Jiwa Yang Tenang Di Tengah Bumi Yang Retak (30):  Dari Dekonstruksi Ke Rekonstruksi Profetik (Analisis Kendala Utama: Propaganda Media dan Falsafah Sejarah Acak)

IMG_20250518_103852 (1)

Oleh: Maman Supriatman || Alumni HMI

Modernitas telah membawa kita pada sebuah paradoks: semakin dunia mendekati penggenapan nubuat, semakin gencar upaya untuk melarutkannya ke dalam kabut simbolisme.

DUNIA yang retak memaksa manusia mencari bahasa baru untuk memahami kehancurannya. Namun, ada bahaya ketika kita mengubah nubuat menjadi puisi, ketika Dajjal direduksi menjadi simbol, Gaza menjadi alegori, dan janji Allah sekadar permainan linguistik.

Tafsir simbolik, yang lahir dari rahim modernitas, sering kali bukan alat pencerahan, melainkan mekanisme pertahanan: cara halus untuk menghindari kebenaran yang terlalu keras untuk dihadapi.

Syekh Imran Hosein pernah memperingatkan: “Mereka yang bersikeras pada penafsiran simbolik telah merampas fungsi strategis al-Qur’an.”

Ini bukan sekadar perdebatan metodologi, melainkan pertarungan atas hakikat iman itu sendiri. Sebab, bagaimana mungkin kita membangun perahu untuk menyelamatkan diri dari badai akhir zaman, jika kita sibuk memperdebatkan apakah badai itu nyata atau hanya metafora?

Dekonstruksi Simbolik: Ketika Nubuat Kehilangan Taring

Modernitas telah membawa kita pada sebuah paradoks: semakin dunia mendekati penggenapan nubuat, semakin gencar upaya untuk melarutkannya ke dalam kabut simbolisme.

Fazlur Rahman, dengan double movement theory-nya, mungkin bermaksud mulia: mengkontekstualisasikan wahyu untuk zaman baru.

Tapi ketika Dajjal dijelaskan sebagai “sistem kapitalisme global” semata, atau turunnya Nabi Isa sebagai “kebangkitan spiritual”, kita bukan sedang menafsir, kita sedang menelanjangi nubuat dari kekuatannya yang profetik.

Mohammed Arkoun melangkah lebih jauh. Baginya, kisah-kisah eskatologis hanyalah mitos yang perlu dibongkar dengan kritisisme Barat.

Tapi dekonstruksi semacam ini adalah pengkhianatan terhadap struktur wahyu. Sebab, seperti kata Syekh Imran,

“Al-Qur’an bukan teks mati yang menunggu pembacaan manusia, tapi petunjuk hidup yang membimbing manusia membaca zaman.”

Yang terjadi kemudian adalah “bocor alus”: sebuah kebocoran epistemologis di mana umat perlahan kehilangan pijakan atas realitas nubuat.

Dajjal tak lagi dilihat sebagai entitas nyata yang menguasai sistem pangan dan perbankan, melainkan sekadar personifikasi kejahatan abstrak.

Imam Mahdi dianggap sebagai metafora gerakan reformasi sosial. Dan Ya’juj–Ma’juj, yang dalam Hadits digambarkan sebagai penghancur tembok, dijadikan kiasan untuk globalisasi.

Tafsir simbolik memang nyaman. Ia membuat kita bisa berbicara tentang akhir zaman tanpa harus percaya pada yang ghaib. Tapi kenyamanan ini berbahaya, karena melumpuhkan kesiapan umat.

Seperti seorang yang membaca peta khayalan, ia merasa aman, padahal sedang berjalan menuju jurang.

Eskatologi yang Terpecah: Antara Literalisme Buta dan Simbolisme Buta

Diskursus Eskatologi Islam modern terjebak dalam dua kutub ekstrem:

Literalisme buta, yang mematuhi teks tanpa engagement kritis dengan realitas.

Simbolisme buta, yang menganggap teks sebagai bahan mentah untuk direkayasa sesuai selera zaman.

Keduanya bermasalah. Yang pertama terjebak dalam kejumudan, yang kedua dalam relativisme.

Padahal, jalan tengahnya jelas: tafsir profetik, yang memadukan kepercayaan pada yang ghaib dengan pembacaan kontekstual atas tanda-tanda zaman.

