1 Oktober 2023, Kirab 1.000 Telur Khatam Desa Batu Belubang Menyambut Maulid Nabi Muhammad SAW
By beritage |
PANGKALPINANG—Menyambut Maulid Nabi Besar Muhammad SAW , Masyarakat Desa Batu…
Thursday, 10 July 2025
Oleh: Maman Supriatman || Alumni HMI
Pendahuluan: Krisis Repetisi dan Absennya Fiqih Strategis
Setelah lebih dari setengah abad sejak masa keemasan pemikiran reformis era 1970–90an, seperti yang digagas oleh Nurcholish Madjid (Cak Nur), dunia Islam, termasuk Indonesia, tampak kekurangan narasi besar yang mampu menavigasi perubahan zaman.
Wacana keislaman cenderung berputar dalam siklus normatif tanpa artikulasi strategis yang menyentuh dimensi kebijakan publik, geopolitik, dan peradaban global.
Dalam konteks ini, absennya Fiqih Peradaban menjadi krisis epistemik yang mendesak untuk diatasi.
Fiqh al-Hadharah: Makna dan Urgensinya
Fiqih Peradaban (fiqh al-ḥaḍārah) bukanlah pengganti Fiqih klasik (ahkam), melainkan perluasan epistemik yang menjadikan tauhid sebagai pusat pandang dunia (worldview) dan maqāṣid al-sharī‘ah sebagai kerangka etik kebijakan.
Ia bukan semata hukum, melainkan visi strategis kolektif untuk menata ulang relasi umat dengan zaman.
Konsep ini menyiratkan perlunya perangkat ijtihad yang menyatukan tafsir Al-Qur’an, ilmu sosial, kebijakan publik, dan diplomasi.
Fiqih Peradaban menggeser orientasi dari reaktivitas sektoral menjadi sinergi strategis lintas-disiplin.
Pilar-Pilar Fiqih Peradaban
Tauhid bukan hanya prinsip teologis, tetapi dasar integratif seluruh aspek kehidupan, dari sains hingga pemerintahan.
Dalam konteks ini, tauhid menolak fragmentasi ilmu dan politik yang tercerabut dari nilai.
Ayat-ayat seperti QS Al-Hujurat:13, Ar-Rum:7, dan Al-A’raf:179 mengandung kerangka epistemik yang kritis terhadap kerusakan sosial.
Tafsir kontekstual terhadap ayat-ayat ini dapat menjadi basis analisis kebijakan dan arah pembangunan.
QS. Al-Hajj:46 menekankan perlunya kebijakan yang lahir dari penglihatan hati (bashirah), bukan semata logika administratif.
Ini memberi dasar bagi lahirnya kebijakan yang bermoral dan visioner.
Fiqih Peradaban mendorong reinterpretasi jihad, politik, ekonomi, dan ilmu pengetahuan sebagai instrumen kemerdekaan epistemik umat dari hegemoni Barat dan sistem global yang timpang.
Studi Kasus Internasional
Turki berhasil menyinergikan modernisasi infrastruktur dengan warisan Ottoman dan identitas Islam.
Dalam kerangka Fiqih Peradaban, ini menunjukkan artikulasi antara nilai dan kebijakan negara.
Meski kontroversial, Iran menunjukkan keberanian membangun sistem politik berbasis teologi dan anti-hegemonik terhadap kekuatan global, suatu bentuk politik peradaban.
Kedua negara ini menampilkan integrasi antara ekonomi, teknologi, dan citra Islam global dalam kebijakan publik dan diplomasi budaya.
Posisi Indonesia
Indonesia, meski mayoritas Muslim, belum berhasil melahirkan narasi besar pasca-era Cak Nur.
Pemerintah cenderung menempatkan Islam sebatas ruang toleransi, bukan sebagai sumber inspirasi arah kebijakan strategis.
Modernisasi berjalan tanpa basis tauhidik, mengakibatkan pembangunan terfragmentasi secara spiritual dan kultural.
Bahkan, Kementerian Agama maupun Ormas-ormas Islam belum memiliki komisi atau pusat Fiqih strategis yang mengawal arah besar umat dan bangsa.
Ini adalah bentuk kekosongan kebijakan publik dalam kerangka maqāṣid al-sharī‘ah (tujuan syariah).
“Islam tidak cukup hanya dijadikan nilai moral individual; ia harus menjadi kerangka epistemik dalam tata kelola kebijakan negara.”
(Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. Islam and Secularism. Kuala Lumpur: ISTAC, 1993).
Rekomendasi Kebijakan Publik
Perguruan Tinggi Keagamaan Islam perlu diarahkan menjadi pusat produksi pemikiran strategis, bukan sekadar lembaga normatif ritualistik.
Lembaga seperti MUI perlu membentuk Komisi Fiqih Peradaban yang merumuskan peta jalan Islam dalam pembangunan nasional dan global.
Perencanaan pembangunan jangka panjang nasional (RPJMN) harus memuat indikator maqāṣid, bukan sekadar PDB dan infrastruktur fisik.
Indonesia perlu memimpin diplomasi Islam global berbasis maqāṣid dan tauhid untuk mengonsolidasikan visi bersama dunia Islam.
Epilog: Seruan untuk Renaisans Bashirah
Fiqih Peradaban adalah undangan bagi para pemikir, negarawan, dan akademisi Muslim untuk keluar dari krisis repetisi dan menata ulang orientasi umat.
Dalam dunia yang dilanda disrupsi dan kekacauan nilai, hanya bashirah yang dapat menuntun peradaban menuju cahaya.
“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami (realitas)?” (QS. Al-Hajj: 46).
والله أعلم
MS 03/07/25
(Foto: ilustrasi/IST)
Posted in SOSBUD
PANGKALPINANG—Menyambut Maulid Nabi Besar Muhammad SAW , Masyarakat Desa Batu…
GETARBABEL.COM, BANGKA— Pelantikan anggota DPRD Bangka baru saja digelar di…
GETARBABEL.COM, BANGKA- Partai Gerindra Kabupaten Bangka dipastikan akan menerjunkan kadernya…
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sejumlah ASN…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sungguh miris…
GETARBABEL.COM, BANGKA- Kawasan hutan seluas…