Jiwa Yang Tenang Di Tengah Bumi Yang Retak (41): Potret Kaum Intelektual Dalam Narasi Transformasi Jiwa

images (2)

Oleh: Maman Supriatman || Alumni HMI

“Di mana para bijak bestari? Di mana para penjaga hikmah?”

Pertanyaan Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin abad ke-11, masih relevan di abad ini.

Dunia kontemporer adalah panggung yang retak: demokrasi dibajak oligarki (seperti terlihat dalam Citizens United v. FEC di AS yang melegalkan uang tak terbatas dalam politik), ilmu pengetahuan dikapitalisasi (skandal Theranos dan akademisi bayaran di industri farmasi), dan kata-kata dibungkam oleh algoritma (kasus shadow banning terhadap kritikus korporasi di media sosial).

Di tengah keributan ini, sosok intelektual sejati, yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berjiwa tenang (muthmainnah)—semakin langka, seperti mutiara di lautan sampah plastik wacana.

Mengapa? Karena menjadi intelektual hari ini berarti berhadapan dengan tiga musuh sekaligus: kuasa yang memaksa tunduk, pasar yang menuntut komodifikasi, dan diri sendiri yang rentan tergoda.

Persis seperti tiga tingkatan jiwa dalam Islam: nafs al-amarah (jiwa pemaksa), al-lawwamah (jiwa pencela), dan al-muthmainnah (jiwa yang tenang).

Intelektual Amarah: Para Penjual Hikmah di Pasar Bebas

“Mereka menjual ayat-ayat Allah dengan harga murah, lalu menghambat (orang) dari jalan-Nya. Sungguh buruk apa yang mereka kerjakan.” (QS. At-Taubah: 9)

Lihatlah mereka:

Profesor yang menjual data riset kepada korporasi tambang, sementara desa-desa di sekitarnya tenggelam dalam banjir limbah.

Rektor yang memuluskan proyek mercusuar dengan anggaran fiktif, sementara perpustakaan kampus berjamur karena tak ada dana.

Cendekiawan yang menjadi tukang stempel rezim otoriter, mengemas represi dalam jargon “stabilitas pembangunan”.

Mereka bukan sekadar koruptor, mereka adalah pembunuh masa depan.

Ketika seorang akademisi mengubur data riset tentang polusi udara demi kontrak konsultasi, ia bukan hanya berdusta; ia membiarkan anak-anak bernapas dengan paru-paru yang tercemar.

Filsuf Perancis, Pascal, pernah memperingatkan: “Keburukan terbesar bukanlah dilakukan oleh orang jahat, tetapi oleh orang baik yang diam.”

Intelektual Amarah lebih berbahaya daripada preman, mereka merusak dengan stempel “ilmiah”, mengubah kebohongan menjadi teori, dan keserakahan menjadi kebijakan.

Seperti dikatakan Noam Chomsky: “Universitas sekarang adalah anak perusahaan korporasi. Mereka memproduksi pekerja terdidik, bukan pemikir merdeka.”

Intelektual Hybrid (Lawamah)

“Mereka menjual kebenaran retail, tetapi membeli kebohongan grosiran.”
(Ulil Abshar Abdalla)

“Mengapa kamu menyuruh orang lain berbuat baik, tetapi melupakan dirimu sendiri?
(QS. Al-Baqarah: 44)

Fenomena intelektual hybrid terlihat jelas dalam sosok-sosok yang berpidato tentang meritokrasi di kampus, tetapi membangun dinasti politik di rumah.

Seorang tokoh yang kerap dianggap guru demokrasi, menulis kolom tentang bahaya oligarki, mengutip Habermas dan Rawls, dan mengecam politik dinasti, di pagi hari.

Namun di sore hari, membentuk tim sukses untuk kerabatnya yang maju dalam pemilu, mengamankan posisi di partai dengan jaringan keluarga, dan menerima pendanaan dari konglomerat yang sama yang dikritiknya di media.

