Pondasi Peradaban Baru (6): Bashirsh, Mengapa Menghilang dari Wacana Akademik dan Kurikulum

images

Oleh: Maman Supriatman || Alumni HMI

Zaman ini menjerat kita dalam ilusi penglihatan: mata terpaku pada layar, tapi hati buta akan hakikat. Kita menyaksikan dunia hanya dengan sebelah mata; mata jasmani yang terbelenggu data, sementara mata kalbu mati kelaparan. Krisis ini bukan sekadar persoalan teknologi; ia adalah krisis epistemik yang menggerus jantung peradaban Islam.

Pendahuluan: Krisis Penglihatan di Zaman Retak

Epistemologi bashirah (penglihatan batin) adalah tawaran penyelamatan bagi peradaban yang terperangkap dalam kebutaan metafisik.

Dunia Islam, pewaris tradisi kasyf (penyingkapan hakikat), justru terjun bebas dalam disorientasi yang sama.

Mengapa konsep sentral Qur’ani ini absen dari wacana akademik dan kurikulum?

Urgensi Bashirah: Antidot bagi Zaman yang Sakit

  1. Diagnosa Al-Qur’an: Butanya Hati di Era Digital

Surah Al-Hajj:46 (“Bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati di dalam dada”), membedah patologi zaman:

  • Kebutaan Spiritual:
    Materialisme dan dataisme (pemujaan data) memutus hubungan dengan transendensi.

Neil Postman dalam Technopoly (1992) memperingatkan: “Teknologi tanpa kebijaksanaan adalah bencana.”

  • Visio Unilateral:
    Rasionalitas instrumental melahirkan sistem penghancur diri. Sebagaimana diingatkan Syed Naquib Al-Attas:

“Sains modern buta pada ma’nā (makna), melahirkan teknologi tanpa jiwa” (Al-Attas, Aims and Objectives, 1979).

  1. Bashirah sebagai Solusi Peradaban
  • Pembaca Tanda Zaman (Firasat):
    Membongkar agenda tersembunyi di balik teknokrasi (misal: AI sebagai alat kapitalisme pengawasan).
  • Integrator Pengetahuan:
    Menyatukan wahyu, filsafat, dan sains dalam kerangka tawhid. Ibn ‘Arabī menegaskan:

“Bashirah adalah cahaya yang menyatukan syariat, hakikat, dan realitas” (Ibn ‘Arabī, Al-Futūḥāt, 1929).

  • Penjaga Keseimbangan:
    Mencegah reduksionisme sains yang mengabaikan dimensi ruhani.

Seyyed Hossein Nasr mengingatkan: “Desakralisasi pengetahuan melahirkan krisis ekologis-spiritual” (Nasr, Man and Nature, 1968).

Bashirah dalam Tradisi Islam: Warisan yang Terkubur

  1. Tasawuf: Laboratorium Mata Hati

Imam Al-Ghazālī menyebut bashirah sebagai “nūrun yulqīhi Allāh fī al-qalb” (cahaya yang Allah tanamkan di kalbu); bukan magis, melainkan alat epistemik untuk menembus hakikat (Al-Ghazālī, Iḥyā’, 1999: Jilid 3).

  1. Pendidikan Integratif

Ibnu Khaldūn menekankan: “Ilmu sejati lahir ketika akal-hati bersinergi dalam cahaya bashirah (Ibn Khaldūn, Muqaddimah, 1967).

Pesantren tradisional mewujudkannya lewat tazkiyatun nafs sebagai fondasi belajar.

Empat Penyebab Hilangnya Bashirah: Anatomi Keterputusan

  1. Kolonisasi Epistemik (Akar Krisis)

Hegemoni pendidikan kolonial memaksakan dikotomi ilmu agama-duniawi. Syed Muhammad Naquib Al-Attas mendiagnosis:

“Pendidikan Barat mengimpor sekularisasi ke pikiran Muslim, menggantikan ta’dīb (pendidikan berbasis adab) dengan model mekanistik” (Al-Attas, Islam and Secularism, 1978).

Dikotomi ini adalah pembunuhan epistemik (Syed Hussein Alatas, The Myth of the Lazy Native, 1977) yang mencabut akar integrasi ilmu.

  1. Fragmentasi Keilmuan

Tekstualis: Terjebak literasi tanpa konteks (e.g., fikih AI tanpa etika profetik).

Modernis: Menolak firasah demi objektivitas semu. Ismail Raji Al-Faruqi mengkritik:

“Pendidikan Muslim terjebak dikotomi Barat: wahyu vs akal” (Al-Faruqi, Islamization, 1982).

Dampaknya, lahirlah ilmuwan yang buta dimensi batin pengetahuannya.

Contoh aktual fragmentasi keilmuan: Kurikulum AI di universitas Islam mengabaikan neurosains kesadaran, padahal ia adalah medan bashirah kontemporer.

  1. Kemunduran Institusi Intelektual

Konferensi Mekah 1977 mencatat: “Universitas Islam menghapus mata kuliah kalam-falsafi dan tasawuf epistemik” (First World Conference, 1977:112).

Akibatnya, tradisi kasyf tersingkir dari arus utama.

Hilangnya bashirah adalah kematian institusional terhadap warisan Ibn ‘Arabi dan Al-Ghazālī.

  1. Distorsi Konsep Kemajuan

Kapitalisme global menjadikan teknologi sebagai tujuan, bukan alat. QS Al-Hadid:20 (“Kehidupan dunia hanyalah permainan”), memperingatkan ilusi ini.

