Kapolda Babel Kunjungi Lansia di UPTD PSBS DinsosPMD
By beritage |
GETARBABEL.COM., PANGKALPINANG – Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Kepulauan Bangka Belitung…
Thursday, 12 June 2025
Oleh: Maman Supriatman || Alumni HMI
“Mereka mempunyai hati, tetapi tidak digunakan untuk memahami…”
(Q.S. Al-A’raf: 179).
Pendahuluan: Dua Jalan Modernisasi di Dunia Islam
Modernisasi telah menjadi medan tarik-ulur paling genting dalam lanskap politik dan spiritual dunia Islam kontemporer.
Ia hadir tidak sekadar sebagai tawaran kemajuan teknis, tetapi sebagai proyek peradaban yang membawa nilai-nilai dan worldview tersendiri.
Artikel ini meneruskan kritik terhadap dikotomi palsu antara modernisasi dan westernisasi, dengan menyoroti dua negara Teluk: Arab Saudi dan Qatar. Keduanya menjadi contoh kontras atas cara dunia Islam menyikapi modernitas: antara asimilasi total atau adaptasi selektif.
Kajian ini bertujuan menelaah kedua pendekatan tersebut serta menggugah kesadaran atas kebutuhan mendesak akan narasi besar di dunia Islam, termasuk Indonesia.
Arab Saudi: Modernisasi Tanpa Transendensi
Arab Saudi di bawah kepemimpinan Mohammed bin Salman (MBS) telah meluncurkan Vision 2030, sebuah cetak biru modernisasi ekonomi yang ambisius.
Proyek ini mencakup diversifikasi ekonomi, pembangunan kota futuristik NEOM, liberalisasi sosial seperti konser musik dan bioskop, serta pembukaan sektor pariwisata global.¹
Namun, bersamaan dengan itu, Saudi juga mengurangi peran ulama dalam kebijakan publik dan mengadopsi sistem ekonomi berbasis investasi asing dan kebijakan fiskal kapitalistik.²
Transformasi ini mencerminkan “modernisasi zhahir” sebagaimana dikritik dalam Q.S. Ar-Rum: 7, yaitu pembangunan yang hanya fokus pada dimensi fisik dan material, tetapi lalai terhadap orientasi spiritual dan moral.³
Kritik epistemik terhadap Vision 2030 menunjukkan adanya reduksi makna kemajuan menjadi sekadar pertumbuhan PDB dan daya saing ekonomi, tanpa mempertimbangkan orientasi nilai syariah sebagai fondasi ontologis.⁴
Qatar: Modernisasi yang Dikawal Nilai
Qatar, meskipun juga melakukan modernisasi fisik secara besar-besaran, seperti pembangunan Hamad International Airport, kota pintar Msheireb, dan penyelenggaraan Piala Dunia FIFA 2022, tetap mempertahankan identitas Islamnya.
Hukum keluarga masih merujuk pada syariah, konsumsi alkohol dan aktivitas LGBT+ sangat dibatasi, serta Museum of Islamic Art berfungsi sebagai simbol identitas budaya dan spiritual.⁵
Kebijakan publik Qatar menunjukkan pendekatan modernisasi selektif: adopsi teknologi dan infrastruktur dari Barat dilakukan tanpa melemahkan nilai-nilai dasar Islam.
Model ini menunjukkan bahwa modernisasi tidak harus identik dengan westernisasi, dan bahwa pemeliharaan nilai melalui kebijakan publik adalah strategi resistensi kultural yang efektif.⁶
Kritik Reflektif untuk Indonesia: Kekosongan Narasi Besar
Indonesia, sebagai negara Muslim terbesar di dunia, ironisnya belum memiliki narasi besar peradaban pasca-era Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang mendominasi diskursus reformasi Islam dari 1970–1990-an.
Sudah setengah abad berlalu sejak masa itu, namun tidak muncul lagi gagasan strategis berskala makro yang mampu menjawab tantangan zaman dengan epistemologi Islam yang kokoh dan kontekstual.⁷
Kebijakan publik Indonesia dalam bidang modernisasi Islam masih bersifat reaktif, pragmatis, dan sektoral.
Misalnya, program moderasi beragama oleh Kementerian Agama belum memiliki kerangka kebudayaan yang solid untuk menjawab desakan modernitas liberal.
