Pemerintah Salurkan Bantuan Pangan, Upaya Tuntaskan Kemiskinan Ekstrem di Pangkalpinang
By beritage |
GETARBABEL.COM, PANGKALPINANG — Pemerintah Kota Pangkalpinang melalui Asisten Pemerintahan dan…
Tuesday, 20 May 2025
Oleh : Maman Supriatman || Alumni HMI
SAAT algoritma menggantikan intuisi dan kecerdasan buatan merambah ranah takdir, Surah Al-Qadr ayat 4 hadir sebagai deklarasi transenden: bahwa di balik layar realitas, ada Malaikat yang mengatur “kode-kode Ilahi”, dan Jibril, pembawa Wahyu, adalah sang kurator utama.
Allah berfirman:
تَنَزَّلُ الْمَلٰٓئِكَةُ وَالرُّوْحُ فِيْهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ ۚ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ
“Pada malam itu, para Malaikat dan Ruh (Jibril) turun dengan izin Tuhan mereka untuk mengatur segala urusan.”
(QS. Al-Qadar: 4).
Ayat ini bukan sekadar deskripsi metafisik, melainkan _blueprint_ kosmik yang memaksa kita bertanya: bagaimana makhluk tak kasatmata mengatur takdir yang kita anggap sebagai “nasib”?
Jibril dalam Sistem Kosmik
Mufasir klasik seperti Ibnu Katsir dan Al-Thabari menggambarkan Lailatul Qadar sebagai malam di mana Lauh Mahfuzh, yaitu “Database Ilahi,” diunduh ke bumi via Malaikat. Jibril, yang disebut spesifik sebagai _al-Ruh_, bertindak sebagai _Chief Executor_ yang menjalankan _Divine Algorithm_.
Al-Qurthubi menambahkan bahwa turunnya Malaikat membawa dua hal sekaligus: kepastian ketetapan dan _fluiditas rahmat_. Ini mirip teori chaos modern: Allah menetapkan Hukum Alam (Sunnatullah) yang pasti, tapi menyisakan ruang bagi doa dan ikhtiar sebagai variabel pengubah.
“Malaikat adalah simbol Hukum Alam, Jibril adalah personifikasi anugerah yang melampauinya,” tulis Fazlur Rahman dalam _Major Themes of the Qur’an_.
*”Qadar” dalam Konteks Jibril sebagai _Chief Executor_ pada Malam Qadar
“Qadar” adalah konsep Ketuhanan dalam Islam yang merujuk pada ketetapan, kehendak, dan keputusan mutlak Allah SWT atas segala peristiwa, takdir, dan skenario kosmik yang telah ditentukan sejak zaman azali.
Pada malam ini (Laylat al-Qadr), Allah menetapkan takdir seluruh makhluk untuk tahun berikutnya, termasuk rezeki, ajal, dan peristiwa alam, yang kemudian diimplementasikan oleh Malaikat di bawah kepemimpinan Jibril.
Malaikat Jibril bertindak sebagai pemimpin eksekutor Ilahi yang bertugas menjalankan dan menyampaikan Ketetapan Allah (qadar) yang ditetapkan pada Malam Qadar kepada Alam Semesta.
Fungsi Jibril sebagai Pemimpin Eksekusi:
– Memimpin bala tentara Malaikat untuk menurunkan berkah, rahmat, dan ketetapan Allah ke Bumi.
– Mengawasi distribusi takdir (seperti rezeki, keselamatan, atau ujian) kepada manusia sesuai catatan di Lauhul Mahfuz.
– Bertindak sebagai perantara antara Allah dan makhluk dalam mewujudkan Rencana Ilahi.
Laylat al-Qadr (Malam Kemuliaan) adalah malam turunnya Al-Qur’an (QS. Al-Qadr: 1-5) dan waktu ditetapkannya qadar tahunan.
Pada malam itu, Jibril turun ke Bumi bersama Malaikat lain dengan izin Allah untuk mengaminkan doa, mengatur peristiwa, dan “mengirim” takdir yang telah diputuskan.