Contoh nyata adalah krisis Palestina. Bagi literalisme buta, ini sekadar menunggu turunnya Nabi Isa. Bagi simbolisme buta, ini cuma konflik geopolitik biasa.

Tapi tafsir profetik membacanya sebagai pertempuran antara Pax Judaica dan janji Allah dalam QS. Al-Isra: 104, di mana Zionisme adalah fase sebelum kehancuran akhir Dajjal.

Di sinilah pentingnya pendekatan Syekh Imran Hosein: “Yerusalem bukan sekadar kota, tapi panggung pertarungan kosmik antara Haqq dan Batil.”

Pendekatannya tidak terjebak pada dikotomi harfiah-simbolik, melainkan mengintegrasikan keduanya: Dajjal adalah sistem dan individu, Ya’juj–Ma’juj adalah kekuatan global dan entitas fisik.

Rekonstruksi Profetik, Mengembalikan Nubuat sebagai Peta Navigasi

Lalu, bagaimana membangun kembali pemahaman yang utuh?

Pertama, mengakui bahwa nubuat adalah realitas multidimensi. Dajjal bukan hanya “sistem” atau “manusia”, tapi keduanya.

Sebagaimana sistem perbudakan Romawi berujung pada Nero, maka sistem kapitalisme modern berujung pada seorang anti-Kristus.

Kedua, menolak hegemonisasi epistemologi Barat atas wahyu. Eskatologi Islam bukan mitos yang perlu diverifikasi akal modern, tapi kerangka yang justru menguji kecukupan akal modern.

Ketiga, menghidupkan tradisi nubuwat dalam membaca krisis kontemporer.

Ketika bank sentral mengontrol mata uang dunia, itu bukan sekadar ekonomi, itu bagian dari skenario Dajjal. Ketika NATO memperluas pengaruh, itu bukan sekadar politik, itu jejak Ya’juj–Ma’juj.

Keempat, menggabungkan ketajaman intelektual dengan kesalehan spiritual. Sebab, tanpa qalb yang tercerahkan, kita bisa terjebak pada analisis yang dingin atau iman yang dogmatis.

Rekonstruksi Profetik dalam Pusaran Narasi Global

Dunia ini sudah lama retak, terutama karena dikendalikan oleh narasi-narasi besar yang sengaja dirancang untuk memutus hubungan antara realitas dengan nubuat profetik.

Kendala terberat dalam rekonstruksi bukan hanya datang dari media atau distorsi simbolik, melainkan dari sebuah bangunan pemikiran global yang menolak teleologi, keyakinan bahwa sejarah bergerak menuju tujuan akhir yang telah ditetapkan.

Modernitas, dengan segala klaim rasionalitasnya, telah menciptakan ilusi bahwa sejarah bergerak secara acak, tanpa arah yang jelas, sekadar pergulatan kekuasaan dan kepentingan material belaka.

Narasi ini diperkuat oleh filsafat postmodern yang menolak kebenaran absolut, sains positivis yang hanya mengakui apa yang terukur, dan politik global yang mengaburkan pertarungan hakiki antara Haqq dan Batil.

Jika sejarah dianggap tidak memiliki tujuan akhir, maka nubuat-nubuat profetik pun direduksi menjadi mitos atau, paling banter, sekadar metafora moral.

Padahal, seluruh bangunan iman Islam berdiri di atas keyakinan bahwa sejarah manusia adalah kisah yang terarah, yang puncaknya adalah penggenapan janji-janji Allah.

Ketika Nabi ﷺ bersabda tentang Dajjal, Imam Mahdi, atau turunnya Isa al-Masih, beliau tidak sedang menyampaikan alegori, melainkan peta navigasi untuk zaman yang akan datang.

Masalahnya, dunia saat ini dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan yang berkepentingan agar umat manusia kehilangan peta itu, agar mereka percaya bahwa tidak ada Rencana Ilahi, tidak ada akhir zaman, dan tidak ada pertanggungjawaban.

Di sinilah letak pertarungan sebenarnya. Rekonstruksi profetik bukan hanya tentang mengembalikan makna literal pada nubuat, tetapi juga tentang memulihkan kesadaran teleologis; keyakinan bahwa setiap peristiwa, sekecil apa pun, adalah bagian dari gerakan menuju penggenapan janji Allah.