Dalam kebijakan ekonomi, sistem keuangan syariah berkembang, tetapi masih terjebak dalam logika pasar yang sama dengan kapitalisme konvensional.⁸
Menuju Strategi Solutif: Kebijakan Publik sebagai Pilar Peradaban
Untuk membangun peradaban Islam modern yang integral, negara-negara Muslim membutuhkan intervensi kebijakan publik yang strategis dan terintegrasi secara nilai.
Beberapa aspek kunci:
Negara perlu mengembangkan lembaga riset dan pendidikan tinggi yang fokus pada “fiqh al-hadharah”, fikih yang berorientasi pada pembangunan peradaban berbasis wahyu dan kontekstualisasi sosial-politik.
Misalnya, penguatan Universitas Islam sebagai pusat gravitasi intelektual bukan sekadar administratif.
Pengembangan ekonomi Islam harus melampaui kosmetika syariah. Model seperti “ekonomi resistensi” Iran dan “kapitalisme berfilter syariah” Malaysia dapat diadaptasi dengan memasukkan dimensi maqashid syariah secara struktural dalam regulasi moneter, fiskal, dan perdagangan.⁹
Modernisasi tidak boleh membiarkan ruang budaya dikolonisasi oleh konten liberal tanpa filter.
Qatar menunjukkan bahwa pelarangan konten tertentu tidak menghambat kemajuan teknologi. Negara bisa mengatur ekosistem media dengan prinsip al-haqq dan al-khayr sebagai etika dasar.
Negara-negara Muslim harus memiliki otonomi politik untuk menolak tekanan global yang merugikan nilai-nilai Islam.
Seperti Iran yang tetap bertahan dari embargo, atau Turki dalam diplomasi multipolarnya, Indonesia perlu memiliki strategi geopolitik berbasis prinsip, bukan sekadar aliansi ekonomi.
Negara dan masyarakat sipil harus memproduksi narasi Islam kontemporer yang menggabungkan kesadaran Qur’ani, kecanggihan sains, dan etika sosial.
Ini membutuhkan regenerasi intelektual pasca-Cak Nur yang tidak hanya moderat, tapi juga visioner.
Penutup: Seruan untuk Epistemic Vigilance
Dunia Islam hari ini dihadapkan pada pilihan kritis antara menjadi konsumen modernitas Barat atau membangun peradaban alternatif berbasis wahyu.
Arab Saudi dan Qatar menunjukkan dua jalan yang sangat berbeda, dan Indonesia harus memilih dengan bashirah.
Tanpa narasi besar dan kebijakan publik yang bertumpu pada worldview Islam, modernisasi akan menjadi kuda troya sekularisasi.
Sebagaimana disinyalir oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas, tantangan utama umat Islam bukan sekadar teknologi, tetapi penjajahan epistemik.¹⁰
Maka, jihad besar kita adalah jihad pemikiran dan kebijakan: membangun fondasi peradaban baru dengan mata hati sebagai kompas.
Daftar Rujukan
¹ Vision 2030 Kingdom of Saudi Arabia, diakses 9 Juni 2025, https://www.vision2030.gov.sa.
² Madawi Al-Rasheed, Muted Modernists: The Struggle over Divine Politics in Saudi Arabia (Oxford: Oxford University Press, 2015), 112.
³ Al-Qur’an, Ar-Rum: 7.
⁴ Max Weber, The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (London: Routledge, 1930).
⁵ Mehran Kamrava, Qatar: Small State, Big Politics (Ithaca: Cornell University Press, 2013), 78–81.
⁶ Ibid., 92–94.
⁷ Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1993).
⁸ Kementerian Agama RI, “Moderasi Beragama,” 2021.
⁹ Ozay Mehmet, Islamic Identity and Development (London: Routledge, 1990).
¹⁰ Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993).
والله أعلم
MS 11/06/25
(foto: ilustrasi/IST)
Posted in SOSBUD
GETARBABEL.COM., PANGKALPINANG – Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Kepulauan Bangka Belitung…
GETARBABEL.COM, BANGKA– Anggota DPRD Bangka dari Fraksi Gerindra Mendra Kurniawan,…
GETARBABEL.COM, BANGKA –– Mengantisipisi terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan terhadap…
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sejumlah ASN…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sungguh miris…
GETARBABEL.COM, BANGKA- Kawasan hutan seluas…