Dengan demikian, “taqdir” (تَقْدِير) adalah proses pengukuran dan penetapan qadar oleh Allah, yang diimplementasikan oleh Malaikat Jibril dan Malaikat lainnya sesuai tugas masing-masing.
Kaitannya dengan Nuzul al-Qur’an atau peristiwa turunnya Wahyu pertama Al-Qur’an melalui Jibril kepada Nabi Muhammad SAW, yang juga terjadi pada Malam Qadar, menegaskan peran ganda Jibril sebagai penyampai Wahyu dan sebagai eksekutor qadar.
Namun, meskipun qadar telah ditetapkan, manusia tetap diberi kebebasan memilih (ikhtiar), sedangkan Jibril dan Malaikat lainnya bertugas memastikan harmoni antara Kehendak Ilahi dan Hukum Alam.
Peran Jibril sebagai _chief executor_ mencerminkan hierarki Malaikat dalam Sistem Ilahi, di mana ia menjadi “Manajer Operasional” Kehendak Allah di Alam Semesta.
Dalam konteks ini, Malaikat Mikail bertanggung jawab mengimplementasikan qadar terkait alam dan rezeki, yang bekerja di bawah koordinasi Jibril.
Dekonstruksi Amr: Antara Fatalisme dan Revolusi Spiritual*
Jika ulama klasik fokus pada aspek teologis “min kulli amr” (segala urusan), mufasir modern seperti Sayyid Qutb dan Muhammad Abduh membongkarnya menjadi proyek etika.
“Turunnya Jibril adalah tamparan bagi rezim tiran, bahwa kuasa mutlak hanya milik Allah, bukan diktator,” tulisnya dalam _Fi Zilal al-Qur’an_. Di sini, _amr_ bukan takdir pasif, tapi mandat Ilahi untuk menggulingkan kezaliman.
Bagi Abduh, frasa “min kulli amr” mencakup tuntutan untuk membangun peradaban: “Allah menetapkan matahari terbit dari timur, tapi manusia wajib menciptakan keadilan di bumi.”
Integrasi Qadar dan Tanggung Jawab Insani
Dalam konteks kontemporer, Dr. Zaghlul al-Najjar, ilmuwan Al-Qur’an Mesir, menghubungkan turunnya Malaikat dengan konsep fisika kuantum tentang _interdimensional beings_.
Ia menjelaskan bahwa Malaikat sebagai makhluk cahaya (nur) bergerak dalam dimensi yang tak terakses manusia, sehingga turunnya mereka pada Laylat al-Qadr adalah fenomena transenden yang hanya bisa dipahami melalui keimanan.
Sementara itu, Prof. Quraish Shihab dalam _Tafsir al-Mishbah_ menekankan bahwa kehadiran Malaikat pada malam tersebut adalah simbol keterlibatan Allah dalam setiap detail kehidupan manusia, termasuk di era teknologi.
Meski qadar telah ditetapkan, manusia tetap dituntut memanfaatkan akal untuk mengelola alam semesta, sebagaimana perintah Allah untuk “membaca” (QS. Al-‘Alaq: 1).
Imam Nawawi (w. 676 H) dalam _Riyadh al-Shalihin_ menyebutkan bahwa Rasulullah SAW mengajarkan umatnya untuk menghidupkan malam ini dengan ibadah sunnah, seperti shalat, tilawah, dan sedekah, sebagai bentuk penyelarasan diri dengan Ketetapan Allah.
Dr. Yusuf al-Qaradawi (w. 2022) dalam _Fiqh al-Ibadat_ menambahkan bahwa kepercayaan pada qadar harus melahirkan sikap optimis, bukan pasif. Misalnya, seorang petani yang berdoa memohon hujan, tetap wajib mengairi ladangnya. Dengan kata lain, tawakkal tanpa ikhtiar adalah bentuk kesalahan dalam memahami qadar.
Pemikir liberal seperti Nasr Hamid Abu Zayd (w. 2010) mempertanyakan relevansi konsep qadar di era modern. Ia berargumen bahwa penekanan pada Ketetapan Ilahi berpotensi melahirkan fatalisme.
