Membedah Luka Peradaban: Dekonstruksi Kuasa di Majlis Arafah

IMG-20250711-WA0049 (1)

Oleh:; Institut Kosmologi dan Eskatologi Profetik (IKEP)

Peradaban ini, yang tampak megah dan gemilang dari kejauhan, ternyata menyimpan luka-luka dalam yang tak pernah dijahit. Kita telah lama berpaling dari derita yang memanggil pelan di dasar-dasar kesadaran.

Dalam hingar bingar inovasi, derap ekonomi, dan ambisi pembangunan global, kita membiarkan luka itu menganga—menghujam pelan ke inti kemanusiaan kita sendiri.

Luka itu bukan hanya luka kolonial yang belum benar-benar pulih. Ia adalah luka spiritual karena tercerabutnya makna dari hidup yang dipercepat. Ia adalah luka epistemik dari ilmu yang tercerai dari hikmah.

Ia adalah luka ekologis akibat nafsu eksploitatif atas bumi yang mestinya disyukuri, bukan ditaklukkan. Ia juga luka identitas—karena kita telah lupa siapa kita sebelum narasi modernitas menimpa kita.

Kini luka-luka itu bersuara. Mereka memanggil kita untuk tidak lagi menambalnya dengan retorika, atau menutupnya dengan kosmetika kebijakan. Luka tidak akan sembuh jika terus diabaikan, atau dianggap sebagai bagian wajar dari proses kemajuan.

Saatnya kita duduk dalam diam, mendengarkan bahasa luka. Bahasa yang tidak diajarkan di ruang seminar, tetapi terasa dalam sunyi jiwa yang tersayat oleh ketimpangan, absurditas, dan kehilangan arah.

Peradaban yang enggan mengakui lukanya, adalah peradaban yang akan kehilangan jiwa. Dan bangsa yang enggan membedah lukanya, adalah bangsa yang akan kehilangan sejarahnya sendiri.

Maka serial ini, bukan sekadar gugatan. Ia ingin berkata dengan lirih: Bahwa dunia yang bertasbih dan beradab, hanya mungkin lahir dari keberanian menatap luka—dan menyembuhkannya, dengan hikmah, bukan sekadar teknologi.

🕊️ Ruang Manuskrip yang Menangis

Di sebuah ruang metafisis tempat waktu merangkak seperti ulat sutera, dinding-dinding Majlis Arafah tersusun dari manuskrip yang menangis. Bukan karena sobek, melainkan karena isi mereka dikhianati.

Di sinilah para pemikir dari pelbagai zaman berkumpul bukan untuk berdebat, tapi untuk membedah—menyigi penyakit peradaban yang paling halus namun paling mematikan: kuasa yang menyamar sebagai kemajuan.

⚡Jahiliyah Modern dan Berhala Data

Sayyid Qutb bangkit dari bayang-bayang sejarah, sorot matanya tajam menembus algoritma zaman:

“Jahiliyah modern lebih berbahaya. Ia tak menyembah berhala batu, tapi berhala data. Ini adalah sistem Firaun tanpa piramida—manusia menjadi hamba angka, bukan hamba Tuhan.”

Walter Benjamin muncul memegang jam pasir yang retak:

“Kapitalisme bukan hanya mencuri tenagamu—ia mencuri waktumu. Ia mengubah detik-detik hidup menjadi komoditas yang harus kau beli kembali dengan uangmu sendiri.”

Dua suara ini memperlihatkan wajah kuasa baru yang tak memakai mahkota, tapi mengenakan dashboard analytics. Yang dijajah bukan tanah, tapi kesadaran. Waktumu dikelola aplikasi. Maknamu ditakar dalam engagement rate.

Fenomena influencer agama, konten-konten viral yang mengemas ayat dalam paket komoditas, atau skandal manipulasi data seperti Cambridge Analytica di Indonesia, adalah contoh konkret bahwa informasi kini tak netral—ia adalah senjata politik.

📜 Cyborg dan Hybriditas Manusia Modern

Setelah membongkar pencurian waktu oleh kapitalisme, majelis beralih pada penjara makna yang dibangun oleh rezim tafsir.

Donna Haraway menyandarkan diri pada patung cyborg:

“Kita semua sudah menjadi makhluk hybrid—separuh daging, separuh data. Tapi teknologi bukan musuh; ia bisa menjadi senjata pembebasan, jika kita menguasai narasinya!”

