Jiwa Yang Tenang Di Tengah Bumi Yang Retak (31): Dari Geopolitik Ke Geoprofetik (Eskatologi Sebagai Navigasi Akhir Zaman)
By beritage |
Mereka yang menganggap Dajjal sebagai metafora, sedang mempersiapkan panggung bagi…
Thursday, 31 July 2025
Oleh: Maman Supriatman || Alumni HMI
Artikel ini mengelaborasi konsep bashirah dalam Al-Qur’an sebagai kerangka epistemologis integratif untuk membangun fondasi peradaban yang tahan terhadap disorientasi zaman.
Melalui pendekatan sintesis terhadap dua kutub pemikiran Islam kontemporer: kontekstual-rasional Nurcholish Madjid dan tekstual-eskatologis Syekh Imran, artikel ini menunjukkan bahwa bashirah bukan sekadar visi spiritual, melainkan sistem epistemik yang menyatukan wahyu, akal, dan realitas historis-geopolitik.
Studi kasus Palestina, kecerdasan buatan (AI), dan ekonomi umat memperlihatkan aplikasi operasionalnya sebagai paradigma peradaban.
Pendahuluan
Setelah membandingkan dua kutub pemikiran Islam kontemporer (kontekstual-rasional Nurcholish Madjid dan tekstual-eskatologis Syekh Imran), pertanyaan mendesak muncul: adakah kerangka epistemologis yang menyatukan ketajaman geopolitik-spiritual dengan rasionalitas kontekstual?
Konsep bashirah dalam Al-Qur’an menawarkan solusi. Lebih dari penglihatan batin, ia adalah perangkat epistemik profetik yang mengintegrasikan nurani transenden, penalaran etis, dan kepekaan membaca zeitgeist (semangat zaman).
Makna Bashirah dalam Al-Qur’an: Fondasi Epistemologis
Istilah bashirah (بصيرة) berakar pada kata baṣara (بصر), bermakna “melihat secara mendalam hingga hakikat”.
Dalam QS. Yusuf Ayat 108, Allah berfirman:
“Katakanlah: Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan bashirah.”
Ayat ini menegaskan bashirah sebagai metodologi berbasis pengetahuan holistik, bukan emosi atau doktrin buta.
Sebagai epistemologi, ia memiliki tiga pilar:
Pertama, Ilmu: Integrasi wahyu (naql) dan akal (‘aql) sebagai sumber pengetahuan yang saling mengonfirmasi.
Kedua, Hikmah: Kapasitas menempatkan pengetahuan pada konteksnya, melalui keseimbangan rasionalitas dan etika teleologis (maqāṣid).
Ketiga, Firasat Profetik (Firāsah Nabawiyyah): Kepekaan membaca tanda-tanda zaman (āyāt) dalam realitas material-transendental, termanifestasi dalam visi geopolitik-geoprofetik.
Epistemologi bashirah dengan demikian melampaui dikotomi subjek-objek dalam epistemologi Barat, karena wahyu menjadi framework bagi interpretasi realitas, sekaligus sumber kritik atasnya.
Sintesis Epistemik: Kritik dan Dialektika
Cak Nur menekankan kontekstualisasi, ijtihad rasional, dan dialog dengan modernitas¹. Syekh Imran fokus pada geopolitik eskatologis sebagai medan pertarungan global².
Bashirah menjadi jembatan dialektis:
Kritik terhadap Cak Nur: Pendekatan kontekstual sering mengabaikan dimensi meta-rasional (ghaib/eskatologis) sebagai realitas epistemik yang valid, rentan terhadap kooptasi logika sekular.
Kritik terhadap Syekh Imran: Penekanan pada teks tanpa strategi sosio-institusional menjebak kesadaran eskatologis dalam fatalisme pasif.
Epistemologi bashirah mensyaratkan dialektika permanen antara teks-konteks, visi-misi, dan spiritualitas-aksi.
Ia mengonversi kesadaran eskatologis menjadi roadmap strategis, sekaligus menguji rasionalitas kontekstual dengan parameter transenden.
Penerapan Epistemologi Bashirah
Syekh Imran membingkai krisis Palestina sebagai simbol dominasi Dajjal³, membangun kesadaran meta-historis.
