Sempat Memanas, Demonstrasi Nelayan Tuntut Penambang Ditindak
By beritage |
PANGKALPINANG – Ratusan massa yang tergabung dalam Forum Nelayan Pecinta…
Friday, 25 April 2025
Oleh : Maman Supriatman || Alumni HMI
Lapar metafisika manusia tak kalah akutnya dibanding lapar fisiknya (Frithjof Schuon).
Dalam esai sebelumnya, kita telah menyelami kegelisahan manusia modern di tengah peradaban yang retak secara spiritual, terpisah dari sumber sakralitas, dan terjebak dalam narasi besar modernitas yang menjanjikan kemajuan namun menghadirkan kehampaan.
Kita menemukan bahwa inti dari krisis ini bukan semata krisis ekonomi atau politik, melainkan cacat metafisika—sebuah keterputusan dari makna transenden yang seharusnya menjadi pusat segala pencarian manusia.
Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an:
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.”
(QS. Ar-Rum: 7).
Ayat ini mencerminkan potret manusia modern: terampil secara teknis, namun kehilangan kedalaman eksistensial. Terlalu sibuk dengan dunia yang tampak, hingga lalai terhadap dimensi batin dan akhirat.
Metafisika yang Retak, Kurikulum yang Hampa
Pendidikan hari ini bergerak dalam orbit logika pasar dan semangat utilitarianisme. Kurikulum didesain untuk mencetak tenaga kerja, bukan membentuk insān kāmil. Akibatnya, manusia semakin terasing dari akar spiritual dan makna sejati hidupnya.
Dimensi metafisika dan spiritual—yang dulu menjadi nadi dalam pendidikan klasik Islam—terpinggirkan oleh tuntutan industri dan kompetisi global.
Seperti diungkapkan Rene Guenon,
“Manusia modern kelaparan bukan karena kurang roti, tapi karena kurang udara metafisika.”
Krisis ini tak bisa disederhanakan sebagai problem pedagogis semata. Ia adalah krisis epistemologis, hasil dari pemisahan antara ilmu sekuler dan ilmu sakral.
Pisau bedah Cartesian-Newtonian telah memisahkan subjek dari objek, akal dari intuisi, dan ilmu dari Tuhan. Maka lahirlah generasi yang mahir berhitung, tetapi buta akan makna.
Sebagaimana dikritik oleh Seyyed Hossein Nasr: “Krisis dunia modern bukan sekadar masalah moral atau sosial, tapi merupakan krisis epistemologis yang berakar dari pengingkaran terhadap realitas metafisis. Ilmu telah dipisahkan dari akar spiritualnya, dan manusia pun kehilangan kompas untuk memahami hakikat wujudnya sendiri.”
Dalam sistem pendidikan yang berlandaskan paradigma ini, ilmu diproses secara reduktif, ditimbang dari kegunaan praktis dan ekonomi belaka, hingga tak menyisakan ruang bagi keheningan batin dan pencerahan spiritual.
Inilah sebabnya mengapa ilmu pengetahuan yang seharusnya menjadi jalan menuju pencerahan, justru menjelma menjadi labirin yang menyesatkan. Ketika epistemologi kita tak lagi mengenal Tuhan sebagai pusat realitas, maka orientasi hidup manusia pun tercerabut dari makna sejatinya.
Nestapa modern bukanlah karena dunia kekurangan informasi, tapi karena manusia kehilangan kebijaksanaan, yang hanya bisa lahir dari ilmu yang tersambung dengan Sang Sumber.
Tak heran jika kampus modern justru melahirkan kegelisahan intelektual ketimbang ketenangan batin. Seperti diingatkan oleh Imam al-Ghazali dalam Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn:
“Ilmu yang tidak menyampaikan kepada ma’rifah (pengenalan akan Tuhan) dan tazkiyah (penyucian jiwa) adalah hijab (penghalang) yang paling tebal.”
Resakralisasi Kurikulum sebagai Jalan Pemulihan
Resakralisasi tidak berarti mengembalikan kurikulum ke masa lalu secara utuh, tetapi menghidupkan kembali roh pendidikan yang menyatukan akal, hati, dan jiwa. Kita butuh perubahan paradigma: dari pendidikan sebagai pengisian otak menuju pendidikan sebagai pembentukan manusia seutuhnya.
“Tanpa pengetahuan sakral, pengetahuan sekuler menjadi senjata penghancur diri.”
(Syed Muhammad Naquib al-Attas).
Nilai-nilai tauhid, keadilan (‘adl), dan kasih sayang (raḥmah) harus menjadi fondasi struktur kurikulum. Bukan sekadar menjadi tempelan dalam pelajaran agama, tetapi sebagai jiwa dari keseluruhan sistem pendidikan.
