Polda Babel Tangkap Mucikari, Jajakan 2 Penghibur Remaja Rp1,5 Juta Sekali Kencan
By beritage |
GETARBABEL.COM, PANGKALPINANG –Seorang mucikari remaja berinisial RTH (18) diamankan Tim…
Friday, 4 July 2025
Oleh: Maman Supriatman || Alumni HMI
Dunia tidak sedang jatuh ke dalam kekacauan tanpa arah; ia sedang berjalan menuju momen pengungkapan misteri Ilahi: kenapa manusia layak menjadi khalifah.
Di bawah langit yang retak, di bumi yang terengah, sejarah manusia bukanlah sekadar rentetan perang, kehancuran, atau kebangkitan imperium.
Ia dimulai jauh sebelum perang pertama, sebelum manusia pertama menjejakkan kaki di bumi. Kala itu, ketika Allah berfirman kepada para malaikat:
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”
(QS Al-Baqarah: 30)
Namun Iblis menolak sujud kepada Adam, berkata pongah:
“Aku lebih baik darinya, Engkau ciptakan aku dari api sedangkan dia dari tanah.”
(QS Al-A’raf: 12)
Sejak saat itu, sejarah manusia memikul beban pembuktian: bisakah makhluk rapuh bernama manusia ini menegakkan amanah sebagai khalifah di muka bumi, melewati ujian fitnah demi fitnah?
Jawaban itu menanti ribuan tahun, hingga tiba hari di mana sejarah mencapai simpul akhirnya; hari ketika fitnah memuncak, ketika Malhamah Kubra meletus, ketika kebenaran dan kebatilan berdiri berhadap-hadapan tanpa tirai.
Malhamah Kubra bukan sekadar perang antar bangsa. Ia adalah panggung pengujian akhir: apakah manusia tunduk pada fatamorgana kekuasaan Dajjal, atau berdiri tegak memegang kalimat tauhid.
Tafsir Simbolik sebagai Penghalang Penyingkapan
Modernitas telah menjadikan kita generasi yang gagap menghadapi yang sakral. Kita lebih nyaman membahas “Dajjal sebagai sistem kapitalisme” daripada membayangkan seorang buta sebelah mata yang menguasai dunia. Kita lebih suka memaknai “Ya’juj dan Ma’juj sebagai globalisasi” daripada mengakui mereka sebagai bangsa perusak yang akan turun dari pegunungan.
Tapi inilah masalahnya: Misteri khalifah tidak mungkin tersingkap jika kita menolak realitas nubuat.
Ketika Ibnu Khaldun menolak hadits-hadits tentang Imam Mahdi dengan dalih “tidak ilmiah”, atau ketika Fazlur Rahman mengubah turunnya Nabi Isa menjadi “kebangkitan nilai spiritual”, mereka bukan sedang menafsirkan, tapi sedang menutup pintu penyelidikan atas misteri Ilahi ini.
Syekh Imran Hosein mengingatkan:
“Mengapa kita begitu mudah menerima laporan CNN tentang perang di Ukraina, tetapi meragukan kabar Rasulullah tentang perang di akhir zaman?”
Inilah yang terjadi ketika tafsir simbolik mendominasi:
Kita kehilangan peta kosmik yang menghubungkan Adam, Dajjal, dan Imam Mahdi dalam satu narasi Ilahi.
Kita memotong rantai sejarah yang seharusnya membawa kita pada penggenapan janji khalifah.
Kita mengubah pertanyaan malaikat menjadi teka-teki filosofis, bukan tuntunan untuk dibuktikan dalam pentas sejarah.
Misteri Khalifah: Ujian Akhir Zaman
Ketika Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS Al-Baqarah: 30), apa yang diketahui Allah itu sedang diungkapkan melalui dialektika sejarah, dan puncaknya akan terjadi di akhir zaman:
Ujian Dajjal akan membuktikan apakah manusia memilih kebenaran atau tertipu oleh ilusi. Kekacauan Ya’juj dan Ma’juj akan menguji ketahanan iman di tengah kehancuran.
Kemenangan Imam Mahdi dan Nabi Isa akan menjadi bukti terakhir bahwa janji Allah tentang khalifah manusia adalah benar.
Tapi semua ini mustahil dipahami jika kita membaca Dajjal hanya sebagai “lambang kediktatoran”, Imam Mahdi sebagai “metafora kepemimpinan adil”, dan turunnya Nabi Isa sebagai “kiasan kebangkitan Islam”.
Sebab, misteri khalifah bukanlah teka-teki linguistik, melainkan drama kosmik yang harus dialami. Seperti halnya Ibrahim harus melewati ujian penyembelihan Ismail untuk memahami hakikat ketuhanan, umat akhir zaman harus melewati Dajjal untuk memahami hakikat khalifah.
Menyingkap Rahasia dengan Tafsir Profetik
Dajjal adalah sistem dan individu, dan Ya’juj-Ma’juj adalah kekuatan global dan entitas fisik. Hanya dengan pengakuan ini kita bisa melihat kesinambungan antara dosa Iblis (menolak sujud pada Adam) dan tipu daya Dajjal (menolak otoritas langit).
