Jiwa Yang Tenang Di Tengah Bumi Yang Retak (39b): Khalifah Tanpa Mahkota, Jiwa Yang Ditunggu Langit

images (2)

Ole: Maman Supriatman || Alumni HMI

“Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.” (QS. Al-Baqarah: 30).

Dalam beberapa esai sebelumnya, kita telah menelusuri dialektika dua Al-Masih: Dajjal sebagai parodi ketuhanan dan Nabi Isa AS sebagai manifestasi ketuhanan sejati, yang menjadi dua kutub magnetik dalam drama kosmik akhir zaman.

Dari sana, kita memahami bahwa turunnya Nabi Isa bukanlah hanya mukjizat eskatologis, melainkan jawaban final terhadap pertanyaan ontologis para malaikat: apakah manusia layak menjadi khalifah di bumi yang semakin retak ini?

Namun, jawaban Ilahi itu belum selesai. Sebab, kemenangan ruhani yang dibawa oleh Nabi Isa harus menemukan wadah peradabannya di bumi.

Cahaya langit yang ia bawa butuh jiwa-jiwa yang akan menyambut kehadirannya. Maka muncul pertanyaan lanjutan yang tak kalah penting: Siapakah yang akan mendukung kepemimpinan dunia setelah runtuhnya sistem Dajjal?

Inilah misteri besar yang akan kita gali dalam esai ini: Khalifah Akhir Zaman, figur manusia yang bukan hanya kuat secara moral dan tidak terseret oleh ilusi pesona dunia, tetapi juga matang secara spiritual, dialektis secara historis, dan stabil secara kosmik.

Ia bukan Nabi, bukan Raja, bukan teknokrat, tetapi jiwa tenang yang telah melalui seluruh badai dan tetap menjaga lentera iman. Ia adalah jawaban akhir dari seluruh percakapan langit dan bumi.

Khalifah tanpa Mahkota

Di tengah reruntuhan peradaban global dan langit yang nyaris tanpa cahaya, Khalifah Akhir Zaman tidak muncul dari istana megah atau kampanye digital, melainkan dari lorong-lorong sunyi sejarah, tempat para pencari kebenaran menunggu dengan sabar.

Ia tidak dikejar sorotan, tetapi dicari oleh langit. Ia tidak mengklaim kuasa, tetapi dipercayakan amanah. Ia adalah sosok yang tak dikenal oleh dunia, namun dikenali oleh langit.

Di titik ini, kita sampai pada perbedaan mendasar antara kekuasaan dan kepemimpinan. Dajjal menguasai dunia, Isa menaklukkan Dajjal, tetapi Khalifah Akhir Zaman memimpin umat manusia menuju fitrah.

Dalam dirinya, terpantul rahasia nafs al-muthma’innah, jiwa yang tenang, sebagaimana disebut dalam Surah Al-Fajr.

Jiwa ini bukan hasil dari pelarian spiritual, tetapi buah dari pergulatan eksistensial dan penyucian sejarah.

Jejak Para Pembimbing di Balik Tabir

Sejak awal sejarah kenabian, telah muncul kehadiran figur-figur pelanjut, bukan sebagai Nabi baru, tetapi sebagai penjaga amanah profetik.

Mereka adalah Rijalullah, orang-orang Allah yang tidak dikenal di bumi namun namanya disebut di langit.

Dalam banyak riwayat eskatologis, mereka hadir sebagai tentara Imam Mahdi, sebagai penegak keadilan global setelah fitnah merajalela. Namun, yang menarik bukan sekadar figur Mahdi secara individual, melainkan kualitas jiwanya.

Hadits menyebut bahwa ia menyerupai Nabi dalam akhlak, bukan hanya nasab. Ia tidak membawa ajaran baru, melainkan menyempurnakan orientasi, menghubungkan langit dan bumi dalam simpul tauhid yang hidup.

Inilah dimensi terdalam dari khilafah: bukan sistem politik semata, tetapi restorasi amanah ruhaniyah yang pernah ditawarkan pada langit dan bumi, lalu hanya diterima oleh manusia (QS. Al-Ahzab: 72).

Kepemimpinan sebagai Rahmat, Bukan Hasrat

Era Dajjal mengajarkan bahwa kekuasaan bisa direkayasa dengan ilusi dan manipulasi. Dunia modern hari ini adalah cermin dari ilusi itu, di mana pemimpin dikonstruksi oleh media, bukan ditempa oleh ujian.

