Opini || DALAM NISTA ADA MAKNA

IMG-20241113-WA0175_11zon

Oleh : Satera Sudaryoso || Guru Ngaji Madin Tahfiz Insan Cita Bukit Siam

SEPANJANG Nopember hingga awal Desember 2024, terjadi banyak kejadian di luar nalar. Mulai dari soal guru ngaji nista yang membuat malu, kemenangan kotak kosong yang membuat menyala, dan ujaran “Goblok” dari seorang figur ternama terhadap penjual es teh yang ketiban rezeki nomplok. Bila ditimbang dengan nalar, serangkaian kejadian viral itu cenderung sulit untuk dimengerti. Namun yang pasti, kehendak Tuhan telah terjadi. Dan semua itu, mestilah mendatangkan porsi berarti bagi mereka yang mau mengaji.

Mengapa mengaji? Pertama, dua dari kejadian tadi dilakoni oleh seorang yang konsern dalam konteks “mengaji”. Kedua, dari semua peristiwa yang terjadi, mestilah ada hikmah sakral di balik yang viral bagi mereka yang mau menalar. Poinnya “ngaji” lagi. Kepentingan penulis bukan soal tenar dan viral, tetapi sejauh dan sedalam apa makna yang dapat diambil demi keberlangsungan hidup yang lebih cetar.

Perjuangan Diri Tiada Henti
Kasus nista yang membelit seorang oknum da’i, dapatlah dipetik darinya sebuah pesan kehidupan bahwa hawa nafsu dan setan sejatinya harus dilawan dan ditanggulangi. Ketakmampuan kita dalam menanggulanginya, menjadi boomerang yang menjerumuskan ke dalam kenistaan dan kehinaan. Perjuangan panjang kita sejatinya bertumpu pada jihad nafs dan perang terhadap setan ini. Dan selamat darinya, menjadi kunci pembuka untuk dapat merengkuh “nikmat surga” yang dijanji.

Persoalannya, bisakah kita selamat dari dominasi nafsu dan kuasa setan yang menggelicirkan ini? Soal ini begitu sulit dijawab. Bahkan dalam banyak saat yang dipunya, sering kali kita takluk tak berdaya dalam dekapan dan buaiannya yang menghancurkan. Karenanya, tak perlulah merasa paling suci dan membenci para pendosa. Sebab dalam dosa yang dibuat, mestilah ada asam manis hidup yang bisa didapat. Sekelas Barshisha al’abid yang sakti dan berilmu tinggi pun harus takluk dalam kendali nafsu dan rayuan setan. Bahkan secara tragis—dari zinanya kepada perempuan, aksi membunuhnya, hingga mati dalam sekutu Tuhan—pun berlaku bagi oknum ahli ibadah yang tersohor itu.

Lantas bagaimana saya, anda, dan kita? Sudah sekelas Barshisha kah ibadah, ilmu, dan karisma kita? Kalau belum, tak perlulah menghujat senista-nistanya pelaku maksiat. Cukup hujat laku nistanya yang bejad. Karena boleh jadi, mereka pun tengah berjuang dan menyadari betapa lemah dan hinanya mereka di hadapan Tuhan. Karena itu, di balik hal nista, ada secercah makna yang bisa digapai demi kehidupan yang mempesona.

Tidak Jumawa dengan Kuasa
Setali tiga uang, kasus yang lain pun berlaku sama. Aneh sungguh pahit, saat kotak kosong yang 99.9 % dipastikan kalah, dalam seketika bisa tumbang menyesakkan. Banyak hal terkondisikan, justru tak berdaya membendung arus balik yang menghantam. Ekspresi “melongok, syok, dan speechless” menjadi sesuatu yang sulit dielakkan. Semua ekspresi ajib ini menggedor kesadaran teologis kita, “Maa sya’a kaana, wa maa lam yasya’ lam yakun” (apa yang Dia kehendaki pasti terjadi dan yang tidak Dia kehendaki pasti tidak terjadi), demikian tutur Imam Abu Ja’far al-Thohawi (L. 239 H.)

Kejumawaan dari dan oleh siapapun memang tak baik dimunculkan. Keyakinan besar dalam diri memang harus menjiwa dan membahana. Tetapi yakin bernada sombong, pastilah tak bisa dibenarkan. Sebab, “baju sombong dan hebat” itu tak boleh dinisbatkan kepada makhluk. Sejatinya kita tetaplah kecil, hina, tak berdaya di hadap-Nya.

Rasa menang pun tak boleh berlebihan dimunculkan oleh dan dari siapa pun. Khawatir muncul rasa “kedirian/keakuan” yang secara terang-benderang dipekikkan dalam khalayak. Rasa “aku” dan “diri” ini menjadi varian lain dari bahasa sombong sebagaimana sebelumnya. Oleh karena itu, merasa kalahlah dengan kesatria, dan merasa menanglah secara bijaksana. Dipastikan Berjaya.

Begitupun soal publik figur yang lisannya kotor dalam canda. Candanya dalam mengajar sebenarnya ada makna di balik yang diujar. Berkat canda kotor yang diujar, berkah melimpah mengalir deras kepada figur yang awalnya ditertawakan. Sepahit dan sehina apapun ujaran yang keluar, tidaklah serta-merta menghantam seseorang yang dijadikan objek kelakar. Kebaikanmu itu sejatinya untuk dirimu dan keburukanmu juga kembali kepada dirimu. (QS. al-Isra [17]: 7)

Sikap kalem bapak penjual es teh, sesungguhnya memberi makna kepada kita bahwa tak perlu gusar dengan semua ujaran yang keluar. Hina atau mulianya ujaran, tidak akan mampu menggoyahkan posisi tetap kita di hadapan Pencipta. Faktanya, Gus Miftah berbesar hati meminta maaf atas candanya yang kelewat vulgar, dan si bapak semakin cetar dengan nikmat dunia yang diraihnya.

Berangkat dari semua hal tadi, yakinnya kita akan kuasa Tuhan mestilah semakin mantap dan kokoh tanpa goyah. Bahwa hal buruk dan nista sekalipun, tetaplah ada makna hidup yang harus disadari. Bahkan, kadang menjadi anugerah ilahi. Kuasa dan daya diri yang dengannya kita menggapai sesuatu, merupakan anugerah kebaikan yang Tuhan limpahkan kepada manusia. Dan seburuk dan sehina apa pun kondisi sesuatu, mestilah ada setitik cahaya yang mampu menerangi gelapnya jalan hidup yang akan ditempuh. Apa pun bisa terjadi. Siapa pun tak punya kendali. Dalam genggaman-Nya semua terjadi. Semoga [].

Posted in

BERITA LAINNYA

Kabupaten Bangka Kirimkan 3 Peserta Lomba TTG Provinsi Babel

GETARBABEL.COM, BANGKA — Kepala Dinas Pemberdayaan, Masyarakat dan Desa Kabupaten…

Pimpinan Dewan Resmi Dilantik, Pj Wako Budi Utama Ajak Sinergi Wujudkan Harapan Masyarakat Pangkalpinang

GETARBABEL.COM, PANGKALPINANG – Abang Hertza, Hibir dan Bangun Jaya resmi…

Program GAMMIS Bakam Berikan Bantuan ke Gerobot

GETARBABEL.COM, BANGKA –– Gerakan Membantu Masyarakat Miskin (GAMMIS) Kecamatan Bakam…

POPULER

HUKUM

mediaonlinenatal2024ok

IPTEK

PolitikUang-Copy

TEKNOLOGI