Ahli Sungai ini Usulkan Taman Mandara jadi Kolam Retensi Tambahan
By beritage |
GETARBABELCOM, PANGKALPINANG– Pengamat hidrologi yang juga Ahli Sungai, Edi Irawan,…
Friday, 25 April 2025
Oleh : Maman Supriatman || Alumni HMI
Dahulu para ulama menempuh ribuan mil demi satu Hadits. Hari ini, kita berselancar di ratusan artikel tapi kehilangan satu makna: kehadiran-Nya
Di tengah dunia yang kian gaduh, di mana prestise menggantikan makna, dan algoritma menggeser hikmah, muncullah satu jalan sunyi yang dilalui sedikit orang: mujahadah ilmiah.
Peter Drucker, bapak manajemen modern, pernah tercengang oleh “efisiensi sempurna” alam semesta: “Tidak ada CEO yang bisa menyaingi presisi sistem kosmik, di mana bintang-bintang ‘bekerja’ tanpa insentif, dan sel-sel ‘berinovasi’ tanpa rapat strategi.”
Ini adalah manajemen tanpa kebocoran, kepemimpinan tanpa kesalahan. Setiap daun yang jatuh adalah laporan keuangan yang seimbang, setiap orbit planet adalah proyek yang tepat waktu.
Ilmuwan manajemen seperti Henry Mintzberg pun mengakui: “Kita baru bisa merancang organisasi ideal bila mencontek dari desain semesta, di mana setiap elemen tunduk pada satu Visi Tunggal.”
Bayangkan seorang astronom yang tiba-tiba gemetar di observatorium. Teleskopnya menangkap galaksi yang berotasi dalam harmoni matematis, tapi hatinya menangkap sesuatu yang lebih dalam: “Ini bukan sekadar gravitasi… Ini adalah tarikan Kasih-Nya.”
Di layar komputernya, grafik gelombang elektromagnetik tiba-tiba berubah menjadi partitur Simfoni Ilahiah. Ia menunduk, air mata jatuh pada keyboard, menyadari bahwa selama ini ia bukan sedang menghitung, tapi menyentuh ujung jubah Keagungan-Nya.
Ini bukan sekadar kerja intelektual, tapi ziarah batin. Ini bukan sekadar pencarian jawaban, tapi pengembaraan ruhani yang menelusuri setiap jejak ayat-Nya dalam semesta.
Dalam dunia yang retak, mujahadah ilmiah adalah jihad diam-diam, pedang cahaya yang tidak menghunus, tetapi menembus gulita hati yang terlupa.
Melawan Jahiliyah Modern
Hari ini, musuh terbesar ilmu bukan lagi kebodohan, tapi kesombongan intelektual. Kita hidup di zaman ketika ilmu dipuja, tapi ruhnya ditinggalkan.
Inilah jahiliyah modern, yang mereduksi segala sesuatu menjadi angka, profit, dan kebanggaan diri. Ilmu dipisahkan dari takwa, laboratorium dijauhkan dari sajadah.
Namun mujahadah ilmiah datang sebagai tamparan bagi arus itu. Ia hadir sebagai perlawanan yang tak melulu turun ke jalan, tapi tenggelam dalam makalah, doa, dan kontemplasi.
Lihatlah seorang profesor neurosains yang berani meneliti efek dzikir pada aktivitas otak. Bagi sebagian orang, itu sekadar data. Tapi bagi banyak yang lain, itu adalah ikhtiar suci: membuktikan bahwa ruh bukanlah fatamorgana, dan bahwa Ayat-ayat Tuhan tidak hanya tertulis di mushaf, tapi juga bergetar dalam gelombang otak manusia yang berzikir.
Ilmu tidak pernah netral. Ia akan condong kepada yang menggunakannya, entah menuju langit, atau jatuh dalam kerusakan.
Dalam laboratorium dan ruang kelas, mujahadah ilmiah menjadi medan perang sunyi. Di sana, seorang dosen bisa menjadi mujahid, bukan karena jumlah publikasinya, tapi karena niatnya yang jernih: bahwa setiap data yang ia teliti adalah bagian dari Ayat-ayat Kauniyah, dan bahwa setiap penjelasan kepada mahasiswa adalah bagian dari dakwah yang menyusup ke hati yang gersang.
