Residu Konflik Sunni-Syiah, Kompleksitas Perang Iran-Israil dan Keniscayaan Sejarah

IMG_20250623_092914_11zon

Oleh: Maman Supriatman || Alumni HMI

Konflik antara Sunni dan Syiah bukanlah sekadar perbedaan teologis, tetapi berakar dari sengketa politik sepeninggal Nabi Muhammad SAW (632 M):

Sunni berpandangan bahwa khalifah dipilih melalui musyawarah umat (syura), sehingga mengakui Abu Bakar sebagai khalifah pertama.

Syiah meyakini bahwa kepemimpinan harus tetap berada dalam keluarga Nabi, dimulai dari Ali bin Abi Thalib sebagai imam yang sah berdasarkan nash Ilahi.

Perpecahan ini berkembang menjadi sistem keimanan yang berbeda, terutama setelah Tragedi Karbala (680 M) yang memperkuat sentimen kezaliman terhadap Ahlul Bait dalam narasi Syiah.

Artikel ini memberikan gambaran singkat tentang bagaimana sejarah konflik Sunni-Syiah memengaruhi ketegangan geopolitik antara Israel dan Iran, serta implikasinya terhadap narasi eskatologis.

Perkembangan Sejarah dan Geopolitik

  1. Dinasti dan Negara

Sunni: mayoritas dunia Islam, didominasi oleh kekhalifahan Umayyah, Abbasiyah, hingga Turki Utsmani.

Syiah: berkembang di pinggiran, seperti Dinasti Fatimiyah (Ismailiyah) dan kemudian Safawi (Iran) yang menetapkan Syiah Itsna ‘Asyariyah sebagai agama resmi (abad ke-16).

  1. Kekuatan Modern

Arab Saudi (Sunni-Wahabi) dan Iran (Syiah) menjadi representasi politik utama mazhab masing-masing di era kontemporer.

Revolusi Iran 1979 menandai kebangkitan Syiah sebagai kekuatan ideologis dan regional.

Konflik Sunni–Syiah dalam Politik Regional

Konflik ini tidak hanya berwujud ketegangan teologis, tapi telah masuk ke ranah proxy war di banyak kawasan:

Suriah: Iran mendukung rezim Bashar al-Assad (Alawi/Syiah), sedangkan kelompok oposisi banyak didukung oleh negara-negara Sunni.

Yaman: Konflik antara Houthi (Syiah Zaidiyah, didukung Iran) dan koalisi pimpinan Saudi (Sunni).

Irak: Ketegangan antara milisi Syiah dan kelompok Sunni pasca invasi AS 2003.

Implikasi terhadap Konflik Israel–Iran

  1. Perseteruan Ideologis Iran–Israel

Iran Syiah pasca-1979 menempatkan perlawanan terhadap Zionisme sebagai doktrin negara.

Kelompok Syiah seperti Hizbullah di Lebanon menjadi ujung tombak perlawanan terhadap Israel.

  1. Strategi Israel: “Divide and Rule”

Israel memanfaatkan konflik Sunni–Syiah sebagai alat geopolitik, mendekati negara-negara Sunni (seperti UEA, Bahrain, Arab Saudi) melalui Abraham Accords.

Narasi “ancaman Syiah” dijadikan justifikasi untuk normalisasi diplomatik antara Israel dan negara-negara Arab Sunni.

  1. Iran sebagai “Simbol Perlawanan”

Iran mengklaim diri sebagai pelindung Palestina dan Al-Quds, dalam kerangka perlawanan eskatologis terhadap “Dajjal Modern” (Zionisme).

Di sisi lain, sebagian Sunni menuduh Iran memanfaatkan isu Palestina untuk ekspansi Syiah.

Dapat disimpulkan bahwa konflik Sunni-Syiah telah menjadi faktor kunci dalam dinamika Timur Tengah, termasuk ketegangan Israel-Iran. Persaingan sektarian ini memperumit perdamaian karena:

  • Israel dan sekutu Sunni melihat Iran sebagai ancaman eksistensial.
  • Iran menggunakan narasi perlawanan Syiah untuk memperluas pengaruh di kawasan.
  • Proxy wars antara kelompok Sunni dan Syiah memperpanjang konflik Israel-Palestina.

Solusi jangka panjang memerlukan pendekatan yang melampaui sektarianisme, tetapi sejarah panjang permusuhan membuat rekonsiliasi menjadi sangat sulit dan semakin pelik, sehingga seluruh upaya gagal menghentikan konflik.

Epilog: Keniscayaan Sejarah dalam Narasi Eskatologis

Konflik panjang antara dunia Arab dan Persia bukan sekadar ketegangan mazhab atau pertentangan geopolitik. Ia merupakan residu sejarah dari dua peradaban besar yang pernah bersaing memperebutkan pusat orientasi Islam pasca-wafatnya Nabi Muhammad SAW.

