Jiwa Yang Tenang Di Tengah Bumi Yang Retak (7):  Skenario “Great Reset” Dan Cahaya Yang Tak Bisa Dipadamkan

images (2)

Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya (QS. As-Saff: 8). 

Di tahun 2020, Klaus Schwab menulis “The Great Reset”, sebuah manifesto yang mengubah pandemi menjadi katalis revolusi global. Namun di balik jargon “build back better”, tersembunyi pertarungan abadi antara Cahaya Ilahi dan kegelapan manusia.  

Schwab menggambarkan dunia pasca-COVID sebagai “kanvas kosong”. Namun QS. Al-Kahfi: 8 mengingatkan: “Dan Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi tanah yang tandus lagi kering.” 

Tanda-tandanya telah nyata dalam tiga bentuk modern: Pertama, ekonomi berlangganan yang perlahan menghapus kepemilikan pribadi melalui subscription model. Kedua, upaya penyatuan agama dalam _universal values_ yang steril dari spiritualitas. Ketiga, sistem pengawasan social credit ala China yang menurut Freedom House (2024) telah menyebar ke 75 negara.  

Neil Postman dalam “Technopoly” (1992) memperingatkan bahwa teknologi bukanlah alat netral, ia selalu membawa mitos tersendiri. Kecerdasan buatan dan metaverse kini sedang menciptakan padang pasir spiritual baru, di mana manusia menyembah algoritma ketimbang Pencipta. 

Ini adalah gurun digital yang jauh lebih berbahaya daripada gurun pasir, karena kekeringannya tak kasat mata.  

Senjata Pemusnah Masal yang Tak Terlihat  

Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) pada 2023 melaporkan bahwa 40% tanah global telah terdegradasi. Sementara itu, Forum Ekonomi Dunia (WEF) memprediksi bahwa 90% berita akan diproduksi oleh AI pada 2026. 

Daniel Ellsberg dalam “The Doomsday Machine” mengungkap paradoks mengerikan: perang nuklir tidak hanya membunuh manusia, tetapi menciptakan gurun radioaktif yang tak bisa dihuni selama ribuan tahun.  

Great Reset adalah varian modern dari senjata pemusnah massal ini, sebuah perang ekonomi dan digital yang menyisakan kehancuran nilai-nilai kemanusiaan. 

Dr. Helen Caldicott dalam “Nuclear Madness” memperingatkan bahwa bahkan perang nuklir skala regional dapat memicu nuclear winter yang mengubah tanah subur menjadi gurun tak bernyawa. 

Namun hari ini, kita menghadapi kiamat yang lebih halus: kematian spiritual melalui digitalisasi total.  

Tafsir Cahaya di Zaman yang Retak  

Para mufassir klasik hingga modern memberikan tiga lapis tafsir tentang kehancuran bumi, yang diisyaratkan Al-Kahfi: 8.

Ibnu Katsir menekankan kerusakan ekologis sebagai tanda akhir zaman. Wahbah Az-Zuhaili menambahkan dimensi moral berupa degradasi nilai kemanusiaan. Sementara Al-Qurthubi mengingatkan sistem zalim yang mencabut keberkahan bumi.  

Prof. Abdal Hakim Murad dari Universitas Cambridge menyebut proyek Great Reset sebagai “Digital Babel”, sebuah reinkarnasi menara Babel di era modern. 

Di menara baru ini, masjid digantikan metaverse, ulama berubah menjadi influencer dan ibadah direduksi menjadi sekadar simulasi virtual. 

Ini bukan sekadar teori konspirasi, melainkan realitas yang sedang kita hadapi, ketika agama dipaksa berkompromi dengan logika kapitalisme digital.

Strategi Cahaya di Tengah Kegelapan  

Cahaya Allah memiliki karakteristik unik yang tak bisa diretas oleh teknologi tercanggih sekalipun. Ia tidak membutuhkan sinyal untuk menyebarkan zikir, tidak tercatat dalam _cloud computing_, dan telah terbukti abadi melalui kisah Ashabul Kahfi yang bertahan 309 tahun dalam iman.  

Untuk bertahan di zaman ini, kita bisa belajar dari tiga strategi para nabi. Pertama, menguasai keheningan sebagaimana Nabi Yunus AS menemukan kedamaian di dalam kegelapan perut ikan. 

Kedua, membaca tanda-tanda zaman seperti kemampuan Nabi Yusuf AS menafsirkan mimpi. Ketiga, membangun komunitas cahaya, bukan sekadar jaringan virtual, melainkan halaqah ilmu yang dikelilingi malaikat. 

Warisan tasawuf mengajarkan bahwa justru dalam kesunyianlah cahaya batin muncul paling terang.  

Epilog: Firman vs Fir’aun  

Al-Qur’an mengingatkan: “Mereka merencanakan tipu daya, dan Aku pun merencanakan tipu daya.” (QS. At-Thariq: 16). 

Sejarah adalah siklus kehancuran tirani yang terus berulang, Fir’aun tenggelam di Laut Merah, Namrud dihancurkan oleh nyamuk kecil, Abrahah dikalahkan burung-burung ababil. Apalagi jika hanya para Fir’aun kecil.

Pertanyaan terbesar adalah: akankah kita menjadi korban dari proyek “reset” zaman ini, atau justru menjadi pembawa obor di tengah kegelapan? 

Hadits riwayat Ibnu Majah memberikan penegasan:

“Dan barangsiapa yang Allah beri cahaya, maka tak ada yang bisa memadamkannya.” 

Di era di mana segala sesuatu bisa di-reset, ternyata ada cahaya yang tak pernah bisa di-restart.

والله أعلم

MS 25/04/25

(Foto: Ilustrasi)

Posted in

BERITA LAINNYA

HUT ke-78 Bhayangkara, Polres Bangka Bagikan 300 Paket Sembako

GETARBABEL.COM, BANGKA — Dalam rangka merayakan HUT ke-78 Bhayangkara Tahun…

Pak Sahid Coffee Terima Anugerah Satu Indonesia Awards 2023 dari Astra International

JAKARTA–Program Kopi Kearifan Lokal yang menjadi konsen Pak Sahid Coffee…

POPULER

HUKUM

mediaonlinenatal2024ok

IPTEK

PolitikUang-Copy

TEKNOLOGI