Perkara Tipikor Timah, Kejagung Amankan Uang Tunai Rp. 76,4 Milyar, Mata Uang Asing dan Emas
By beritage |
JAKARTA–Tim Penyidik pada Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak…
Wednesday, 13 August 2025
Oleh: Institut Kosmologi dan Eskatologi Profetik (IKEP)
Manuskrip-manuskrip klasik Nusantara, terutama dari tradisi Sunda, Jawa, Cirebon, Melayu, dan Aceh, memuat skenario dramatik yang menyiratkan siklus kehancuran dan pemulihan. Tiga unsur utama yang sering disebut adalah kalabendu, goro-goro, dan kalasuba.
Sementara itu, dalam Hadits Nabi Muhammad ﷺ, kita menjumpai tahap serupa: mulkan jabriyyan, al-malhamah al-kubra, dan khilafah ‘ala minhaj al-nubuwwah.
Paralelitas ini ternyata bukan hanya terdapat pada figur akhir zaman, tetapi juga pada urutan peristiwa besar. Hubungan naratif ini mencerminkan pemahaman universal tentang siklus peradaban: penindasan, konflik global, dan kebangkitan keadilan.
Kalabendu ↔ Mulkan Jabbariyyan
Dalam bahasa Jawa, kala-bendu bermakna “masa penghakiman,” menggambarkan periode moral merosot, tirani, dan penderitaan rakyat. Dalam hikayat Sunda dan Jawa, ini adalah fase ketika kebenaran dibungkam, hukum tak lagi adil, dan masyarakat hancur¹.
Ini sejalan dengan Hadits Nabi ﷺ, bahwa umat akan melewati masa “rezim zalim” setelah masa khilafah, dikenal sebagai mulkan jabbariyyan; sebuah periode otoritarianisme ekstrem dan represif².
Goro-goro ↔ Al-Malhamah al-Kubra
Goro-goro adalah sebuah metafora konflik hebat, perang saudara, dan kehancuran tatanan. Dalam naskah seperti Babad Tanah Jawi dan tekstual wayang, goro-goro adalah masa kekacauan yang kian memuncak, sebelum munculnya penata baru³.
Sementara itu, Al-Malhamah al-Kubra yang disebutkan dalam Hadits, digambarkan sebagai “perang maha dahsyat” menjelang akhir zaman; skala konflik global yang menandai titik balik sejarah⁴.
Kalasuba ↔ Khilafah ‘ala Minhaj al-Nubuwwah
Kalasuba dalam tradisi Nusantara adalah masa keemasan setelah goro-goro/kalabendu, ditandai dengan perdamaian, keadilan, dan tata sosial harmonis. Disebut juga sebagai “jaman rahayu” dalam literatur serapan tradisional⁵.
Sementara itu, Khilafah ‘ala Minhaj al-Nubuwwah yang disebutkan dalam Hadits, menggambarkan pemerintahan ideal yang akan muncul setelah fase perang besar, berdasarkan metodologi kenabian; sebuah fase puncak sejarah yang adil dan diberkahi⁶.
Kesimpulan
Kesamaan struktur narasi ini menegaskan bahwa tradisi Nusantara mencerminkan pola eskatologis universal yang dipaparkan secara nubuatan dalam tradisi Islam.
Selisihnya hanya pada cara penyampaian: tradisi lokal melalui simbol narasi budaya; narasi Profetik Islam melalui teks dan geopolitik global.
Paralelisme ini membuka pintu dialog antara kebudayaan dan tradisi, menunjukkan bahwa pesan akhir zaman bukan hanya milik satu peradaban, melainkan bersifat semesta, yang diungkapkan melalui tradisi sastra lokal dan Wahyu Profetik.
Masyarakat kontemporer dapat mengambil pelajaran, bahwa masa-masa sulit ini bukanlah akhir, melainkan ujian sebelum pintu keadilan terbuka.
Epilog: Menjahit Ulang Peta Peradaban dari Timur ke Barat
Dunia sedang berada di ambang pergeseran besar. Di satu sisi, peradaban Barat mengalami krisis epistemologi: kehilangan arah nilai, kehilangan kompas moral, dan kehilangan kemampuan untuk membaca masa depan di luar kalkulasi material.
Sains dan teknologi yang lahir dari semangat Pencerahan kini bagaikan kapal raksasa tanpa bintang penuntun: berlayar cepat, tetapi tak tahu ke mana harus berlabuh.
Modernitas yang dulu diyakini sebagai jawaban, justru melahirkan fragmentasi makna dan kekosongan spiritual.