Jahiliyah bukan hanya masa lalu pra-Islam. Kini menjelma dalam wajah baru: reduksionisme ilmiah yang memisahkan pengetahuan dari nilai, memenjarakan spiritualitas di luar ruang kelas. Di sinilah mujahadah ilmiah mengambil bentuknya sebagai perlawanan intelektual.
Lihatlah sosok Prof. Nadzirah Rahman, seorang neurosaintis dari Malaysia, yang meneliti efek dzikir terhadap neuroplastisitas otak. Penelitiannya bukan hanya pembuktian saintifik, tetapi perlawanan terhadap dogma positivistik yang menafikan peran ruhani dalam ranah kognitif. Dalam salah satu wawancaranya, ia berkata:
“Saya tidak ingin hanya menjelaskan otak manusia. Saya ingin mendengar suaranya ketika ia mengingat Tuhan.”
Mujahadah ilmiah di sini menjadi pedang yang diasah bukan dengan kemarahan, tapi dengan kejujuran akademik dan keberanian spiritual.
Keheningan yang Melahirkan Kedalaman
Ilmu yang sejati tidak tumbuh di tengah hiruk-pikuk dunia, tapi dalam hening. Seperti biji yang menunggu hujan dalam kegelapan tanah, ilmu membutuhkan kesunyian untuk tumbuh menjadi hikmah.
Imam al-Ghazali memahami itu. Ia meninggalkan segalanya: kemuliaan, kekuasaan, pujian, dan memilih pengasingan. Sebelas tahun dalam uzlah, tidak untuk bersembunyi, tapi untuk bertemu kembali dengan hakikat. Lalu lahirlah Ihya’ ‘Ulum al-Din, bukan hanya kitab, tapi cahaya yang menghidupkan jiwa umat selama berabad-abad.
Hari ini, bentuk uzlah itu mungkin tidak lagi di gua atau desa terpencil. Bisa jadi di ruang sunyi perpustakaan, di balik layar komputer, atau bahkan dalam hati yang terus berdzikir di tengah aktivitas riset.
Seorang peneliti kimia yang merenung sambil menyuling senyawa; seorang mahasiswa teknik yang tiba-tiba menangis di tengah coding, merasa disentuh oleh keindahan struktur logika yang serasi. Semua itu adalah bentuk riyadhah ilmiah modern.
Ilmu yang tak disucikan oleh muraqabah, akan tumbuh seperti pohon tanpa akar: besar tapi rapuh, tinggi tapi mudah tumbang.
Hari ini, ruh itu masih hidup dalam wajah yang berbeda. Seorang peneliti muda di Bandung, dalam disertasinya tentang biomimikri, memilih untuk bermukim sementara di hutan tropis Sulawesi. Ia menulis di Jurnal Internasional, namun juga mencatat refleksi sufistiknya di lembar-lembar harian:
“Setiap daun adalah Guru, setiap embun adalah Ayat. Di luar kampus aku belajar mengenal kehadiran-Nya lebih dalam.”
Inilah riyadhah ilmiah modern: laboratorium dan ruang zikir saling bertaut.
Ayat Kauniyah di Ruang Praktikum
Di zaman para salaf, tidak ada dikotomi antara belajar dan beribadah. Belajar adalah ibadah, dan ibadah adalah bentuk tertinggi dari pencarian ilmu. Mereka membaca langit dengan teleskop batin dan memetakan bintang-bintang dengan petunjuk hati. Dalam dunia seperti itu, menulis adalah tafakur, dan berpikir adalah zikir.
Hadis mulia berkata: “Tinta ulama lebih mulia daripada darah syuhada.” Tapi tinta itu hanya bernilai bila ia mengalir dalam keikhlasan, keberanian, dan adab.
Kini spirit itu mulai dihidupkan kembali. Di Turki, tim peneliti AI membangun algoritma berdasarkan prinsip maqashid syariah. Mereka tidak ingin teknologi menjadi pedang yang menusuk kemanusiaan. Mereka ingin menciptakan machine learning yang tahu batas moral dan mengerti arah spiritual. Mereka menyuntikkan ruh ke dalam kabel-kabel logika.
