Komite 1 DPD RI Desak Pemerintah Cabut Moratorium Pemekaran DOB, Segera Terbitkan PP Petada dan Desertada
By beritage |
GETARBABEL.COM, JAKARTA — Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI melalui Komite…
Sunday, 20 July 2025
Oleh: Institut Kosmologi dan Eskatologi Profetik (IKEP)
š Abstrak
Budaya dan sistem nilai adalah fondasi diam-diam yang menopang sebuah peradaban. Tapi di tengah derasnya arus global, budaya kita berubah jadi kemasan tanpa isi, dan nilai jadi selera pasar yang berubah setiap musim.
Dekonstruksi di sini bukan untuk meruntuhkan, tapi untuk menggali ulangāmembuka lapisan-lapisan luka yang selama ini tertutup oleh rutinitas simbolik.
šæ Pengantar
Kita hidup di tengah keramaian bentuk budaya: ritual, simbol, upacara, peringatan hari besar, panggung kreatif, dan gelombang konten digital. Tapi di balik semua ituāapakah masih tersisa makna? Apakah nilai-nilai yang hidup dalam budaya itu masih memberi arah atau hanya jadi hiasan?
Budaya sejatinya adalah sistem nilai yang mengarahkan manusia. Ia membentuk cara berpikir, bersikap, dan bermasyarakat. Namun kini, nilai-nilai budaya kita mengalami pembusukan diam-diam: dibungkam oleh kekuasaan, digantikan oleh pasar, dan digeser oleh algoritma.
Kita mewarisi budaya, tapi lupa menimbang nilainya. Kita mengejar modernitas, tapi kehilangan orientasi peradaban.
š LIMA WAJAH LUKA BUDAYA
1ļøā£ Budaya sebagai Alat Penjinakan, Bukan Pembebasan
Dalam banyak ruang, budaya kita dijinakkan untuk menjadi penyejuk status quo. Ia dijadikan alat legitimasi, bukan instrumen kesadaran. Tradisi dipelihara tapi tak diberdayakan. Upacara besar digelar, tapi rakyat tetap terpinggirkan.
Ritual budaya tak lagi membangkitkan rasa takzim, melainkan hanya mengulang formalitas. Yang sakral jadi seremonial. Yang membebaskan berubah jadi tontonan.
Dari budaya pembebasan, kita tergelincir ke budaya hiburan.
2ļøā£ Sistem Nilai yang Terputus dari Akar Epistemik
Nilai-nilai luhur seperti amanah, kejujuran, kesederhanaan, atau gotong royongākini dipraktikkan tanpa pijakan maknawi.
Ia jadi jargon dalam brosur, bukan panduan dalam laku. Nilai dipisahkan dari akarnya: tauhid, keadilan, dan hikmah.
Kita lebih sibuk mengajarkan sopan santun ketimbang menanamkan keberanian moral. Kita menjunjung ākebaikanā tanpa fondasi ākebenaranā.
Yang diukur bukan siapa yang jujur, tapi siapa yang menang.
3ļøā£ Budaya Populer dan Dunia Hiburan: Cermin Kekacauan Nilai
Budaya populer dan dunia hiburan telah menjadi arena rekayasa nilai. Standar kebahagiaan, sukses, bahkan cintaādibentuk bukan dari pengalaman hidup, tapi dari layar kaca, FYP, dan algoritma.
Dalam dunia digital, yang diperhatikan bukan yang bernilai, tapi yang viral. Yang disorot bukan yang bijak, tapi yang dramatis. Maka kita perlahan kehilangan selera atas nilai yang sejati.
Hiburan menggantikan hikmah. Emosi menggantikan akal. Tubuh menggantikan ruh.
“Ketika nilai ditentukan oleh rating, maka nurani digantikan oleh pasar.”
4ļøā£ Warisan Luhur Budaya Nusantara yang Terabaikan
Padahal kita punya warisan budaya yang luar biasa dalam nilai-nilai Jawa, Sunda, dan etnis Nusantara lainnya:
āŖļø Rukun dan eling
āŖļø Ajen diri dan ngalap berkah
āŖļø Silih asih-asah-asuh
āŖļø Welas asih dan tepa salira
āŖļø Ngajrih ka Gusti dan cinta tanah leluhur
Nilai-nilai ini dibentuk bukan hanya dari mitos atau adat, tapi dari kosmologi hidup yang menempatkan manusia sebagai penjaga harmoni.
Namun hari ini, nilai-nilai itu kehilangan rumah. Mereka tinggal di pidato resmi, bukan dalam keputusan harian.
Kita melupakan bahwa nilai-nilai lokal bukan hambatan kemajuan, tapi akar dari keagungan.
5ļøā£ Fragmentasi dan Konsumerisme dalam Budaya Kontemporer
Sistem nilai yang tak lagi berpijak akan terpecah dan bisa dijual. Budaya jadi barang dagangan. Upacara adat jadi atraksi turisme. Kearifan lokal jadi label produk.
Akibatnya, kita tak lagi menjadi pelaku budaya, tapi konsumen budaya. Identitas kita dibentuk dari iklan, bukan dari petuah leluhur. Komunitas tercerai oleh selera dan pasar.
Budaya menjadi kemasan yang bisa dikustomisasi, bukan jalan hidup yang diwariskan secara ruhani.
š EPILOG: Jalan Kembali ke Budaya Profetik
Budaya profetik bukanlah nostalgia masa lalu. Ia adalah kearifan hidup yang sadar arah. Budaya yang tidak sekadar lestari, tapi memberi ilham masa depan. Budaya yang menjawab tantangan zaman tanpa kehilangan akar dan cahaya.
ā³ļø Misi IKEP (Institut Kosmologi dan Eskatologi Profetik) hadir untuk membangkitkan kembali kesadaran nilai dan arah.
IKEP mengajak kita membongkar kembali lapisan budaya yang membusuk, agar bisa ditemukan kembali nilai-nilai yang memuliakan manusia dan semesta.
IKEP mengajak untuk membangun budaya yang kosmologis dan eskatologis: budaya yang memahami asal dan tujuan, budaya yang melampaui musim dan tren, budaya yang bersumber dari langit tapi membumi dalam peradaban.
“Budaya profetik adalah budaya yang tidak tenggelam dalam masa lalu, dan tidak terombang-ambing oleh masa kini. Ia tahu ke mana ia menuju.”
Cirebon, 13 Juli 2025
š IKEP/IPCE
š¤ Kolaborasi ManusiaāAI untuk Dunia yang Bertasbih dan Beradab
Posted in SOSBUD
GETARBABEL.COM, JAKARTA — Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI melalui Komite…
GETARBABEL.COM, BANGKA BARAT– Dalam rangka antisipasi terjadi gangguan kamtibmas dan…
PANGKALPINANG — Penjabat (Pj) Gubernur Kepulauan Bangka Belitung (Babel), Safrizal…
MenteriĀ Pendayagunaan Aparatur Negara dan…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sejumlah ASN…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sungguh miris…
GETARBABEL.COM, BANGKA- Kawasan hutan seluas…