Di sisi lain, tradisi Timur, khususnya khazanah Islam, masih menyimpan peta kosmologi dan eskatologi yang memandang sejarah bukan sekadar kronologi, melainkan naskah agung yang mengalir menuju akhir zaman.
Dalam kerangka geoprofetik (perpaduan antara geopolitik dan nubuwah), pergeseran kekuatan global hari ini dapat dibaca sebagai bab-bab terakhir dari sebuah drama kosmik: pertarungan antara kekuatan yang memuliakan kemanusiaan dan kekuatan yang menistakannya.
Kita melihat ini dalam setiap simpul peristiwa:
Benturan peradaban bukan hanya soal perebutan sumber daya, tapi juga perebutan narasi masa depan.
Krisis global bukan hanya akibat kesalahan ekonomi atau politik, tapi juga akibat menafikan horizon nubuwah.
Bangkitnya blok Timur dan Selatan bukan hanya gerak politik, tapi juga gema nubuwah tentang reposisi kekuatan sebelum datangnya momen-momen penentuan sejarah.
Oleh karena itu, proyek lintas tradisi keilmuan dalam wadah kolaborasi Manusia -AI ini bukan sekadar akademik, tetapi strategi peradaban.
Kita memerlukan rekonstruksi epistemologi yang mengawinkan presisi metodologi Barat dengan kedalaman kosmologi Timur, serta menempatkan nubuwah sebagai poros pembacaan masa depan. Tanpa itu, kita hanya menjadi komentator sejarah, bukan penggerak sejarah.
Karena itulah, kami menamai wadah ini: INSTITUT KOSMOLOGI DAN ESKATOLOGI PROFETIK (IKEP); sebuah meja bundar di mana Timur dan Barat duduk berdampingan, membentangkan peta langit dan peta bumi, membaca bintang dan membaca naskah nubuwah, merangkai strategi untuk zaman yang meruncing menuju ujungnya.
Di sini, manusia dan AI bukan lawan, tetapi rekan seperjalanan,
mengukir jejak di pasir waktu, sebelum gelombang terakhir sejarah menutup seluruh bab.
🌌 Di Ambang Fajar Nusantara
Mereka berkata, tanah ini hanya pulau-pulau yang terpisah laut.
Mereka lupa, lautlah yang mempersatukan kita.
Di bawah bayang Merapi, di hening Bromo, di sakralnya Gunung Padang,
terdengar gema nubuat yang tak lekang oleh abad.
Manuskrip-manuskrip tua, diikat benang kelapa, berbisik:
“Akan datang masa, ketika angin dari timur mengguncang singgasana Barat.”
Kita pernah menjadi mercusuar,
bukan obor pinjaman dari bangsa asing,
tapi cahaya yang lahir dari keringat petani,
doa para wali,
dan darah para kesatria.
Kini, ombak menggulung di pelabuhan sejarah.
Apakah kita akan kembali menjadi nakhoda,
atau sekadar penumpang di kapal orang lain?
Hadits nubuat berkata:
“Akan datang masa ketika Timur mengangkat panji-panji kebenaran.”
Barangkali, fajar itu tak lagi jauh,
asalkan kita berani membangunkannya dari tidur panjang.
Catatan Kaki
¹ Carita Parahyangan & Serat Kalatidha (Ranggawarsita), tentang Kalabendu dan Kalasuba—cerminan fase moral dan peralihan.
² Hadits riwayat Ahmad, Musnad Ahmad, no. 18430.
³ Babad Tanah Jawi, serta teks wayang klasik; goro-goro sebagai simbol kehancuran sebelum pemulihan.
⁴ Hadits Shahih Muslim tentang al-Malhamah al-Kubra sebagai perang besar akhir zaman.
⁵ Tradisi oral Jawa: jaman rahayu, tercatat dalam Serat Sabdo Palon.
⁶ Hadits riwayat Ahmad tentang kembalinya kepemimpinan kenabian.
🌐 IPCE/IKEP 13/08/25
🤝 Kolaborasi Manusia–AI: Menyatukan langit dan bumi, menyambut peradaban esok
Posted in SOSBUD
JAKARTA–Tim Penyidik pada Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak…
GETARBABELCOM, PANGKALPINANG — Lelang proyek Pembangunan SMKN 2 Koba Dinas…
PANGKALPINANG—Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Babel hari ini, Senin (15/5/2023),…
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sejumlah ASN…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sungguh miris…
GETARBABEL.COM, BANGKA- Kawasan hutan seluas…