Calon Tunggal, KPUD Pastikan Tidak Ada Kotak Kosong di TPS
By beritage |
GETARBABEL.COM, BANGKA- Pihak KPUD Kabupaten Bangka memastikan bahwa didalam TPS…
Friday, 30 May 2025
Oleh: Maman Supriatman || Alumni HMI
Dunia Islam memerlukan keberanian intelektual untuk menggabungkan rasionalitas dengan iman, modernitas dengan spiritualitas, dan sains dengan wahyu—agar kita tidak hanya menjadi pengikut arus, tetapi pemain utama dalam narasi besar dunia.
Dalam banyak esai sebelumnya kita telah melihat bagaimana dunia hari ini retak oleh krisis peradaban, dengan runtuhnya nilai-nilai spiritual dan bangkitnya kekuatan materialistik yang menghegemoni kehidupan umat manusia.
Dalam konteks ini, muncul pertanyaan: Apakah rasionalisme modern mampu menjawab problem umat dan dunia Islam hari ini? Ataukah justru rasionalisme, dengan segala narasinya yang mengusung pencerahan, sains, dan skeptisisme terhadap hal-hal gaib, telah menjadi bagian dari krisis itu sendiri?
Kontribusi Rasionalisme Modern dalam Dunia Islam Pascakolonial
Tak dapat dimungkiri, pemikiran modernis yang diusung oleh tokoh-tokoh kaum rasionalis Islam, telah memainkan peran penting dalam mengangkat umat Islam dari keterpurukan pascakolonial.
Dalam upaya mereformasi pemikiran Islam, mereka menekankan pentingnya ijtihad, penalaran logis, dan pendekatan ilmiah-rasional.
Pemikiran seperti yang disampaikan oleh Muhammad Abduh, yang menyatakan, “Aql is the first authority in religion; without reason, no obligation can be binding” (Abduh, Risalat al-Tawhid, 1897), menjadi tonggak kebangkitan umat dalam menghadapi dominasi kolonial dan kebekuan pemikiran tradisional.
Tidak adil untuk mengabaikan jasa kaum rasionalis-modernis, yang pada masanya memberikan energi intelektual untuk membebaskan umat dari dogmatisme sempit dan membuka dialog dengan pemikiran Barat.
Seperti kata Fazlur Rahman dalam Islam and Modernity (1982), “The challenge of modernity is not to reject the past, but to reinterpret it in light of reason and moral values.”
Upaya mereka di era pascakolonial patut diapresiasi sebagai upaya menyusun ulang peradaban Islam yang tercerai-berai akibat penjajahan.
Namun, di sinilah letak masalahnya: mereka terlalu larut dalam paradigma positivisme sains modern, yang mengandaikan bahwa semua kebenaran hanya dapat diverifikasi secara empiris.
Padahal, positivisme sendiri telah dikritik oleh tokoh-tokoh Barat seperti Max Horkheimer dan Theodor Adorno yang menyebutnya sebagai “instrumental reason” yang menumpulkan daya kritis dan menjebak manusia dalam sistem teknokrasi.
Eskatologi Islam, yang menawarkan kerangka berpikir holistik dengan memasukkan aspek gaib sebagai bagian dari realitas, justru memberikan koreksi terhadap reduksionisme rasionalis ini.
Islam Rasional: Warisan Modernisme dan Batas-Batasnya
Kaum modernis sering mendekati teks-teks wahyu dengan lensa rasionalisme dan humanisme Barat. Mereka berargumen bahwa Islam harus diadaptasikan dengan nilai-nilai modern, seperti demokrasi, hak asasi manusia, dan sains modern.
Sebagaimana dinyatakan oleh Fazlur Rahman dalam Islam and Modernity (1982), “Reinterpretation of Islamic principles is essential to make Islam relevant to the modern age.”
(“Penafsiran ulang terhadap prinsip-prinsip Islam adalah hal yang penting agar Islam relevan dengan zaman modern.”).
Namun, warisan pemikiran ini memiliki keterbatasan mendasar. Islam rasional sering terjebak dalam paradigma positivistik ala sains modern yang hanya mengakui kebenaran berdasarkan observasi empiris dan logika rasional.
Inilah yang membuat mereka cenderung menolak hal-hal yang tidak dapat dijelaskan secara empiris, seperti konsep Nur Ilahi, fitnah Dajjal, atau hubungan antara Surat Al-Kahfi dengan realitas akhir zaman.
Mereka kerap mencemooh istilah seperti mitos, takhayul, atau cocoklogi ketika berhadapan dengan pemahaman literal-eskatologis.
Sebagai kritik balik, apakah rasionalisme mampu menjelaskan problem umat hari ini? Apakah dengan logika semata kita dapat memahami mengapa Surat Al-Kahfi menjadi pelindung dari fitnah Dajjal?
Ibn Khaldun dalam Muqaddimah (1377), hlm. 86 (edisi Rosenthal, 1958), dengan sangat tajam menyatakan:
“The rational sciences are but a small portion of knowledge, and there are many matters in religion which the intellect cannot comprehend; one must accept them through submission.”
