adalah
perseteruan psikologis dalam batin manusia modern.

Sebab itulah pena lebih tajam dari pedang:
ia membunuh makna tanpa darah,
membakar keyakinan tanpa api.
Dengan satu tesis, nubuwat jadi metafora,
dengan satu jurnal, akhir zaman jadi mitos.
Pedang hanya melukai tubuh,
tapi pena—di tangan cendekia upahan—
mampu menghapus langit dari kesadaran umat.

Di kampus-kampus, para aktivis berorasi,
dengan diksi canggih dan kutipan kontemporer:
“Dajjal bukan sosok,
hanya metafora dari sistem global yang tidak adil.”
Tepuk tangan pun menggelegar
bagi narasi yang terdengar ilmiah—
meski kehilangan keberanian untuk percaya.

Harun Nasution melantunkan rasionalisasi,
mendekonstruksi langit dengan logika bumi.
Cak Nur melancarkan sekularisasi
(yang katanya “bukan sekularisasi”),
tapi tetap memisahkan doa dari demokrasi.

Simfoni pun tumbuh jadi orkestra raksasa,
mengalun di televisi, jurnal, dan khutbah Jumat,
berulang,
berbunyi seperti analisis,
padahal gema dari skrip yang sudah dibagikan
sejak sebelum mereka lahir.

Mengapa tak pernah usai?
Karena ini bukan pencarian kebenaran,
melainkan produksi makna dalam pabrik tafsir.
Simbolik adalah bahasa resmi mesin propaganda,
agar akhir zaman tetap jauh,
dan Dajjal tak perlu ditunjuk namanya.

Selama figur-figur eskatologis
dibungkus metafora dan dilabeli tahayyul atau cocoklogi,
maka panggung dunia tetap aman—
bagi mereka yang mengendalikannya.

Maka teruslah ia bergelombang,
antara simbol dan tafsir,
antara mitos dan sistem,
hingga sang Mahdi datang
bukan dari buku,
tapi dari langit yang mereka dustakan.

Misteri khalifah bukan puisi,
Ia darah dan air mata dalam panggung sejarah suci.
Adam diuji, Ismail disembelih.
Kini giliran kita, mampukah memilih?

Geopolitik sibuk menafsir peta,
Geoprofetik menyiapkan jiwa.
Dan ketika Mahdi datang bukan sebagai metafora,
Siapa yang masih berani berkata:
“Itu cuma alegori belaka”?

والله أعلم
MS 20/05/25

(foto: ilustrasi/IST)

Posted in

BERITA LAINNYA

Yuk Gunakan Hak Pilih, Coblos Kolom Ada Foto Calon

GETARBABEL.COM, BANGKA- Calon Bupati Bangka Mulkan SH kembali menegaskan bahwa…

Realisasi 75,2%, Pemerintah Fokus Hilirisasi Kejar Target Investasi

JAKARTA–Kementerian Investasi/BKPM berhasil mencatat realisasi investasi periode Januari-September 2023 sebesar…

Adu Kambing Ninja Vs Vario di Kelapa, Korban Meninggal dan Luka Berat

GETARBABEL.COM, BANGKA BARAT — Polsek Kelapa jajaran Polres Bangka Barat…

POPULER

HUKUM

hipk

IPTEK

drone

TEKNOLOGI