Krisis Palestina bukan sekadar konflik politik, melainkan babak dalam pertarungan akhir zaman. Sistem ekonomi ribawi bukan hanya masalah ketidakadilan, melainkan salah satu senjata Dajjal.

Dan ketika media berusaha meyakinkan kita bahwa semua ini hanyalah kebetulan belaka, mereka sebenarnya sedang memutuskan tali yang menghubungkan kita dengan kebenaran profetik.

Lalu, bagaimana kita merespons?

Pertama, dengan menolak narasi acak (randomness) yang ditawarkan modernitas. Sejarah tidak berjalan tanpa makna; setiap kejadian adalah bagian dari Skenario Ilahi.

Kedua, dengan membaca realitas melalui lensa nubuat, bukan sekadar melalui analisis geopolitik atau ekonomi konvensional.

Ketiga, dengan membangun komunitas epistemik yang menjaga kesadaran teleologis ini, baik melalui pendidikan, media alternatif, maupun jejaring ulama yang tetap setia pada kerangka profetik.

Di ujung zaman ini, kebenaran tidak akan disampaikan oleh pemberitaan CNN atau analisis Bloomberg, melainkan oleh mereka yang masih mampu membaca “tanda-tanda langit”, mereka yang memahami bahwa gempa politik, krisis ekonomi, dan peperangan ideologi bukanlah peristiwa acak, melainkan denyut nadi sejarah yang sedang bergerak menuju takdirnya.

Ketika dunia berteriak bahwa semuanya kebetulan, kitalah yang harus bersikeras: Tidak, ini semua adalah bagian dari Rencana-Nya.

Maka, tugas kita bukan lagi sekadar mengkritik atau mendekonstruksi, melainkan menjadi saksi kebenaran di tengah dunia yang sengaja dibuat buta terhadapnya.

Sebab, jika sejarah memang acak, maka nubuat adalah omong kosong. Tapi jika sejarah bergerak menuju akhir yang telah ditetapkan, sebagaimana keyakinan kita, maka setiap detik kehidupan ini adalah bagian dari persiapan menghadapi pertemuan besar dengan takdir itu.

Karena itu, pertanyaan terakhir bukan lagi, “Apa yang media katakan?” melainkan “Sudah siapkah kita menyambut apa yang langit telah nubuatkan?

Epilog: Jiwa yang Tenang dalam Badai Sejarah

Di ujung zaman ini, yang dibutuhkan bukanlah tafsir yang membius, melainkan yang membangunkan. Bukan metafora yang menenangkan, melainkan iman yang menggerakkan.

Karena bumi yang retak tidak bisa diperbaiki dengan puisi. Gaza yang hancur bukanlah alegori. Dan Dajjal, entah ia datang sebagai sistem atau manusia, tidak peduli pada perdebatan hermeneutika kita.

Maka, tugas kita bukan lagi memperdebatkan apakah nubuat itu harfiah atau simbolik, melainkan bersiap untuk menghadapinya. Sebab, seperti kata Syekh Imran:

“Ketika langit mulai bergemuruh dan bumi retak, yang bertahan bukanlah mereka yang pandai merangkai metafora, tapi mereka yang berpegang pada janji Allah, bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Nya yang saleh.” (QS. Al-Anbiya: 105).

والله أعلم

MS 18/05/25

(Foto: ilustrasi/IST)

Posted in

BERITA LAINNYA

Anyaman Nipah Peluang Menjanjikan, Dinas KUMKM sebut Sudah Ada Order Dari Magelang

GETARBABELCOM, PANGKALPINANG — Plt. Kepala Dinas KUMKM Prov. Kep. Babel…

“Disuntik” Rp 11,2 Miliar, Ini Peran 2 Tersangka Baru Kasus Suap Pengurusan Perkara di MA

JAKARTA–Tersangka kasus suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA) kembali…

Reaksi Rocky Gerung terkait TikToker Bima : Ini Teror Terhadap Hak Kita Berpendapat

TikToker asa Lampung, Bima Yudho Saputro yang mengkritik provinsinya sendiri…

POPULER

HUKUM

hipk

IPTEK

drone

TEKNOLOGI