(Ilmu-ilmu rasional hanyalah sebagian kecil dari pengetahuan, dan ada banyak perkara dalam agama yang tidak dapat dipahami oleh akal; seseorang harus menerimanya dengan tunduk).
Pernyataan ini menohok Islam rasional yang terkungkung pada batasan rasio.
Bagaimana mungkin rasionalisme menjelaskan makna Nur Ilahi yang menjadi pembimbing manusia menuju kebenaran dalam kegelapan fitnah Dajjal?
Bagaimana menjelaskan realitas gaib dalam konteks geopolitik dunia saat ini tanpa membuka diri pada pemahaman eskatologis yang bersumber dari teks-teks wahyu?
Keterbatasan Rasionalisme: Studi Kasus Al-Kahfi dan Dajjal
Surat Al-Kahfi secara spesifik diajarkan Rasulullah sebagai bacaan pelindung dari fitnah Dajjal (HR. Muslim 809).
Dalam struktur surat ini, kita menemukan empat kisah penting: Ashabul Kahfi (pemuda gua), pemilik dua kebun, Nabi Musa dan Khidr, serta Dzulqarnain.
Keempat kisah ini saling terkait dalam membentuk mindset survival menghadapi zaman fitnah.
Namun, Islam rasional cenderung hanya memahaminya sebagai cerita moral atau sekadar simbolisme.
Dalam konteks Nur Ilahi, Surat Al-Kahfi menyimpan pesan penting tentang kebutuhan manusia terhadap bimbingan Ilahi untuk menghadapi fitnah Dajjal yang datang dengan kekuatan teknologi, informasi, dan manipulasi realitas.
Tanpa pemahaman tentang Nur Ilahi, umat hanya akan terombang-ambing dalam arus modernitas yang penuh ilusi.
Islam rasional tidak mampu menjelaskan keterkaitan antara Nur Ilahi, fitnah Dajjal, dan struktur Surat Al-Kahfi, karena paradigma mereka cenderung menolak dimensi gaib dan metafisika. Istilah mitos, takhayul, atau cocoklogi sering digunakan untuk mengejek pendekatan literal-eskatologis.
Padahal, dalam konteks global hari ini, di mana ilusi media, deepfake, dan kontrol narasi semakin nyata, pendekatan eskatologis justru memberikan pemetaan yang lebih presisi terhadap realitas kekinian.
Islam Rasional dan Tantangan Dunia Islam Saat Ini
Kita harus mengakui bahwa pemikiran modernis memiliki peran penting pada masa pascakolonial. Mereka membantu membuka kesadaran umat tentang pentingnya pendidikan, kebebasan berpikir, dan reformasi sosial.
Namun, peta masalah global telah bergeser secara fundamental. Persoalan hari ini bukan sekadar tentang demokratisasi atau kebebasan berpendapat, tetapi tentang bagaimana menghadapi struktur kekuasaan global yang dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan besar dalam proyek New World Order, di mana fitnah Dajjal menjadi kerangka besar yang menyelimuti realitas ini.
Islam rasional gagal menjawab persoalan-persoalan seperti:
Bagaimana menjelaskan peran kekuatan global dalam skenario akhir zaman?
Bagaimana memahami koneksi antara teknologi, ilusi media, dan kontrol kesadaran umat?
Bagaimana menjelaskan relevansi hadits-hadits tentang fitnah Dajjal, Imam Mahdi, dan Nabi Isa dalam konteks kontemporer?
Semua pertanyaan ini hanya dapat dijawab dengan pendekatan yang mengintegrasikan nash dengan pemahaman geopolitik, yaitu pendekatan Eskatologi Islam yang literal-kontekstual.
Epilog: Saatnya Berpindah Paradigma
Dunia Islam tidak bisa lagi terpaku pada paradigma rasionalisme modernis yang dibangun pada abad ke-20.
Kita berterima kasih atas jasa besar mereka dalam membuka ruang kebebasan berpikir, tetapi kita juga harus berani mengakui bahwa solusi mereka kini sudah outdated.
Peta problem global telah bergeser: dari krisis nation-state menjadi krisis global civilization. Dari kolonialisme militer menjadi kolonialisme finansial-teknologis yang beroperasi secara invisible.
Dalam konteks inilah, Eskatologi Islam hadir bukan sebagai nostalgia atau storytelling, melainkan sebagai framework of survival dan strategic roadmap menghadapi era akhir zaman.
Dunia Islam memerlukan keberanian intelektual untuk menggabungkan rasionalitas dengan iman, modernitas dengan spiritualitas, dan sains dengan wahyu—agar kita tidak hanya menjadi pengikut arus, tetapi pemain utama dalam narasi besar dunia.
والله أعلم
MS 28/05/25
(Foto: ilustrasi/IST)
Posted in SOSBUD
GETARBABEL.COM, BANGKA- Pihak KPUD Kabupaten Bangka memastikan bahwa didalam TPS…
Siapa yang tidak kenal Rocky Gerung? Namanya kian melambung jauh…
GETARBABEL.COM, BANGKA –– Musibah kecelakaan lalu lintas (lakalantas) tunggal dialami…
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sejumlah ASN…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sungguh miris…
GETARBABEL.COM, BANGKA- Kawasan hutan seluas…