Ini bukan sekadar hipokrisi individual, melainkan gejala sistemik dari intelektual yang terjebak dalam double life jiwa lawwamah yang terus mencela diri sendiri (QS Al-Qiyamah: 2), tetapi tidak cukup berani melompat ke muthmainnah.

Intelektual hybrid mengubah wacana demokrasi menjadi produk yang bisa diperjualbelikan: seminar, pelatihan, riset berbayar; semuanya dikemas dalam bahasa progresif, tetapi ujung-ujungnya melayani kepentingan elite.

Ketika masyarakat melihat seorang “pakar demokrasi” ternyata bermain dalam sistem yang ia kritik, maka seluruh kelas intelektual dicurigai.

Hasilnya, masyarakat beralih ke populisme (figur anti-intelektual seperti selebritas) karena menganggap cendekiawan sama busuknya dengan politisi.

Kata-kata seperti civil society, kebebasan akademik, dan good governance kehilangan kekuatan transformatif; menjadi sekadar alat pencitraan.

Mirip kritik Slavoj Žižek: “Ideologi yang paling efektif adalah yang kita praktikkan sambil mengaku menentangnya.”

Dalam tasawuf, nafs lawwamah digambarkan sebagai “jiwa yang terjaga separuh”; cukup sadar untuk menyesal, tetapi belum cukup kuat untuk bertobat.

Doa mereka: “Ya Allah, ampuni aku atas apa yang kulakukan kemarin… tapi izinkan aku mengulanginya hari ini.”

Nasib mereka seperti katak dalam air mendidih; tidak melompat karena sudah terbiasa dengan panasnya korupsi sistem.

“Kami bukan penjual ayat seperti intelektual amarah, tetapi juga bukan pertapa seperti muthmainnah. Kami hanya penonton yang sesekali berteriak, lalu diam ketika lampu sorot menyala.”

Intelektual hybrid adalah korban sekaligus aktor dari sistem busuk; mereka merusak demokrasi bukan dengan tangan kasar amarah, tetapi dengan pelan-pelan membius publik lewat wacana kosong.

Bahayanya justru lebih besar: ketika kritik demokrasi menjadi bagian dari industri demokrasi itu sendiri, tidak ada lagi kata yang bisa dipercaya.

Jiwa lawwamah mereka mungkin masih bisa diselamatkan. Tetapi hanya dengan satu syarat: berani memilih antara menjadi tuan atas kata-katanya, atau budak dari kepentingan yang membayarnya?

“Jika kau tak sanggup melawan, mengapa kau ikut menari?”
(Romo Mangun).

Intelektual Muthmainnah: Para Penjaga Oase di Gurun Kepalsuan

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 9-10)

Mereka adalah:

Penjaga integritas, seperti Einstein yang menolak desakan untuk menjadi Presiden Israel kedua tahun 1952, karena ia melihat Zionisme Israel sudah terlalu jauh menyimpang dari Yudaisme yang dianutnya.

Imam Abu Hanifah yang dipenjara dan diracun penguasa Abbasiyah, karena menolak menjadi hakim bagi Khalifah Al-Manshur. Ia menentang korupsi pengadilan, dan tidak mau menjadi alat penguasa yang korup.

Imam Ahmad Ibn Hambal yang disiksa dalam penjara karena berpegang pada keyakinannya bahwa Al-Qur’an adalah Kalamullah, bukan makhluk seperti pandangan penguasa Mu’tazilah (Al-Makmun).

Socrates yang dipaksa minum racun karena “merusak pemuda Athena” dengan pertanyaan kritisnya.

Petani ilmu, seperti Samantha Subramanian, jurnalis independen yang menelusuri jejak racun pabrik di India, meski diancam gugatan oleh konglomerat.

Penyelam makna, seperti Syed Farid Alatas, yang menolak tawaran “profesor bergaji miliaran” dari universitas negeri karena menolak intervensi politik dalam kurikulum.

Tukang becak filsafat, seperti Goenawan Mohamad, yang tetap menulis catatan pinggir di tengah gempuran algoritma dan buzzer.