Kolonialisme, perang dunia, krisis finansial—semua adalah babak dalam drama pembuktian: apakah manusia layak menjadi khalifah?
Nabi SAW bersabda: “Akan datang suatu masa di mana tidak tersisa dari Islam kecuali namanya…” (HR Baihaqi). Ini bukan metafora, tapi tahapan menuju penggenapan.
Ilmu tanpa hikmah akan melahirkan tafsir simbolik yang kering. Hikmah tanpa ilmu akan melahirkan literalism yang jumud.
Yang kita butuhkan adalah tafsir profetik yang memadukan keduanya, seperti cahaya matahari yang sekaligus menerangi dan menghangatkan.
Dari Adam hingga Mahdi
Di akhir zaman nanti, ketika Dajjal dikalahkan, Ya’juj dan Ma’juj binasa, dan Isa berdiri sebagai hakim yang adil, saat itulah malaikat akan melihat jawaban dari pertanyaan mereka dahulu:
“Mengapa Engkau menciptakan makhluk yang akan berbuat kerusakan?”
Jawabannya akan terlihat dalam diri orang-orang beriman yang tetap teguh di tengah fitnah. Dalam jiwa-jiwa yang memilih mati daripada menyembah Dajjal.
Dalam keturunan Adam yang melalui segala kelemahannya, ternyata mampu memikul amanah langit.
Tapi kita tidak akan sampai pada pemahaman ini jika kita sibuk mengubah Dajjal menjadi simbol, atau menganggap Al-Masih hanya kiasan.
Misteri khalifah hanya tersingkap bagi mereka yang berani menghadapi nubuat apa adanya, bukan sebagai puisi, tapi sebagai peta perjalanan jiwa.
Hadits Transformatif: Dialektika Sejarah dalam Lima Fase
Kunci penyingkapan misteri sejarah itu ada pada nubuwat Nabi SAW:
“Mulanya ada masa Kenabian (Nubuwwah) atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya. Lalu datang masa Kekhalifahan mengikuti metode Kenabian (Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah), berlangsung sesuai kehendak-Nya, kemudian Allah mengangkatnya. Kemudian datang masa Raja-Raja yang menggigit (Mulkan ‘Adhdhan), berlangsung sesuai kehendak-Nya, lalu Allah mengangkatnya. Setelah itu, datang masa Raja-Raja Pemaksa (Mulkan Jabariyyan), berlangsung sesuai kehendak-Nya, lalu Allah mengangkatnya. Terakhir, datang kembali Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah.”
(HR Ahmad, Al-Bazzar, dan At-Thabarani).
Hadits ini bukan sekadar kronologi; ia adalah kunci memahami dialektika sejarah yang menjawab pertanyaan malaikat: “Mengapa Engkau menciptakan makhluk yang akan berbuat kerusakan dan suka menumpahkan darah?”
Kita hidup di fase keempat, Mulkan Jabariyyan (penguasa pemaksa), di mana:
Kekuasaan dijalankan dengan paksaan, baik melalui militer, manipulasi ekonomi, atau rekayasa sosial.
Agama direduksi menjadi alat legitimasi atau dikerdilkan ke ruang privat.
Krisis multidimensi menjadi norma: perang, inflasi, kehancuran ekologi, kegagalan sistem.
Namun jika sejarah terdiri atas lima fase, maka fase keempat pasti berakhir.
Pertanyaannya: Bisakah fase keempat berakhir tanpa perang besar?
Geoprofetik: Menembus Kedangkalan Geopolitik
Preseden sejarah menunjukkan bahwa setiap transisi fase selalu diiringi gejolak.
Runtuhnya Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah (fase 2) memunculkan Dinasti Umayyah (fase 3) melalui konflik bersenjata.
Peralihan dari Mulkan ‘Adhdhan (fase 3) ke Mulkan Jabariyyan (fase 4) juga melalui kolonialisme dan dua Perang Dunia.
Pola ini menunjukkan bahwa kekuasaan pemaksa tidak akan runtuh kecuali oleh guncangan besar.
Nabi SAW menggambarkan fase menjelang kemunculan Imam Mahdi:
“Manusia diserahkan kepada penguasa yang kejam. Siapa yang mengingkari mereka, ia selamat. Siapa yang membenarkan, ia binasa.”
(HR At-Tirmidzi).
Ini adalah deskripsi nyata dari Mulkan Jabariyyan, sistem represif yang tidak bisa ditundukkan hanya dengan diplomasi.
Sementara modernitas membaca sejarah dengan lensa geopolitik:
Perang Ukraina–Rusia adalah konflik NATO vs Rusia; Krisis Timur Tengah adalah perebutan minyak dan proxy war.
Namun tafsir geoprofetik mengungkap lapisan lebih dalam:
Setiap krisis adalah bagian dari perjalanan menuju penggenapan janji Khilafah akhir zaman.
Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah (1924) bukan sekadar efek Perang Dunia, tapi pemutusan rantai kosmik kenabian, yang menunggu disambung kembali oleh Imam Mahdi.