Dunia Arab melahirkan kekhalifahan Sunni dan dominasi syariat; dunia Persia membentuk identitas Syiah sebagai simbol perlawanan terhadap marginalisasi spiritual-politik.

Dalam lintasan waktu, konflik ini termanifestasi ulang dalam bentuk modern antara koalisi negara-negara Sunni Arab—yang sebagian besar telah terintegrasi dalam orbit pengaruh Barat dan Israel—dan Republik Islam Iran yang memosisikan dirinya sebagai benteng terakhir perlawanan terhadap Zionisme global.

Ketegangan ini bukan lagi hanya soal syariat dan sekte, melainkan telah menyatu dengan konstelasi kekuasaan akhir zaman yang lebih besar dan lebih dalam.

Ketika dunia Islam semakin terjebak dalam perpecahan internal, kehilangan arah moral dan politik, dan tunduk pada logika hegemoni global, maka sejarah menuntut kehadiran sosok pemimpin yang melampaui kategori etnis, mazhab, dan geopolitik.

Sosok yang disiapkan bukan oleh sistem, bukan oleh partai, bukan oleh konsensus elit, tetapi langsung oleh Allah: figur kharismatik yang telah dijanjikan dalam nubuwat dan dikenali oleh suara fitrah yang jernih di hati manusia.

Dalam kacamata Sunni maupun Syiah, figur itu disebut Imam Mahdi—pemimpin akhir zaman yang bukan hanya simbol spiritual, tetapi juga jawaban atas krisis kepemimpinan dan pecahnya dunia Islam.

Ia akan hadir tidak hanya untuk menyatukan yang tercerai, tetapi juga untuk menggugurkan segala klaim kekuasaan palsu yang menyembunyikan kebatilan di balik diplomasi dan pragmatisme.

Konflik Israel–Iran, yang pada permukaannya tampak seperti perseteruan negara modern, sesungguhnya mengandung dimensi spiritual yang dalam.

Ia menjadi medan awal bagi pertarungan antara kebenaran dan kepalsuan di era global, di mana batas-batas antara agama, politik, dan eskatologi mulai menyatu.

Ketika waktu kian menua dan narasi sejarah mencapai titik nadirnya, maka keniscayaan akan munculnya pemimpin Ilahi bukan lagi sekadar dogma keagamaan, melainkan keperluan sejarah yang tak bisa dihindari.

Sebab sejarah, pada akhirnya, adalah panggung bagi kebenaran untuk tampil setelah seluruh sistem buatan manusia runtuh oleh kontradiksinya sendiri.

Itu sebabnya, dua prioritas utama Imam Mahdi adalah pembebasan dunia Arab dan Persia (Iran), sebelum menundukkan Rum (barat/NATO), dan akhirnya menghentikan perlawanan dajjal dan membebaskan Palestina.

“Kalian akan memerangi Jazirah Arab, lalu Allah membukakannya untuk kalian; kemudian Persia, lalu Allah membukakannya; lalu Romawi, lalu Allah membukakannya; kemudian Dajjal, maka Allah akan mengalahkannya.”
(HR. Muslim, 5161).

Fase Pax Judaica berakhir bersamaan dengan terbunuhnya dajjal¹.

Selanjutnya dunia memasuki era peradaban baru, Pax Islamica². Inilah fase kelima dan terakhir perjalanan sejarah³.

Hadits tentang lima fase sejarah ini memberikan pembelajaran sangat berharga, yaitu agar kita berpikir jernih dan proporsional dalam melihat proses sejarah.

Dengan perspektif ini, maka kontroversi tentang Khilafah seharusnya sudah selesai.

“Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi, dan hendak menjadikan mereka pemimpin-pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi.”
(QS. Al-Qashasah: 5).

Catatan Kaki

¹ Secara etimologis, istilah “pax” berasal dari bahasa Latin yang berarti “perdamaian”. Namun, dalam konteks politik internasional, istilah ini sering digunakan untuk menggambarkan periode stabilitas global yang dijamin oleh dominasi suatu kekuatan hegemonik.

Inggris mendominasi dunia sejak abad 19 sampai Perang Dunia II, lalu bergeser ke Amerika. Serangan Israel ke Iran 13 Juni 2025, memperkuat pandangan bahwa pusat kekuatan dunia kini tengah bergeser menuju dominasi Israel (Pax Judaica).

Dalam kajian kritis hubungan internasional, konsep “pax” sering dianggap sebagai eufemisme (penghalusan) yang menyamarkan realitas hegemoni dan imperialisme di balik narasi stabilitas. Stabilitas yang diklaim sering kali bersifat relatif, karena dibangun melalui mekanisme kontrol militer, eksploitasi ekonomi, dan pengaruh politik yang tidak setara.