Mereka tidak punya akun Twitter verified, tidak masuk dalam daftar “500 intelektual paling berpengaruh”, dan sering dikira “kuno” karena menolak mengemis validasi dari pasar atau kekuasaan.

Mereka adalah krisis eksistensial bagi sistem yang korup. Ketika seluruh dunia sibuk memamerkan indeks Scopus, mereka justru duduk di warung kopi mendengarkan cerita kuli gendong.

Saat para “pakar” berlomba jadi narasumber TV, mereka memilih mengajar anak-anak jalanan di bawah jembatan.

Seperti kata Tan Malaka: “Bila kaum intelektual sudah takut pada kenyataan, maka kenyataan akan menghancurkannya.”

Mengapa Mereka Semakin Punah?

  1. Ekonomi Pengetahuan yang Sakit

Di AS, 73% riset biomedis didanai industri (Jurnal Science, 2021).

Di Indonesia, dosen bergaji Rp5 juta/bulan dipaksa publikasi internasional berbayar Rp30 juta/paper.

  1. Spiritualitas yang Tergerus

Survei Pew Research (2022) menunjukkan 89% ilmuwan Barat ateis/agnostik; ilmu dipisahkan dari etika transendental.

Pesantren-pesantren yang dulu menjadi pusat hikmah kini terjebak formalisme ijazah.

  1. Mekanisme Penghancuran Diri

Riset MIT (2023) membuktikan algoritma Twitter/X memberi engagement 400% lebih tinggi pada konten emosional negatif.

Buku filsafat rata-rata terjual 300 eksemplar/tahun, sementara self-help pseudosains mencapai 50.000 eksemplar/bulan.

Epilog: Gerimis di Republik Kata-Kata

“Kadang kesunyian
adalah senjata terakhir
di medan perang yang terlalu gaduh”
(Cak Nur, adaptasi)

Hancurkan mitos itu:
bahwa “intelektual sukses”
adalah yang tertera di papan rektorat
atau tersenyum di foto resmi istana

Ukur ilmu bukan dari sitasi,
tapi dari berapa kali kau membungkuk
mengusap air mata di sudut pasar
atau melepas belenggu di ruang pengadilan

Bangunlah republik kata-kata yang merdeka:
di mana pena tak dijual per gram
di mana kertas menolak jadi bungkus dagangan
di mana tinta lebih pekat dari darah

Perpustakaan jalanan:
di mana suara nurani
beranak-pinak tanpa izin penguasa
tempat algoritma tak bisa menebar racun

Ajarkan kematian sejak semester pertama:
bawa mereka ke pemakaman,
tanyakan:
“Apa yang mau kau ukir di nisanmu?
Gelar bergantung seperti perhiasan,
atau nama yang diam-diam
menyala dalam ingatan banyak orang?”

Jika tak sanggup melawan,
jangan jadi centeng kekuasaan.
Jika tak bisa bicara benar,
diam lebih terhormat
daripada menari di panggung kebohongan.

“Di tengah pasar yang gaduh,
ada toko kecil yang sepi.
Di situ sang bijak duduk,
menawarkan air kehidupan—
tapi tak ada yang mau berhenti.”
(Rumi)

والله أعلم

MS 04/06/25

(Foto: ilustrasi/IST)

Posted in

BERITA LAINNYA

Sambil Menangis Sesegukan, Miftah Mundur Dari Utusan Khusus Presiden

GETARBABELCOM, JOGYAKARTA – Buntut dari rekasi keras publik lantaran kata…

Program Ketahanan Pangan, Polda Babel dan Jajaran Tanami Ribuan Bibit Tanaman di Lahan 50 Hektare

GETARBABEL.COM, BANGKA — Polda Bangka Belitung (Babel) terus menggencarkan pencanangan…

Opini || Kalau Cinta Bisa Viral, Apakah Cerai Bisa Jadi Trending? Refleksi dari Ruang Sidang Agama

Oleh: Muhammad Fahri || Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung Di…

POPULER

HUKUM

hipk

IPTEK

drone

TEKNOLOGI