Jiwa Yang Tenang Di Tengah Bumi Yang Retak (6):  Seruan Hening Di Balik Perang Tarif AS-China

images (11)_11zon

Oleh : Maman Supriatman || Alumni HMI

Dan apabila bumi digoncangkan dengan goncangannya, dan bumi telah mengeluarkan beban-beban beratnya, dan manusia bertanya: ‘Mengapa bumi jadi begini?’ Pada hari itu bumi menceritakan beritanya. (Q.S. Az-Zalzalah: 1-4).  

KETIKA Presiden Trump menggulirkan kebijakan tarif tinggi terhadap produk-produk Tiongkok, banyak yang melihatnya hanya sebagai strategi proteksi ekonomi. Namun, di balik kebijakan itu tersimpan agenda yang lebih gelap: memicu ketegangan global yang terkalkulasi, membuka jalan menuju krisis ekonomi dan geopolitik berskala besar. 

Tarik-ulur tarif ini hanyalah permulaan dari desain para elit Zionis-globalis untuk menyalakan kembali api konflik antarbangsa, memecah dunia, dan menciptakan legitimasi untuk lahirnya satu otoritas global pasca kekacauan: sebuah babak awal dari Perang Dunia III yang diskenariokan sebagai jalan menuju ‘tatanan baru’.”

Faktanya, perang dagang AS-Tiongkok telah mengguncang dunia, tapi ini hanyalah permukaan dari gelombang besar yang menggerus fondasi peradaban. Seperti retakan halus di tembok kuno, ia menandakan keruntuhan yang lebih dalam: sistem dunia yang dibangun di atas ilusi materialisme, utang, dan penguasaan digital.  

Di bursa saham, angka-angka berkedip seperti bintang jatuh, indah tapi fana. Di pelabuhan, kontainer-kontainer menganggur bagai nisan bagi era globalisasi yang sekarat. 

Apakah kita sedang menyaksikan kematian sebuah tatanan, atau kelahiran sesuatu yang baru?

“Setiap kali sebuah peradaban mencapai puncaknya,” tulis Ibnu Khaldun, “ia mulai merangkak menuju kehancurannya sendiri.”

Arsitek di Balik Layar: Dari Zionisme ke Mesin Dajjal

Sejak 1945, dunia tidak dibangun oleh bangsa-bangsa, tapi oleh mesin tak kasat mata, sebuah jaringan yang menggerakkan uang, data, dan senjata dengan presisi algoritmik.  

PBB bukanlah penjaga perdamaian, tapi panggung sandiwara di mana hukum dibuat untuk melayani yang kuat.  

Dolar bukan sekadar mata uang, tapi jerat ribawi yang mengikat leher dunia.  

Teknologi bukan alat pembebasan, tapi kandang digital yang menyamar sebagai surga kebebasan.  

Zionisme, bukan sebagai identitas Yahudi, tapi sebagai ideologi kekuasaan global, telah merancang panggung ini dengan dua aktor utama:  

AS sebagai tangan kanan yang memaksakan demokrasi palsu melalui bom dan sanksi.  

Tiongkok sebagai tangan kiri yang menyempurnakan penjara digital melalui sosial credit dan yuan elektronik.  

Mereka tampak bertarung, tapi sebenarnya mereka sedang menari dalam simfoni yang sama: menyiapkan dunia untuk satu sistem, satu mata uang, satu penguasa.  

“Dajjal akan datang membawa sesuatu yang mirip surga dan neraka. Apa yang disebut surganya adalah neraka, dan apa yang disebut nerakanya adalah surga.” (HR. Muslim). 

Membaca Zaman dengan Mata Ruhani

Di tengah pusaran ini, kita diingatkan oleh Syekh Imran Hosein: “Ini bukan sekadar politik atau ekonomi, ini perang metafisik.”

Perang dagang adalah prolog menuju krisis yang dirancang pemicu untuk memaksa dunia menerima solusi mereka: reset ekonomi, mata uang digital, dan pemerintahan global. Pandemi dan inflasi adalah babak-babak transisi menuju sistem Dajjal.  

Tapi bagi yang merenung, ada pola yang lebih dalam:  

“Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka mengubah diri mereka sendiri.” (Q.S. Ar-Ra’d: 11).

Jiwa yang tenang bukanlah yang lari dari badai, tapi yang berdiri seperti pohon kurma: akar menghujam ke tanah iman, puncak menjulang ke langit tawakal.  

Dunia mungkin dikendalikan oleh algoritma, tapi hati yang jernih tetap bisa mendengar bisik langit. Seperti kata Ali bin Abi Thalib: “Dunia ini bagai ular, lembut saat disentuh, tapi berbisa saat kau pegang.”

Di era di mana anak-anak diajari menyembah layar, kita harus kembali pada pendidikan ruhani: mengajarkan tauhid, logika, dan keberanian.

Jalan Sunyi Menuju Cahaya

Kita berdiri di tepian sejarah, di mana kabut tebal ilusi modern menyelimuti jalan-jalan kehidupan. Seperti pengelana dalam alegori gua Plato, kita dihadapkan pada pilihan: tetap nyaman dengan bayangan di dinding, atau berani berbalik menyaksikan cahaya kebenaran yang menyilaukan. 

“Kebanyakan manusia,” tulis Kierkegaard, “terlalu sibuk mengarungi lautan kehidupan hingga lupa untuk merenungkan ke mana arah ombak membawa mereka.”

Jiwa yang tenang seperti pohon bambu di tengah topan, ia bergoyang tetapi tak patah, karena akarnya menjalar ke dalam tanah kebijaksanaan. 