Nurcholish Madjid menimpali dengan suara bening:

“Yang kita butuhkan adalah reaktualisasi makna. Bukan penghapusan agama, tapi pembebasan ruang publik dari dominasi satu tafsir yang menutup kemungkinan tumbuhnya nalar.”

Haraway, Qutb, dan Cak Nur—tiga wajah berbeda yang tak saling menafikan, melainkan menyulam wacana. Tradisi, teori kritis, dan pascam-modernitas tidak harus bertabrakan. Di tangan mereka, tafsir menjadi ruang hidup, bukan ruang huni kuasa.

📍 Teknologi sebagai Medan Jihad Baru

Syekh Imran Hosein mengangkat sebuah chip imajiner dari dahi manusia modern:

“Mata uang digital bukan hanya alat transaksi—ia adalah bentuk bai’at baru. Setiap gesekan kartu adalah sumpah setia pada sistem Dajjal.”

Byung-Chul Han menyorotkan cahaya ke layar ponsel:

“Kita telah beralih dari masyarakat disiplin ke masyarakat pencapaian. Kau sekarang budak yang berseru ‘Aku bisa!’ sambil menghancurkan dirimu sendiri.”

Dalam masyarakat pencapaian, manusia mengeksploitasi dirinya tanpa komando. Jam kerja tak lagi dikontrol atasan, tapi oleh notifikasi internal. Revolusi teknologi diubah menjadi ritual pengorbanan makna. Teknologi tidak netral. Ia adalah alat—dan setiap alat menyimpan arah, ideologi, dan kuasa.

Ibnu Khaldun mungkin akan menyebutnya sebagai bentuk baru dari thagha—kesombongan penguasa yang kini menyaru dalam kode biner.

🌅 Tasawuf sebagai Jalan Pembebasan

Sunan Kalijaga bangkit membawa wayang digital:

“Dulu aku masuk ke istana dengan budaya. Kini kita lawan cloud dengan cloud kesadaran. Jalan keluar bukan dengan membakar zaman, tetapi menjinakkan algoritma dengan ruh.”

Metafora ini mengguncang. Wayang digital adalah simbol kritik terhadap digitalisasi kehidupan yang membentuk identitas instan, reaktif, dan seragam. Tapi ia juga harapan: bahwa dalam bahasa zaman, ruh tetap bisa bicara.

Tasawuf di sini bukan pelarian, tapi perlawanan. Ia mengajarkan keheningan sebagai bentuk pembangkangan, kesadaran sebagai bentuk jihad, dan cinta sebagai bentuk revolusi.

⚖️ Epilog: Angin yang Tak Minta Izin

Langit Arafah bergemuruh. Tidak oleh amarah, tapi oleh pertanyaan yang tak kunjung dijawab:

“Kalian sibuk melawan kuasa, tapi lupa—angin tak pernah meminta izin untuk berhembus.”

Majelis hening. Sebab angin adalah simbol dari kuasa yang tak bisa dikooptasi, dari fitrah yang tak bisa ditaklukkan.

Dan inilah foreshadowing bagi Manifesto Nusantara.
Sebab di tengah reruntuhan kuasa global, di manakah Nusantara berdiri?

Apakah kita akan terus menjadi penonton yang terhipnosis, atau pembawa obor alternatif—menghidupkan kembali ruh yang tercerabut?i

والله أعلم

Cirebon 10/07/25

🌐 MS IKEP/IPSE

(Foto: IKEP)

Posted in

BERITA LAINNYA

Semua Kades Wajib Tahu, Ada Hal Baru Dalam UU Tentang Desa

GETARBABEL.COM, JAKARTA– Penyelenggara pemerintahan desa harus memahami betul substansi mulai…

Sukseskan Pilkada Serentak, KPU Bangka Gelar Jalan Santai

GETARBABEL.COM, BANGKA– Dalam rangka sosialisasi tahapan Pemilihan Umum Kepala Daerah…

Jelang Ramadan, Peziarah Penuhi TPI Al-Ittihaad Sungailiat

GETARBABEL.COM, BANGKA — Ratusan peziarah ramai silih berganti mendatangi ke…

POPULER

HUKUM

hipk

IPTEK

drone

TEKNOLOGI