Di tanah air, seorang dosen biologi dari UIN meneliti biomimikri, sebuah ilmu yang meniru Desain Ilahi dalam alam. Baginya, daun bukan hanya objek fotosintesis, tapi juga ayat yang berbisik:
“Lihatlah bagaimana Kami menciptakan dengan harmoni, mengaturnya dengan kasih.” Ia bukan sekadar ilmuwan, tapi seorang sufi yang menyamar sebagai peneliti.
“Tinta ulama lebih mulia daripada darah syuhada.” Tapi tinta itu hanya bermakna jika diteteskan di atas kertas yang jujur, dengan niat yang lurus, dan dengan hati yang bersujud.
Integrasi ini adalah bentuk tertinggi dari mujahadah ilmiah—ketika menulis jurnal menjadi doa, dan mengetik data menjadi tasbih.
Mujahadah Ilmiah Hari Ini:
“Seorang mahasiswa fisika menulis skripsi tentang resonansi, sambil merenungi tasbih semesta. Ia bertanya, apakah hukum alam ini bisa menjadi jembatan untuk kembali kepada-Nya?”
Dr. Afifah Yusra, Dosen Biologi, dalam Molekuler
Proyek, Studi struktur DNA inspiratif dari Ayat-ayat Kauniyah (QS. An-Nur: 35, sebagai analogi cahaya dalam foton dan molekul), berbisik:
“Ketika membaca ayat tentang cahaya, saya tidak sedang menafsirkan Al-Qur’an sebagai ilmuwan. Saya sedang diajak berdialog dengan Tuhan lewat gen dan cahaya.”
Epilog: Jiwa-jiwa yang Rindu Pulang
Mujahadah ilmiah bukan sekadar aktivitas akademik. Ia adalah perjalanan pulang. Sebab ilmu sejati selalu membawa kita kembali kepada Dia yang Maha Mengetahui.
Ia mengajak kita untuk menggali, bukan demi karier, tapi demi cahaya. Ia membimbing kita meneliti, bukan agar dikenal, tapi agar semakin mengenal-Nya.
Bayangkan: ada seorang mahasiswi teknik yang di tengah tugas akhirnya tiba-tiba berhenti, terisak dalam kesendirian. Ia baru saja menyadari: bahwa angka-angka yang ia hitung selama ini bukan sekadar angka. Mereka adalah nyanyian terpendam dari Hukum Allah yang mengatur semesta.
Di medan ini, kita adalah pasukan sunyi. Tanpa sorotan, tanpa tepuk tangan. Tapi setiap esai yang kita tulis dengan niat lurus, setiap data yang kita baca dengan basmalah, adalah bagian dari jihad. Dan jihad ini takkan pernah sia-sia.
Karena, mujahadah ilmiah adalah proses mengukir Ayat-ayat Tuhan di atas data, menyuling hikmah dari reaksi kimia, dan menemukan jejak Asmaul Husna dalam persamaan matematika.
Wahai para pencari makna! Jangan biarkan laboratorium menjadi ruang sunyi tanpa dzikir. Jadikan setiap langkah riset sebagai jejak kaki menuju Tuhan. Ketika dunia merayakan teknologi tanpa ruh, kita hadir untuk menghidupkan kembali dimensi Ilahiah di tengah kabel, kode, dan kalkulasi.
Bumi ini memang retak. Tapi jiwa-jiwa yang tenang tidak menambalnya dengan kemarahan, melainkan dengan ilmu yang jernih dan ibadah yang diam-diam menyala. Mujahadah ilmiah bukan sekadar jalan sunyi ilmuwan sejati, ia adalah jalan pulang bagi jiwa-jiwa yang rindu.
“Ya Allah, jadikan ilmu sebagai cahaya yang menuntun jiwa kami pulang ke hadirat-Mu. Jadikan pena kami pedang yang menebas kegelapan, dan jadikan langkah kami bagian dari safar menuju-Mu.”
والله أعلم
MS 23/04/25
(Foto : Ilustrasi/IST)
Posted in SOSBUD
GETARBABELCOM, PANGKALPINANG– Pengamat hidrologi yang juga Ahli Sungai, Edi Irawan,…
GETAR BABEL.COM, BANGKA — Kepala Lingkungan (Kaling) Nangnung, Edo Meirdianno…
GETARBABEL, BANGKA — Pondok pesantren Ilzamun Maju Bahrin terus berbenah…
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sejumlah ASN…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sungguh miris…
GETARBABEL.COM, BANGKA- Kawasan hutan seluas…