Namun, Khalifah Akhir Zaman datang dengan paradigma sebaliknya: kekuasaan bukan tujuan, melainkan efek dari kebeningan jiwa dan keistiqamahan dalam menyulam Rahmat Ilahi dalam sejarah.

Dalam tafsir ruhaniah, kepemimpinan itu seperti matahari, ia tidak mengejar tempat tinggi, tetapi karena cahayanya, langit memberinya tempat itu.

Khalifah Akhir Zaman adalah matahari yang tidak menyilaukan, tetapi menghangatkan. Ia tidak mendominasi, melainkan merangkul.

Ia hadir bukan untuk merebut kekuasaan, tetapi untuk mengembalikan keseimbangan.

Imam Mahdi, manusia pilihan bumi dan Nabi Isa yang disiapkan dari langit, akan bersatu di akhir zaman untuk menyempurnakan Janji-Nya mewariskan bumi kepada para hamba-Nya yang shalih. Dan ketika bumi kembali menyatu dengan langit, maka segala pintu keberkahan akan terbuka (QS. al-A’raf: 96).

Epilog: Jiwa yang Ditunggu Langit

Kita telah menyaksikan dunia dalam bayang-bayang fitnah besar: kebohongan yang dilembagakan, keadilan yang dikomodifikasi, dan kemanusiaan yang diubah menjadi algoritma.

Maka, kedatangan Khalifah Akhir Zaman bukanlah hanya momentum politik, tetapi fase kosmik dalam sejarah spiritual manusia.

Ia hadir bukan untuk mengulang masa lalu, tetapi untuk membuka gerbang baru bagi masa depan yang telah dijanjikan kepada hamba-hamba yang shalih:

وَلَـقَدْ كَتَبْنَا فِى الزَّبُوْرِ مِنْۢ بَعْدِ الذِّكْرِ اَنَّ الْاَ رْضَ يَرِثُهَا عِبَا دِيَ الصّٰلِحُوْنَ

“Dan sungguh, telah Kami tulis di dalam Zabur setelah (tertulis) di dalam Az-Zikr (Lauh Mahfuz), bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh.”
(QS. Al-Anbiya:105).

Dalam banyak Hadits disebutkan, Imam Mahdi akan memimpin selama tujuh atau sembilan tahun (HR. Abu Daud, 4284). Kemudian Nabi Isa AS akan melanjutkan kepemimpinan, hidup sebagai manusia biasa selama 40 tahun, berkeluarga, memiliki keturunan, lalu wafat secara alami. Jenazah beliau akan dimakamkan di ruang yang sengaja dikosongkan di samping makam Rasulullah SAW (HR. Abu Ya’la, 6783).

Inilah Zaman Keemasan yang Dijanjikan itu.

Apa yang terjadi setelah itu, dunia tidak dibiarkan tanpa cahaya, sampai datang saatnya hitung mundur menjelang Kiamat, dimana hanya orang-orang yang paling bejat yang tersisa yang akan merasakan dahsyatnya Kiamat (HR. Muslim, 2940).

Namun sebelum zaman itu, masih akan ada fase di mana peran khalifah sebagai al-ba’ts ba’d al-haqq, kebangkitan setelah kebenaran (HR. Abu Daud, 4291).

Mereka-lah yang akan mewarisi penataan ulang dunia bukan dengan pedang, melainkan dengan keseimbangan; bukan dengan dogma, tetapi dengan hikmah.

Kita tidak hanya sedang menanti seseorang, tetapi juga menanti munculnya kualitas jiwa di tengah umat. Jiwa-jiwa yang lapang dalam badai, tegar dalam fitnah, dan bening dalam ujian.

Jiwa-jiwa inilah yang akan menjadi jalan bagi turunnya rahmat, bukan hanya dalam duet kepemimpinan Ilahiah (Imam Mahdi dan Nabi Isa), tetapi juga dalam kebangkitan kolektif umat yang telah selesai dengan egonya, yang siap menjadi cermin langit di tengah bumi yang retak.

Maka, saat kita berbicara tentang Khalifah Akhir Zaman, kita sejatinya sedang berbicara tentang jiwa-jiwa yang ditunggu langit. Ketika wadah peradaban telah siap menerima kehadirannya, saat itulah Nabi Isa akan diturunkan.