Ilmu eksakta perlu diajarkan dengan kesadaran bahwa hukum-hukum fisika adalah tanda-tanda kebesaran Ilahi. Sebagaimana firman Allah:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.”
(QS. Ali Imran: 190)
Sementara humaniora harus kembali mengajukan pertanyaan-pertanyaan besar: Siapa aku? Untuk apa hidup ini? Inilah dimensi eksistensial yang perlu dibangkitkan kembali.
Karena itu, diperlukan Redesain Kurikulum dengan pendekatan transdisipliner yang menyatukan sains, filsafat, dan spiritualitas. Bukan sekadar integrasi formal, tetapi integrasi makna.
Contoh konkrit:
Teknologi dan Etika: Pengajaran kecerdasan buatan atau rekayasa genetik harus disertai refleksi filosofis dan teologis tentang batasan manusia sebagai khalifah.
Ekonomi dan Keberkahan: Paradigma pemaksimalan profit digantikan dengan penciptaan nilai yang adil dan berkelanjutan.
Kesehatan dan Spiritualitas: Psikologi klinis diintegrasikan dengan konsep tazkiyatun nafs.
“Universitas masa depan harus menjadi tempat perlindungan jiwa sebagaimana ia menjadi laboratorium pikiran.”
(Huston Smith).
Kampus tidak boleh hanya menjadi pusat perkuliahan, melainkan juga ruang resapan spiritualitas yang menginspirasi hidup bermakna. Model seperti pesantren modern, Universitas Al-Qarawiyyin, dan studi kontemplatif di Barat seperti _Center for Contemplative Mind in Society_ bisa dijadikan inspirasi.
Sebagaimana ditegaskan dalam Konferensi Pendidikan Islam I di Mekah (1977):
“Tujuan utama pendidikan Islam adalah pembentukan kepribadian Muslim yang seimbang: spiritual, intelektual, etis, dan jasmani; membebaskan manusia dari hawa nafsu serta menjadikannya hamba Allah yang bertanggung jawab.”
Epilog: Saatnya Kembali Menyatu dengan Langit
Di tengah bumi yang retak, jiwa-jiwa manusia terombang-ambing seperti daun kering dihempas angin modernitas. Kehilangan arah karena terlalu lama berjalan tanpa cahaya transenden.
Pendidikan, yang semestinya menjadi mi‘rāj intelektual dan spiritual, justru terjatuh menjadi mesin produksi robot ekonomi. Kita menukar kebeningan hati dengan efisiensi, kebijaksanaan dengan produktivitas, dan keheningan kontemplatif dengan deru mesin kapital.
Padahal pendidikan adalah lentera terakhir yang bisa menerangi jalan pulang—jika kita berani menyalakan kembali api kesadaran akan Yang Mutlak. Kurikulum bukan semata dokumen akademik, tetapi peta eksistensi. Ia adalah catatan perjalanan jiwa yang rindu pulang kepada Sang Pencipta.
Lihatlah anak-anak kita: mereka haus bukan hanya pada rumus matematika, tapi pada makna yang menggetarkan jiwa. Mereka lapar bukan hanya pada teori ekonomi, tetapi pada kebijaksanaan yang membebaskan.
Jika kurikulum hari ini hanya mengajarkan bagaimana hidup tanpa menjawab untuk apa hidup, maka kita telah mengkhianati hakikat pendidikan itu sendiri.
Maka mari kita torehkan ulang kurikulum, bukan dengan tinta pasar, tapi dengan darah spiritualitas yang mengalir dari jantung tradisi suci. Ajarkan sains sebagai tadabbur ayat-ayat Kauniyah, ekonomi sebagai manifestasi Keadilan Ilahi, dan seni sebagai dzikir yang indah.
Sebab, sebagaimana pesan Rumi: “Kau bukan setetes air di lautan, kau adalah lautan dalam setetes.” Manusia bukan sekadar angka dalam sistem, melainkan makhluk yang membawa amanah langit.
Dan kelak, ketika ditanya: “Apa yang kau wariskan untuk peradaban?” Semoga kita tidak hanya menunjukkan deretan ijazah dan sertifikat, tetapi jiwa-jiwa yang tenang, yang telah menemukan jalan pulang.
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan merugilah orang yang mengotorinya.”
(QS. Asy-Syams: 9–10).
والله أعلم
MS 22/04/25
Posted in SOSBUD
PANGKALPINANG – Ratusan massa yang tergabung dalam Forum Nelayan Pecinta…
GETARBABEL.COM, BANGKA- Usulan dari salahsatu anggota Badan Musyawarah(Banmus) DPRD Babel…
Okeh: Agung Pangestu Prayogo || Ketua BPD HIPKA Bangka Selatan…
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sejumlah ASN…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sungguh miris…
GETARBABEL.COM, BANGKA- Kawasan hutan seluas…