Namun tanpa bashirah, ini berisiko menjadi mitos pasif. Cak Nur menawarkan etika pembebasan berbasis keadilan global, tapi lemah dalam visi peradaban jangka-panjang.
Bashirah mengintegrasikan keduanya:
Firasat profetik membaca konflik sebagai pertarungan kosmik (Isa Al-Masih Asli vs Dajjal al-masih palsu).
Hikmah mentransformasikannya menjadi strategi multidimensi: diplomasi berbasis hak historis, boikot ekonomi sistematis, dan pembangunan opini global melalui narasi profetik.
AI adalah “medan fitnah” modern yang mengancam otentisitas manusia⁴.
Pendekatan tekstual melihatnya semata sebagai alat Dajjal; pendekatan kontekstual cenderung naif.
Bashirah menawarkan kerangka etis-profetik:
Ilmu memandu pengembangan AI berbasis maqāṣid syari’ah (menjaga jiwa, akal, keturunan, harta, agama).
Firasat memprediksi dampak sosio-spiritual (misal: algoritma yang mendegradasi moral).
Hikmah merancang regulasi dan teknologi alternatif (misal: AI for Zakat guna pemerataan ekonomi).
Syekh Imran mengusulkan dinar-dirham⁵, namun kurang dalam rekayasa institusional.
Cak Nur berbicara etika ekonomi, tapi minim cetak biru sistemik.
Bashirah menyatukan visi dan operasionalisasi:
Ilmu melegitimasi mata uang berbasis logam mulia sebagai penolakan riba.
Hikmah mendesain transisi melalui koperasi syari’ah dan fintech etis.
Firasat membaca tren ekonomi global untuk membangun ekosistem wakaf produktif yang anti-sistemik.
Bandingan Dua Kutub: Rahman dan Nasr
Epistemologi bashirah diperkaya oleh dua tokoh:
Fazlur Rahman dengan “double movement” (gerakan ganda: dari teks ke konteks dan kembali ke teks)⁶, menguatkan pilar ilmu-hikmah.
Seyyed Hossein Nasr menekankan “intelektualitas spiritual” (berbasis kosmologi Islam)⁷, yang menyempurnakan dimensi firasat.
Bashirah menjadi paradigma unifikasi: merangkul spektrum pemikiran Islam tanpa reduksionisme.
Kesimpulan
Epistemologi bashirah adalah pilar peradaban yang menjawab disorientasi zaman.
Ia mengintegrasikan dimensi:
Ontologis (realitas ghaib-material), Aksiologis (nilai etis profetik), dan Teleologis (visi peradaban akhir zaman).
Dengan bashirah, umat Islam tidak hanya bertahan, tapi memimpin dengan visi yang mengubah tantangan zaman sebagai undangan untuk membangun fondasi peradaban baru.
Catatan Kaki
¹ Madjid, Nurcholish. Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina, 1994.
² Hosein, Imran N. Jerusalem in the Qur’an: An Islamic View of the Destiny of Jerusalem. Kuala Lumpur: Masjid Dar al-Qur’an, 2001.
³ Muslim, Imam. Sahih Muslim, Hadith no. 5161.
⁴ Tegmark, Max. Life 3.0: Being Human in the Age of Artificial Intelligence. New York: Alfred A. Knopf, 2017.
⁵ Hosein, Imran N. The Gold Dinar and Silver Dirham: Islam and the Future of Money. Kuala Lumpur: Masjid Dar al-Qur’an, 2007.
⁶ Rahman, Fazlur. Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press, 1982.
⁷ Nasr, Seyyed Hossein. The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity. New York: HarperOne, 2002.
والله أعلم
MS 14/06/25
Posted in SOSBUD
Mereka yang menganggap Dajjal sebagai metafora, sedang mempersiapkan panggung bagi…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Politeknik Manufaktur Negeri Bangka Belitung (Polman Babel)…
Anggota Exco PSSI Arya Sinulingga dalam konferensi pers terkait perkembangan…
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sejumlah ASN…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sungguh miris…
GETARBABEL.COM, BANGKA- Kawasan hutan seluas…