Namun, Dr. Mustafa Mahmud (w. 2009) membantah hal ini. Menurutnya, Ayat ini justru mengajarkan bahwa qadar adalah Sistem Ilahi yang kompleks, di mana manusia diberi kebebasan memilih jalan hidup dalam koridor Hukum Alam (Sunnatullah).
Jibril vs Kecerdasan Buatan: Tafsir Sains yang Memberontak
Dr. Zaghlul al-Najjar menghubungkan Malaikat dengan teori dawai: “Mereka bergerak di dimensi tak terlihat, mengatur partikel seperti programmer mengatur kode.”
Tapi Prof. Quraish Shihab mengingatkan: “Jika AI bisa memprediksi cuaca, Jibril mengajarkan bahwa hujan adalah puisi Ilahi yang tak terukur.” Di era yang menyembah data, turunnya Jibril adalah pernyataan: Logika tanpa spiritualitas buta, iman tanpa sains lumpuh.
Al-Alusi membedakan ketetapan Allah menjadi dua:
1. Qadha’ Mubram: Skrip utama yang tak berubah (kematian, kiamat).
2. Qadha’ Mu’allaq: _Open-world plot_ yang bisa diubah melalui doa dan usaha.
Nasr Hamid Abu Zayd memperingatkan bahaya fatalisme, tapi Dr. Mustafa Mahmud membalas: “Qadar adalah _sandbox universe_: Allah memberi _engine,_ manusia menulis ceritanya.”
Imam Nawawi mengajarkan shalat malam, tapi di abad 21, ini harus ditafsir ulang:
– “Berdzikir sambil mematikan notifikasi adalah jihad kontemporer,” kata Haidar Bagir dalam _Semesta Cinta_.
– “Mengatur qadar adalah memberdayakan algoritma untuk keadilan,” seru aktivis Muslim Silicon Valley.
– “Petani yang pasif menunggu hujan tanpa menanam adalah pengkhianat qadar,” kata Yusuf Qardlawi.
Epilog: Apakah Kita Masih Perlu Malaikat?
Ketika AI mulai menulis puisi dan meramal masa depan, Surah Al-Qadr ayat 4 berbisik: “Teknologi adalah alat, bukan tuhan. Jibril mengingatkanmu: di balik kecerdasan buatan, ada Kecerdasan Hakiki yang tak terjangkau data.”
Al-Ghazali benar: “Pemahaman qadar adalah obat jiwa. Siapa yang memahami qadar hidupnya akan tenang, dan siapa yang mengabaikannya imannya akan pincang.”
*Turunnya Jibril adalah ultimatum: Merdekakan dirimu dari ilusi kontrol, atau jadi budak algoritma selamanya. Pilihan ada di tanganmu: apakah kau hanya akan menonton takdir, atau menulisnya bersama para Malaikat?*
Glosarium
1. Chiep Eksekutor:
Istilah yang merujuk pada figur otoritas atau pemimpin dalam konteks fiksi atau cerita tertentu. “Eksekutor” dapat diartikan sebagai pelaksana keputusan atau hukum, sementara “Chiep” merupakan gelar atau nama yang dikaitkan dengan hierarki khusus. Dalam beberapa narasi, peran ini bisa melibatkan kewenangan untuk menegakkan aturan tertinggi atau menghubungkan dimensi fisik dengan spiritual.
2. Divine Algorithm (Algoritma Ilahi):
Konsep metaforis atau spekulatif tentang sistem atau prinsip matematis yang diyakini mengatur alam semesta atas kehendak entitas transendental (Tuhan/dewa). Digunakan dalam diskusi filosofis atau fiksi ilmiah untuk menggambarkan “kode” tak terlihat yang mengatur keseimbangan kosmik, takdir, atau Intervensi Ilahi melalui pola terstruktur.
