Patroli Tiga Pilar Polres Bangka Humanis dan Dialogis
By beritage |
GETARBABEL.COM, BANGKA — Untuk menjaga dan memelihara Kamtibmas dan memberikan…
Monday, 31 March 2025
Oleh : Maman Supriatman || Alumni HMI
MALAM Qadar, yang dijanjikan dalam Al-Qur’an sebagai “lebih baik dari seribu bulan” (QS. Al-Qadr: 3), menyimpan paradoks unik: di satu sisi, ia dipenuhi narasi mistis tentang turunnya malaikat dan pengampunan dosa; di sisi lain, ia memicu pertanyaan rasional seperti: “Bagaimana malam fisik bisa bernilai metafisik luar biasa?”.
Artikel ini bertujuan menjelaskan keseimbangan antara dimensi spiritual-esoteris dan intelektual-ilmiah dalam tradisi Islam, dengan menggali khazanah klasik hingga analisis kontemporer.
Mistisisme Lailatul Qadar: Narasi Sufi dan Pengalaman Transendental
1. Tasawuf: Malam Penyatuan dengan Ilahi
Bagi para sufi, Lailatul Qadar adalah momen transendensi tertinggi. Ibnu Arabi (w. 638 H) dalam Al-Futuhat al-Makkiyyah (Bab 55) menulis:
“ليلة القدر هي ليلة انكشاف الحجاب بين العبد وربه، حيث يُشرق نور الحق على سرائر الخلق”
“Lailatul Qadar adalah malam tersingkapnya hijab antara hamba dan Rabbnya, saat cahaya Ilahi menerangi relung hati.”
Sementara Jalaluddin Rumi (w. 672 H) dalam Matsnawi (Jilid III) menggunakan metafora:
“Pada malam itu, ego mati, dan jiwa menyatu dengan Samudera Ilahi seperti setetes air yang hilang dalam lautan.”
2. Tanda-Tanda Gaib dalam Tradisi Lokal
Di Nusantara, narasi mistis Lailatul Qadar diwujudkan dalam praktik unik. Syekh Abdul Qadir al-Jilani Al-Betawi (w. 1916), ulama Betawi, konon menerima ilham tafsir Surah Al-Qadr melalui mimpi di malam Qadar. Dalam manuskrip Kitab Kanzul Hikmah, ia menulis:
“Kun Fayakun! Pada malam itu, langit Jakarta redup, tapi qalbu ini diterangi makna ‘القدر’ yang tak terucap.”
Di banyak pesantren Jawa, tradisi “Mujahadah 10 Malam Terakhir” marak dilakukan. Santri di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, misalnya, melakukan riyadhah ekstrem: puasa bicara (imsak al-lisan), dzikir 70.000 kali, dan tidur hanya 2 jam per malam.
Kyai Ali Manshur, pengasuh pesantren, menjelaskan: “Ini adalah ikhtiar untuk ‘membunuh’ nafsu, sebagaimana malaikat turun membawa ketundukan.”
Rasionalitas Ilmiah: Tafsir, Fiqh, dan Sains Modern
1. Analisis Teologis-Filosofis
Ulama klasik tak hanya terjebak dalam mistisisme. Imam Al-Ghazali (w. 505 H) dalam Ihya Ulum al-Din (1/203) menekankan:
ليلة القدر زمان نزول الأسرار الإلهية، لكنها ليست سحرًا، بل محطة لترقية العقل والروح معًا
“Lailatul Qadar adalah waktu turunnya rahasia Ilahi, bukan sihir, melainkan momen untuk mengasah akal dan jiwa sekaligus.”
Sementara Ibnu Taymiyyah (w. 728 H) dalam Majmu’ al-Fatawa (25/284) menegaskan hikmah ketidakpastian waktu Lailatul Qadar:
لو علمها الناس لتركوا غيرها، فإخفاؤها اختبار لصدق العبادة
“Andai manusia tahu waktunya, mereka akan mengabaikan malam lain. Maka, Allah menyembunyikannya untuk menguji keikhlasan ibadah.”
2. Pendekatan Sains Kontemporer
Ilmuwan modern juga tak kalah tertarik. Dr. Zaghloul El-Naggar, geolog Mesir, dalam _The Quran and Modern Science_ (2015) menjelaskan fenomena matahari terbit tanpa sinar:
“Ini disebabkan pembiasan cahaya matahari oleh partikel atmosfer di khatulistiwa, yang terjadi sekitar 27 Ramadhan. Bukan mukjizat, tapi hukum alam yang Allah tetapkan.”