Jiwa-jiwa yang mampu berkata di tengah kegelapan: “Allah adalah cahaya langit dan bumi…” (QS. An-Nur: 35). Dari jiwa-jiwa seperti inilah peradaban yang baru akan lahir, bukan dari kekuatan, tetapi dari ketenangan; bukan dari paksaan, tetapi dari kepatuhan; bukan dari ambisi, tetapi dari cinta. Inilah esensi kekhalifahan manusia di muka bumi, yang siap menerima kehadiran Khalifah Akhir Zaman.

Barangkali, dalam keheningan malam-malam, Allah, Maha Pengendali Sejarah, sedang menumbuhkan jiwa itu di antara kita.

PUISI UNTUK JIWA-JIWA YANG DITUNGGU LANGIT

“Pantaskah mereka menjadi khalifah,
sementara darah akan mereka tumpahkan?
dan bumi akan mereka retakkan?”
Malaikat bertanya dengan mata berdebu kepak suci
sebelum Adam diajari nama-nama.

Malaikat merentang sayapnya yang gemilang:
‘Lihatlah kerusakan di mana-mana!’
Tiba-tiba terdengar suara dari gubuk reyot:
‘Ya Allah, berilah makan tetanggaku yang sedang puasa…’
Langit pun tersenyum:
‘Inilah jawaban untukmu, wahai malaikat.’

Mereka bukan Raja yang dinobatkan
Bukan Nabi yang diutus,
Tetapi jiwa-jiwa al-muthma’innah
Yang merenda malam dengan nama-Nya,
Dan menyulam fajar dari retakan zaman.

Mereka tak ada di textbook sejarah,
tapi setiap aksinya
adalah jawaban bagi malaikat yang dulu ragu

Ya, mereka layak
karena di tengah reruntuhan,
masih ada yang sanggup mencintai
tanpa syarat,
memberi tanpa pamer,
berdiri di garis depan
dengan tangan kosong, tapi dengan hati penuh.

Maka sempurnalah firman:
“Sesungguhnya Aku mengetahui
apa yang tidak kalian ketahui.”

Kini langit menunggu
saatnya bumi membuka mata,
bahwa khalifah sejati
selama ini
telah berjalan di samping kalian
dengan sandal lapuk,
tetapi dengan senyum yang mengingatkan
pada surga.

Bumi pun tersungkur,
Mengakui: “Inilah yang kami tunggu,
Kekuasaan yang tunduk,
Bukan yang menundukkan.
Dari lorong sunyi,
Mereka datang
seperti akar yang tumbuh dalam diam,
Menopang bumi yang retak,
Tanpa suara, tanpa nama.

Di dalam Zabur, di Lauh Mahfuz,
Telah tertulis:
“Bumi ini untuk jiwa-jiwa yang shaleh
Yang mengasuh zaman dengan rahmat,
Bukan dengan besi.

Maka mereka pun datang,
Bukan sebagai pahlawan,
Tetapi sebagai kekasih
Yang menjemput langit,
Bahkan sebelum bumi mengenalnya.

ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ ٱلَّذِي جَعَلَ ٱلْأَرْضَ مِيرَاثًا لِّلْعِبَادِ ٱلصَّالِحِين

Segala puji bagi Allah yang menjadikan bumi sebagai warisan bagi hamba-hamba-Nya yang shaleh.

والله ا علم

MS 01/06/25

(Foto: ilustrasi/IST)

Posted in

BERITA LAINNYA

SMPN 2 Sungailiat Lepas 286 Siswa Kelas IX Angkatan 48, Gelar Pentas Seni

GETARBABEL.COM, BANGKA — Keluarga besar SMPN 2 Sungailiat menggelar pelepasan…

Pentingnya Layanan Kesehatan di Kawasan Transmigrasi, Wamen Viva Yoga: Kita Bangun Puskesmas Agar Menjadi Kawasan Sehat

GETARBABEL.COM, JAKARTA – Program transmigrasi yang dikembangkan oleh Kementerian Transmigrasi…

Diikuti 903 Orang Partisipan, POPDA ke-XII Resmi Dimulai

GETARBABEL.COM, TANJUNGPANDAN — Pekan Olahraga Pelajar Daerah (POPDA) ke-XII Provinsi…

POPULER

HUKUM

hipk

IPTEK

drone

TEKNOLOGI