Dalam dunia yang memuja kecepatan, diam justru menjadi tindakan revolusioner. “Kita telah menciptakan mesin-mesin yang sempurna,” renung Tagore, “tetapi kehilangan seni menjadi manusia.”

Perang dagang, krisis global, dan gejolak politik bukanlah akhir cerita, melainkan gejala dari penyakit yang lebih dalam. Seperti dokter bijak yang tidak hanya mengobati demam tapi mencari sumber infeksi, kita pun diajak untuk melihat melampaui permukaan. 

“Dunia ini adalah cermin,” kata Rumi, “akan menunjukkan padamu apa yang engkau bawa dalam hatimu.”

Di sepanjang sejarah, selalu ada mereka yang memilih jalan sunyi, dari Socrates yang minum racun demi kebenaran, hingga Al-Ghazali yang meninggalkan kemewahan untuk mencari makna. 

Mereka adalah bintang-bintang penuntun yang mengingatkan kita: “Bukan di langit atau di seberang lautan, tapi dalam dirimu sendirilah kebenaran itu berdiam.” (Buddha).

Ketika kegelapan datang, kita ingat kata-kata Victor Frankl yang selamat dari Holocaust: “Segala sesuatu bisa diambil dari manusia, kecuali satu hal: kebebasan terakhirnya, untuk memilih sikap dalam keadaan apa pun.” Inilah cahaya abadi yang tak bisa dicuri oleh algoritma atau propaganda.

Epilog: Fajar di Balik Kegelapan

Di ujung zaman, ketika langit seakan runtuh dan bumi retak, ingatlah: Kita tidak perlu takut pada “tatanan dunia baru” mereka, karena “Tatanan Allah” tak pernah usang.  

Mereka punya rencana, tapi Allah punya Skenario. Mereka punya kekuatan, tapi Allah punya Kuasa. Mereka punya waktu, tapi Allah punya Ketetapan.

Di tengah pusaran zaman ini, kita bukanlah penonton, kita adalah saksi yang dituntut memilih: terbungkus ilusi, atau terjaga dalam kebenaran.

Di manakah posisi kita? Di persimpangan di mana narasi global dikendalikan oleh “tangan-tangan tak terlihat” (Keynes), sementara kebenaran disembunyikan di balik tirai algoritma dan _manufactured consent_ (Chomsky). 

Apakah kita akan hanyut dalam arus kesadaran palsu (Marx), atau menjadi jiwa-jiwa langka yang, seperti kata Rumi, “melihat dunia ini sebagai cermin, bukan sebagai dinding?” 

Jiwa yang tenang bukanlah jiwa yang pasif. Ia adalah perajut kesabaran di tengah badai. Seperti kata Ali bin Abi Thalib: “Ketika angin badai berhembus, rumput lemah akan tumbang, tapi pohon kokoh justru berakar lebih dalam.” 

Di era ketika perang informasi adalah perang tanpa asap (Zbigniew Brzezinski), kejernihan pikiran adalah senjata terakhir.  

Konflik AS-Tiongkok

bukan sekadar perang dagang, ini adalah panggung sandiwara (Adam Smith) untuk mengalihkan pandangan dari konsolidasi kekuasaan oligarki global (Carroll Quigley). 

Sejak 2018, tarif Trump hanyalah prolog. Tahun 2025 adalah babak baru: krisis yang dirancang (Naomi Klein) untuk memuluskan “tatanan dunia baru” (H.G. Wells), sebuah sistem di mana kebebasan dikorbankan demi keamanan semu (Benjamin Franklin).  

Tapi di balik skenario elit, ada rencana yang lebih besar. “Mereka merencanakan, dan Allah merencanakan. Dan Allah adalah sebaik-baik perencana” (Q.S. Ali Imran: 54). 

Bagi yang mendengar bisik langit, ada jalan sunyi, jalan “orang asing” (Al-Ghazali) yang berjalan di kegelapan sambil memegang obor iman.  

“Dunia ini gelap, tapi bintang-bintang tetap bersinar. Dan selama ada yang masih memandang langit, cahaya tak akan pernah kalah.” (Victor Hugo).  

Maka berdirilah teguh. Bumi ini memang penuh retakan _(fasad)_, bukan oleh lempeng tektonik, tapi oleh tangan manusia (QS. Ar-Rum: 41). Namun, ruh yang terhubung dengan Yang Abadi takkan pernah sendirian.

Maka mari kita berjalan, perlahan tapi pasti, sunyi tapi bermakna, seperti air yang mengalir lembut namun mampu mengukir ngarai. Karena pada akhirnya, hanya cahaya kesadaran yang akan membimbing kita melewati kegelapan zaman.

والله أعلم

 MS 24/04/25

(Foto: ilustrasi/IST)

Posted in

BERITA LAINNYA

Depan Stadion Orom Lokasi Favorit Berburu Takjil di Kota Sungailiat

GETARBABEL.COM, BANGKA- Sejak hari pertama hingga memasuki hari kedua umat…

Sosok Ahim Layak Maju Sebagai Calon Bupati Bangka

GETARBABEL.COM, BANGKA- Acara buka puasa bersama dengan melibatkan Majelis Daerah…

Kapolda Babel Kunjungi Lansia di UPTD PSBS DinsosPMD

GETARBABEL.COM., PANGKALPINANG – Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Kepulauan Bangka Belitung…

POPULER

HUKUM

mediaonlinenatal2024ok

IPTEK

PolitikUang-Copy

TEKNOLOGI