Ziauddin Sardar menambahkan: “Kemajuan versi Barat adalah mitos yang mengabaikan keberlanjutan spiritual” (Sardar, Islamic Futures, 1985).

Muncul paradoks: semakin canggih teknologi, semakin tumpul firasat kemanusiaan.

Rekomendasi: Restorasi Bashirah sebagai Proyek Peradaban

  1. Revolusi Kurikulum Integratif
  • Implementasi metodologi berbasis tauhid (Konferensi Mekah 1977) dengan Modul Epistemologi Bashirah
  • Neurosains Kesadaran: Dialog Ibn Sina dan neurosains modern tentang otak-kalbu.
  • Tafsir Tematik: Dekonstruksi ayat-ayat bashirah (Al-A’raf:179, Al-Hajj:46).
  • Etika Teknologi: Kritik kapitalisme data dengan maqāṣid syarī’ah (Kamali, Maqasid, 2008).
  • Esensi: Mengembalikan pendidikan sebagai ta’dīb (pembentukan adab), bukan sekadar transfer informasi (Wan Mohd Nor Wan Daud, Concept of Knowledge, 1989).
  1. Proyek Peradaban Alternatif
  • AI Berkeadilan:
    Algoritma berlandaskan maqāṣid (e.g., penghormatan privasi/QS. Al-Hujurat:13).
  • Ekonomi Sinergis:
    Integrasi zakat-wakaf-fintech untuk keadilan sosial.
  • Revitalisasi Institusi:
    Halaqah tasawuf epistemik di kampus, mengikuti model Dar al-Mustafa Tarim.

Penutup: Bashirah sebagai Solusi Zaman Retak

Bashirah adalah jalan pulang dari kehampaan spiritual. Ali bin Abi Thalib mengingatkan:

“Orang yang kehilangan bashirah, mati sebelum ia wafat.”

Menghidupkannya adalah pemberontakan terhadap zaman yang memaksa kita memejamkan mata hati.

Ini bukan nostalgia, melainkan proyek kebangkitan; restorasi insān adabī (manusia beradab) sebagai fondasi peradaban baru. Sebagaimana gema Konferensi Mekah 1977:

“Pendidikan Islam harus membebaskan manusia dari penjara materi menuju cahaya Ilahi.”

Membangun bashirah adalah menyalakan mercusuar di tengah kabut peradaban. Ia mengajak kita melihat data dengan hati, membaca algoritma dengan hikmah, dan merancang teknologi dengan ruh Ilahi.

Inilah pemberontakan teragung: menolak buta di tengah pesta cahaya layar.

Daftar Pustaka (Chicago Style)

Alatas, Syed Hussein. The Myth of the Lazy Native. London: Frank Cass, 1977.

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Aims and Objectives of Islamic Education. Jeddah: King Abdulaziz University, 1979.

———. Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ABIM, 1978.

Al-Faruqi, Ismail Raji. Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan. Herndon: International Institute of Islamic Thought, 1982.

Al-Ghazālī, Abū Ḥāmid Muḥammad. Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn. 4 jilid. Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 1999.

First World Conference on Muslim Education. Disunting oleh Syed Ali Ashraf. Jeddah: King Abdulaziz University, 1977.

Ibn ‘Arabī, Muḥyī al-Dīn. Al-Futūḥāt al-Makkiyyah. 4 jilid. Cairo: Dār al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1929.

Ibn Khaldūn. The Muqaddimah: An Introduction to History. Diterjemahkan oleh Franz Rosenthal. Princeton: Princeton University Press, 1967.

Kamali, Mohammad Hashim. Maqasid al-Shari’ah Made Simple. London: International Institute of Islamic Thought, 2008.

Nasr, Seyyed Hossein. Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man. London: Allen & Unwin, 1968.

Postman, Neil. Technopoly: The Surrender of Culture to Technology. New York: Alfred A. Knopf, 1992.

Sardar, Ziauddin. Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come. London: Mansell Publishing, 1985.

Wan Daud, Wan Mohd Nor. The Concept of Knowledge in Islam. London: Mansell Publishing, 1989.

Catatan Daftar Pustaka

  • Relevansi Kontemporer:
    Daftar pustaka ini merekam jejak kritis kolonisasi epistemik (Alatas) hingga solusi integratif (Al-Attas, Wan Daud).
  • Keseimbangan Sumber:
    Mengombinasikan klasik (Al-Ghazālī, Ibn Khaldūn) dan modern (Sardar, Postman) untuk narasi yang holistik.
  • Pesan Intelektual:
    Setiap rujukan adalah serpihan mozaik yang menantang dikotomi ilmu agama-duniawi — esensi dari proyek kebangkitan bashirah.

Daftar ini bukan sekadar katalog, tapi peta perjalanan pulang yang menigintegrasikan mata jasmani dan mata kalbu.

والله أعلم

MS 12/06/25

(fot: ilustras/IST)

Posted in

BERITA LAINNYA

Opini || Mempertanyakan Akses Publik Terhadap Informasi di Daerah

Oleh : Edi Irawan,ST || Ketua Forum Hidrologi Nasional (FHN),…

Opini || Geng Motor & “Pemberontakan” Sosial Remaja

Oleh: AHMADI SOFYAN KEBERADAAN Geng Motor di Negeri Serumpun Sebalai…

“Disuntik” Rp 11,2 Miliar, Ini Peran 2 Tersangka Baru Kasus Suap Pengurusan Perkara di MA

JAKARTA–Tersangka kasus suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA) kembali…

POPULER

HUKUM

hipk

IPTEK

drone

TEKNOLOGI