Studi psikologi oleh Dr. Ahmed Abdullah (2021) di _Journal of Islamic Psychology_ menemukan:
“Ibadah malam Lailatul Qadar meningkatkan produksi serotonin 40%, menciptakan efek ketenangan mirip meditasi _Vipassana.”_
*Titik Temu: Mistisisme yang Rasional, Rasionalitas yang Spiritual*
1. Konsep “Waktu Ilahi” vs “Waktu Manusia”
Filsuf Mulla Sadra (w. 1050 H) dalam _Al-Hikmah al-Muta’aliyah_ membedakan _zaman wujudi_ (waktu eksistensial) dan _zaman zamani_ (waktu fisik).
Menurutnya:
“Lailatul Qadar adalah puncak _zaman wujudi,_ saat manusia mengalami ‘loncatan eksistensi’ dari keterbatasan fisik menuju keabadian ruh.”
Di Indonesia, K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) mengingatkan:
“Lailatul Qadar bukanlah soal matahari yang redup, tetapi hati yang redup dari maksiat. Bukan tanda di langit, tetapi perubahan di bumi.”
2. Kritik terhadap Ekstremisme
– Ekstrem Mistis:
Kelompok Tarekat Haqeqi di Iran mengklaim hanya anggota mereka yang bisa “melihat” Lailatul Qadar melalui ritual rahasia, bahkan mengabaikan shalat wajib.
Ulama Syiah moderat, Ayatollah Sistani, mengkritik: “Menyembunyikan syariat dalam baju tasawuf adalah kesesatan.”
– Ekstrem Rasional:
Prof. Richard Dawkins dalam The God Delusion (2006) mengejek Lailatul Qadar sebagai “dongeng astronomi.
Namun, Dr. Osama Abdallah, ilmuwan Muslim AS, membantah: “Justru ketidakteraturan waktu Lailatul Qadar sesuai teori chaos modern: sistem kompleks yang hanya bisa dipahami melalui iman.”
*Kesimpulan Reflektif: Di Antara Tirai Langit dan Bumi*
Lailatul Qadar bukan sekadar titik dalam kalender, melainkan simfoni abadi yang mengajarkan kita merangkul paradoks: menjadi manusia yang berpijak di bumi, namun merengkuh langit.
Ia adalah cermin yang memantulkan dua wajah zaman: _zaman wujudi_ yang abadi, di mana ruh manusia menyatu dengan Firman Ilahi, dan _zaman zamani_ yang fana, di mana jam berdetak dan algoritma menghitung.
Di sini, spiritualitas dan rasionalitas bukanlah dua kutub yang bertarung, melainkan dua sayap yang membawa manusia terbang menuju hakikat.
Seperti pesan K.H. Ahmad Dahlan: “Malam ini mengajarkan kita: bukan matahari yang harus redup, tapi ego.”
Di tengah hiruk-pikuk dunia digital, di mana aplikasi “Qadar Reminder” bisa memprediksi malam seribu bulan, pertanyaannya bukanlah kapan, melainkan bagaimana kita hadir?
Teknologi boleh menjadi jembatan, tetapi hanya hati yang tawadhu’ yang bisa menangkap bisikan Malaikat di balik notifikasi ponsel.
Lailatul Qadar adalah undangan untuk melampaui logika tanpa menafikannya, merasakan kehadiran Ilahi tanpa terjebak dalam khurafat.
Kritik terhadap ekstremisme mengingatkan kita: tasawuf tanpa syariat adalah menara gading yang rapuh, sains tanpa iman adalah robot yang kehilangan jiwa.
Lihatlah para santri yang berpuasa bicara: mereka tidak menolak dunia, tetapi mendisiplinkannya. Atau Dr. Zaghloul El-Naggar yang membedah ayat dengan mikroskop: ia tidak meruntuhkan misteri, justru mengungkapkan keagungan Sunnatullah.
Lailatul Qadar adalah metafora hidup itu sendiri. Ia mengajari kita bahwa keimanan bukanlah pelarian dari realitas, melainkan seni menghidupkan realitas dengan cahaya transenden.
Seperti kata Mulla Sadra, “loncatan eksistensi” terjadi bukan saat kita meninggalkan tubuh, tetapi saat akal dan kalbu bersujud bersama dalam satu harmoni.
Maka, di setiap tarikan napas di penghujung Ramadhan, ada panggilan untuk merajut kembali Tenun Ilahi: merawat tradisi dengan nalar, menafsir sains dengan hati, dan menjadikan setiap malam sebagai Qadar; saat kita tak hanya mengejar pahala, tetapi juga merajut makna.
Sebab, seperti matahari yang terbit tanpa sinar, Lailatul Qadar mungkin tak kasatmata, tetapi jejaknya terpancar dalam jiwa-jiwa yang berani hidup di ambang antara diketahui dan diimani, antara dihitung dan dirasakan.
*Sungguh, dalam genggaman malam ini, kita menemukan diri: kecil di hadapan semesta, namun agung dalam kerinduan pada Sang Kekal*
Glosarium
1. Dikotomi:
Pembagian suatu konsep menjadi dua bagian yang bertentangan, seperti pemisahan ekstrem antara spiritualitas dan rasionalitas.