3. Fluiditas Rahmat, Teologi Spiritualitas:
Merujuk pada sifat dinamis dan adaptif dari rahmat atau kasih Karunia Ilahi yang diyakini mampu mengalir tanpa batasan struktur manusiawi. Konsep ini menekankan fleksibilitas rahmat dalam merespons konteks, kebutuhan, atau perubahan kondisi spiritual individu.
4. Teori Chaos Modern, Sains Matematika:
Pengembangan teori chaos kontemporer yang mempelajari sistem kompleks dengan ketergantungan sensitif pada kondisi awal, menghasilkan ketidakpastian jangka panjang. Aplikasinya mencakup prediksi cuaca, dinamika populasi, ekonomi, hingga analisis jaringan sosial. Dikaitkan dengan fenomena seperti “efek kupu-kupu” dan pencarian pola dalam kekacauan.
5. Interdimensional Being (Makhluk Antardimensi), Fiksi Ilmiah/Fisika Teoretis:
Entitas hipotetis yang dianggap mampu eksis atau bergerak melintasi dimensi ruang-waktu di luar persepsi manusia. Dalam fisika, konsep ini terkait teori dawai atau multiverse, sementara dalam budaya populer sering digambarkan sebagai sosok dengan kemampuan supranatural atau teknologi transdimensional.
6. Lailatul Qadar:
MalamKemuliaan dalam Islam, diyakini sebagai waktu turunnya Al-Qur’an tahap pertama, dan penetapan takdir setahun ke depan. Disebut “malam seribu bulan” (QS. Al-Qadr: 3).
7. Jibril (Ar-Ruh):
Malaikat utama penyampai Wahyu, pemimpin para malaikat yang turun pada Lailatul Qadar.
8. Lauh Mahfuzh:
Catatan Ilahi berisi seluruh Ketetapan Allah, termasuk takdir makhluk.
9. Mufasir:
Ahli tafsir Al-Qur’an, baik klasik (Ibnu Katsir) maupun modern (Quraish Shihab).
10. Qadha’ Mubram:
Ketetapan Allah yang pasti dan tak berubah, seperti kematian.
11. Qadha’ Mu’allaq:
Ketetapan bersyarat yang bisa diubah melalui ikhtiar dan doa.
12. Sunnatullah:
Hukum Alam atau Ketetapan Allah yang mengatur fenomena alam dan sosial.
13. Amr:
Urusan atau Perintah Ilahi; dalam konteks ayat, mencakup takdir dan mandat etis.
14. Divine Algorithm:
Metafora sistem Ketetapan Allah yang dijalankan malaikat.
15. Fatalisme:
Paham pasif bahwa manusia tak bisa mengubah takdir.
16. Ikhtiar:
Usaha manusia dalam koridor Ketetapan Allah.
17. Tawakkal Kritis:
Berserah diri disertai analisis dan usaha maksimal.
18. Kecerdasan Buatan (AI):
Simulasi kecerdasan manusia melalui mesin.
19. Teori Dawai:
Teori fisika tentang partikel berbentuk dawai; dikaitkan dengan sifat malaikat.
20. Sandbox Universe:
Alam semesta sebagai ruang kebebasan insani dalam Koridor Ilahi.
21. Jihad Kontemporer:
Perjuangan spiritual melawan distraksi modern.
*Catatan:*
Beberapa istilah bersifat spekulatif atau kontekstual, terutama “Chiep Eksekutor” yang tidak memiliki referensi akademis baku. Definisi disusun berdasarkan analisis linguistik dan kemungkinan penggunaan dalam narasi fiksi/spiritual.
والله أعلم بالخبايا
“Allah yang Maha Tahu Rahasia Kode-Kode Takdir”
MS/24/03/25
Posted in SOSBUD
GETARBABEL.COM, PANGKALPINANG — Pemerintah Kota Pangkalpinang melalui Asisten Pemerintahan dan…
JAKARTA– Bertempat di Gedung Utama Kejaksaan Agung, Selasa 03 Oktober…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Direktur Politeknik Manufaktur Negeri Bangka Belitung I…
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sejumlah ASN…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sungguh miris…
GETARBABEL.COM, BANGKA- Kawasan hutan seluas…