Dalam kajian Geoprofetik, ditemukan interpretasi Hadits yang unik mengenai pergeseran kekuasaan global:

“Ia (Dajjal) akan tinggal di bumi selama empat puluh hari. Sehari seperti setahun, sehari seperti sebulan, sehari seperti sepekan, dan sisa hari-harinya seperti hari-hari kalian.”
(HR. Muslim, 2937).

Fase-fase dajjal ini dapat dibaca sebagai metafora bagi periode dominasi kekuatan dunia: “Sehari seperti setahun”, Pax Britannica (dominasi Inggris yang berlangsung relatif lama).

“Sehari seperti sebulan”, Pax Americana (dominasi AS yang lebih singkat dibandingkan Inggris). Dan “Sehari seperti sepekan” Pax Judaica (periode dominasi yang lebih pendek).

Sedangkan, “Sisa hari-harinya seperti hari-hari kalian”, adalah fase ketika Dajjal muncul dalam wujud manusia biasa, sebelum akhirnya dihancurkan oleh Imam Mahdi dan Nabi Isa.

Interpretasi ini menempatkan Pax Judaica sebagai fase terakhir sebelum munculnya kekuatan adikodrati yang akan mengakhiri ketidakadilan global.

Narasi ini menggarisbawahi prinsip teodisi dalam Islam: bahwa jika ada kekuatan yang menebar kezaliman (dajjal), maka pasti ada kekuatan penyeimbang yang akan memulihkan keadilan (Imam Mahdi dan Nabi Isa).

Hal ini sejalan dengan pandangan teleologis bahwa sejarah manusia bergerak menuju suatu penyelesaian final.

² Pax Islamica adalah fase sejarah kelima dan terkahir, sebagaimana disebutkan dalam catatan kaki berikutnya.

Adalah mustahil fase kelima muncul sebelum fase keempat berakhir, sebagaimana mustahil membangun khilafah (dalam skala negara apalagi global) di tengah dominasi mulkan jabbariyyan, penguasa zalim (fase keempat, sekarang).

Sistem yang dibangun di atas paksaan dan penindasan tidak akan pernah bisa menjadi fondasi bagi tatanan politik yang legitimate dan berdaulat.

Jika mustahil menegakkan khilafah di era mulkan jabbariyyan, maka ketika fase khilafah tiba, tidak ada lagi kekuatan yang mampu menghalanginya.

Kemenangannya menjadi keniscayaan sejarah, karena ia datang sebagai pengganti alami dari sistem yang telah kehilangan legitimasi dan daya tahannya. Runtuhnya tirani mulkan jabbariyyan menjadi pintu gerbang bagi kebangkitan tatanan baru yang adil.

³ “Akan datang kepada kalian kenabian (fase pertama), maka akan tetap ada selama Allah menghendakinya, lalu Allah akan mengangkatnya jika Dia menghendaki.”

“Kemudian datang masa khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah, maka akan tetap ada selama Allah menghendakinya, lalu Allah akan mengangkatnya jika Dia menghendaki.”

‘Kemudian datang masa kerajaan yang menggigit (mulk ‘adhan), maka akan tetap ada selama Allah menghendakinya, lalu Allah akan mengangkatnya jika Dia menghendaki.”

“Kemudian datang masa kerajaan yang memaksa/otoriter (mulk jabriyyah), maka akan tetap ada selama Allah menghendakinya, lalu Allah akan mengangkatnya jika Dia menghendaki.”

“Kemudian akan datang kembali masa khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah (fase kelima).”
(HR. Ahmad, 18406; Shahih lidzatihi).

Hadits ini bukan hanya menggarisbawahi landasan proses sejarah teleologis dalam Islam, tapi juga tentang rahasia waktu: “Kapan era baru keadilan universal itu datang?” Jawabannya: “Ketika Allah Menghendaki!”.

والله أعلم

MS 23/06/25

(Foto: ilustrasi/IST)

Posted in

BERITA LAINNYA

KKP dan PT Semen Padang Kolaborasi Kelola Sampah Laut

JAKARTA–Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang…

Pengusaha Muslim Sepakat Menata Ekonomi Babel Pasca Timah

GETARBABEL.COM, BANGKA-  Selasa (30/04/2024), para pengusaha muslim Bangka Belitung berkumpul…

Majelis Hakim PTUN Keluarkan Putusan Sela, Proyek STiAKIN Ditunda Pelaksanaannya

GETARBABEL.COM, PANGKALPINANG– Majelis Hakim yang memeriksa perkara terkait gugatan tender…

POPULER

HUKUM

hipk

IPTEK

drone

TEKNOLOGI