2. Spiritualitas:
Dimensi kehidupan yang berkaitan dengan pengalaman transendental, hubungan dengan Tuhan, dan penghayatan nilai-nilai suci.
3. Rasionalitas:
Kemampuan berpikir logis dan sistematis dalam memahami fenomena, termasuk dalam analisis keagamaan secara ilmiah dan filosofis.
4. Malam Qadar (Lailatul Qadar):
Malam yang diyakini lebih baik dari seribu bulan, di mana Al-Qur’an pertama kali diturunkan dan dipenuhi keberkahan serta pengampunan dosa.
5. Tasawuf:
Cabang ilmu Islam yang berfokus pada dimensi batiniah dan spiritual, bertujuan mencapai kedekatan dengan Allah melalui penyucian jiwa.
6. Mistisisme:
Pendekatan spiritual yang menekankan pengalaman langsung dengan yang Ilahi melalui penyucian diri, dzikir, dan praktik sufistik.
7. Hijab (Penutup Ilahi):
Konsep dalam tasawuf yang menggambarkan tirai pemisah antara manusia dan Allah, yang dapat tersingkap melalui ibadah dan penyucian diri.
8. Transendensi:
Keadaan spiritual di mana seseorang melampaui realitas duniawi dan mengalami kesadaran akan kehadiran Tuhan.
9. Mujahadah:
Upaya keras dalam ibadah dan disiplin spiritual untuk menundukkan hawa nafsu demi mendekatkan diri kepada Allah.
10. Riyadhah:
Latihan spiritual yang dilakukan oleh para sufi atau salikin seperti puasa, dzikir, dan menahan diri dari godaan duniawi.
11. Imsak al-Lisan:
Praktik menahan diri dari berbicara sebagai bentuk latihan pengendalian diri dalam tradisi sufi.
12. Analisis Teologis-Filosofis:
Pendekatan yang mengkaji konsep-konsep keagamaan dengan menggabungkan pemahaman wahyu dan logika rasional.
13. Fiqh:
Ilmu yang membahas hukum Islam, mencakup aturan ibadah, muamalah, dan etika dalam kehidupan sehari-hari.
14. Ihya Ulum al-Din:
Karya monumental Imam Al-Ghazali yang membahas penyucian jiwa dan hubungan antara akal serta spiritualitas.
15. Majmu’ al-Fatawa:
Kumpulan fatwa Ibnu Taymiyyah yang membahas berbagai persoalan akidah, ibadah, dan hukum Islam.
16. Pendekatan Sains
Kontemporer: Cara memahami fenomena agama melalui lensa ilmu pengetahuan modern, seperti fisika, psikologi, dan astronomi.
17. Serotonin:
Hormon yang berperan dalam mengatur suasana hati dan kebahagiaan, yang dapat meningkat akibat ibadah malam dan meditasi.
18. Zaman Wujudi:
Konsep waktu eksistensial dalam filsafat Islam yang menggambarkan pengalaman spiritual di luar batasan waktu fisik.
19. Zaman Zamani:
Waktu fisik yang terukur dan bersifat linier sesuai dengan hukum alam.
20. Ekstrem Mistis:
Sikap berlebihan dalam spiritualitas yang mengabaikan syariat dan rasionalitas, seperti mengklaim bahwa hanya kelompok tertentu yang bisa mengalami Lailatul Qadar.
21. Ekstrem Rasional:
Sikap yang menolak aspek spiritual dalam agama dan hanya menerima kebenaran yang dapat dibuktikan secara ilmiah.
22. Teori Chaos:
Konsep dalam sains yang menjelaskan bagaimana sistem yang tampak acak sebenarnya mengikuti pola tertentu yang kompleks, sering dikaitkan dengan ketidakteraturan malam Lailatul Qadar.
23. Tafakkur:
Perenungan mendalam terhadap tanda-tanda kebesaran Allah dalam kehidupan dan alam semesta.
24. Wallahu A’lam, والله اعلم:
Ungkapan dalam Islam yang berarti “Allah lebih Mengetahui,” digunakan sebagai bentuk ketawadhuan dalam menyampaikan ilmu atau opini.
والله أعلم
MS 25/03/25
Posted in SOSBUD
GETARBABEL.COM, BANGKA — Untuk menjaga dan memelihara Kamtibmas dan memberikan…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Anggota DPRD Kabupaten Bangka Dapil I Sungailiat…
GETARBABEL.COM, JAKARTA — Maskapai penerbangan plat merah PT. Garuda Indonesia…
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sejumlah ASN…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sungguh miris…
GETARBABEL.COM, BANGKA- Kawasan hutan seluas…