Tafsir simbolik gagal menjawab tantangan zaman, karena mereka tidak mampu mempersiapkan manusia menghadapi ujian nyata.
Saat Muslim di Gaza diserang dengan teknologi mutakhir, apakah cukup hanya menyebut Dajjal sebagai “simbol ketidakadilan”?
Saat sistem global mendikte harga pangan dan sumber air dunia, apakah kita masih bisa bersembunyi di balik tafsir simbolik tentang “kekuasaan palsu”?
Tafsir simbolik gagal membaca realitas, karena ia melepaskan sejarah dari panggungnya. Padahal sejarah adalah pentas pembuktian. Manusia diuji bukan di alam simbol, tetapi di bumi yang retak, di bawah langit yang bergemuruh.
Ketika langit mulai berguncang dan bumi retak karena fitnah telah memuncak, manusia yang memahami realitas nubuat akan mempersiapkan dirinya: ia tahu ke mana sejarah berjalan, kepada siapa ia harus berpihak, dan apa yang harus ia pertahankan.
Sebaliknya, mereka yang terjebak dalam tafsir simbolik akan kehilangan peta. Mereka tidak bisa mengenali tanda, tidak bisa membaca zaman, dan tidak bisa mengambil sikap.
Dalam kebingungan itu, sistem Dajjal akan tampil sebagai “penyelamat”, dan mereka akan mengikutinya tanpa sadar.
Untuk mempersiapkan perahu sebelum badai, bukan mempersoalkan metafora perahu, tetapi benar-benar membangunnya.
Jiwa yang Siap Menyambut Fajar
Di tengah retaknya langit dan runtuhnya tatanan, jiwa yang tenang tidak mencari keselamatan dalam simbol atau tafsir metaforis, tetapi berdiri di atas keyakinan yang terang: bahwa sejarah ini bukan absurditas tanpa arah, melainkan panggung penyempurnaan janji Ilahi.
Mereka yang menolak ilusi dan memeluk nubuat sebagai realitas, akan melihat apa yang dulu tersembunyi: bahwa dari Adam hingga Mahdi, dari fitnah hingga kemenangan, semua mengalir menuju satu momen penyingkapan; saat manusia benar-benar layak disebut khalifah.
Dan mereka yang bersiap, bukan dengan senjata dunia, tapi dengan iman yang jernih, akan menyambut fajar itu bukan dengan ketakutan, tapi dengan ketenangan.
Karena bagi mereka, nubuat bukan sekadar masa depan, ia adalah kebenaran yang hidup di dalam dada.
Jika nubuwat adalah tahayyul, atau apa yang disebut tahayyul itu menunjuk kepada nubuwat, masih layakkah kita mengaku sebagai umat Nabi Muhammad SAW?
Epilog: Tersingkapnya Misteri Purba
Di balik gemerlap Pax Judaica, di balik bujuk rayu sistem Dajjal yang menguasai emas, air, dan pangan, tersembunyi panggilan yang hanya didengar oleh mereka yang bersih hatinya: panggilan untuk kembali kepada Keadilan Allah.
Sebagaimana janji-Nya: “Dan Kami hendak memberi karunia kepada mereka yang tertindas di muka bumi, dan menjadikan mereka pemimpin-pemimpin, serta menjadikan mereka ahli waris.”
(QS Al-Qashash: 5).
Itulah sebabnya Syekh Imran Hosein menulis buku monumental “Jerusalem in The Qur’an”, bukan hanya sebagai telaah geopolitik, tetapi sebagai suara kesaksian bahwa Yerusalem adalah simbol pertarungan akhir antara janji Ilahi dan ambisi Iblis.
Bukan milik kaum yang memegang tongkat riba dan kekuatan media, melainkan milik mereka yang tetap berdiri di barisan al-Haq, walau dunia mengguncang.
Di ujung dialektika fitnah, saat segala yang palsu hancur, Keadilan Allah akan turun seperti embun fajar menyapu debu peperangan.
Tugas manusia bukanlah memprediksi kapan badai reda, tetapi mempersiapkan perahu iman agar tetap utuh.
Karena mereka yang teguh memegang tali Allah akan menjadi saksi: inilah hari ketika Allah singkapkan misteri sejarah itu; hari ketika manusia yang hina dina menunjukkan bahwa mereka, bukan malaikat, bukan Iblis, yang layak memikul amanah sebagai khalifah bumi.
والله أعلم
MS 20/05/25
(Foto: ilustrasi/IST)
Posted in SOSBUD
GETARBABEL.COM, PANGKALPINANG –Seorang mucikari remaja berinisial RTH (18) diamankan Tim…
GETARBABEL.COM, BANGKA – Satres Narkoba Polres Bangka berhasil mengungkap kasus…
GETARBABEL.COM, PANGKALPINANG – Penjabat (Pj) Walikota Pangkalpinang, Budi Utama menerima…
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sejumlah ASN…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sungguh miris…
GETARBABEL.COM, BANGKA- Kawasan hutan seluas…