Jiwa Yang Tenang Di Tengah Bumi Yang Retak (3):  Perjalanan Jiwa Dalam Narasi Psikologi Spiritual 

images (4)

Oleh : Maman Supriatman || Alumni HMI

Di tengah krisis makna dan fragmentasi kehidupan modern, manusia sering terjebak dalam “retakan” bumi peradaban: kecemasan eksistensial, alienasi spiritual, dan degradasi nilai.

Psikologi spiritual muncul sebagai respons interdisipliner yang menggabungkan kebijakan tradisi spiritual dengan pendekatan psikologis modern.

Artikel ini menawarkan kerangka integratif antara konsep nafs dalam tasawuf (ammarah, lawwamah, mutmainnah) dengan teori psikologi transpersonal (Maslow, Jung, Wilber), sekaligus memperkenalkan Psikologi Spiritual sebagai cabang terapan yang relevan menjawab nestapa manusia modern, sebagaimana dielaborasi oleh Seyyed Hossein Nasr.

Psikologi Spiritual didefinisikan sebagai bidang studi yang mengeksplorasi dinamika jiwa manusia melalui integrasi prinsip-prinsip spiritual (seperti penyucian jiwa/tazkiyah, kesadaran transenden) dengan metodologi psikologis (terapi kognitif, kontemplasi, eksperimen kesadaran).

Fokusnya mencakup:

Penyembuhan holistik: Menyeimbangkan dimensi fisik, emosional, dan spiritual.

Transformasi kesadaran: Dari ego-sentris menuju kosmo-sentris.

Pencarian makna transenden: Menghubungkan pengalaman individu dengan realitas metafisik.

Metode operasionalnya meliputi praktik seperti dzikir terstruktur, meditasi sufistik, refleksi eksistensial ala logoterapi Frankl, serta eksplorasi shadow self Jungian.

Dalam Islam, pendekatan ini selaras dengan konsep ihsan (kesadaran akan kehadiran Ilahi) dan muraqabah (pengawasan diri). 

Seperti kata Al-Ghazali: “Jalan menuju Allah adalah jalan penyucian jiwa; barangsiapa tidak menyucikan jiwanya, ia terhalang dari kebenaran meskipun ia banyak berilmu.”

Perjalanan Jiwa Menuju Insan Kamil: Titik Temu Psikologi dan Tasawuf

Setiap manusia berjalan menempuh lorong waktu, dari buaian hingga liang lahat. Namun, tidak semua yang menua menjadi dewasa, dan tidak semua yang dewasa menjadi utuh jiwanya.

Dalam tradisi Islam, terutama dalam tasawuf, dikenal konsep perjalanan jiwa melalui tingkatan nafs: dari nafs ammarah (jiwa yang memerintah kepada kejahatan), menuju nafs lawwamah (jiwa yang mencela), hingga mencapai nafs mutmainnah (jiwa yang tenang).

Ini bukan sekadar transformasi moral, melainkan perjalanan menuju insan kamil: manusia paripurna dalam pandangan Allah.

Namun, apakah perjalanan spiritual ini selaras dengan perjalanan usia dan perkembangan psikologis manusia? Apakah proses menjadi jiwa yang tenang adalah buah alami dari menjadi tua? Ataukah ia adalah hasil dari kesadaran yang diperjuangkan?

Dalam teori perkembangan psikologi Erik Erikson, masa awal kehidupan ditandai oleh krisis seperti trust vs mistrust dan autonomy vs shame.

Seorang anak hidup dalam dunia yang serba egosentris. Ini sejalan dengan nafs ammarah, di mana dorongan insting, syahwat, dan ego mendominasi jiwa.

Tanpa bimbingan dan lingkungan yang menanamkan nilai, seseorang bisa terjebak dalam fase ini hingga dewasa, menjadi tua dalam tubuh, tapi tetap kanak-kanak dalam nafsu.

Ketika seseorang menginjak remaja, ia mulai mengalami konflik batin. Dalam psikologi, ini adalah fase identity vs role confusion, pencarian jati diri. Remaja mulai mengenal rasa bersalah, malu, dan idealisme moral.

Jiwa mulai mencela dirinya sendiri, muncul kesadaran untuk menimbang tindakan. Ini adalah wilayah nafs lawwamah, jiwa yang bergulat antara cahaya dan gelap.

Jika pada fase ini seseorang dibimbing, melalui pendidikan, spiritualitas, atau krisis eksistensial, ia bisa naik ke tahap berikutnya. Jika tidak, ia bisa terombang-ambing dalam kebingungan batin hingga dewasa.

Memasuki dewasa awal hingga usia matang, manusia menghadapi tantangan seperti membangun hubungan, mencari makna hidup, dan menggapai integritas batin.

Erikson menyebut ini sebagai fase intimacy vs isolation dan integrity vs despair. Bila seseorang telah melalui berbagai luka, kegagalan, dan perenungan, maka jalan menuju nafs mutmainnah terbuka: jiwa yang tenang, lapang, dan pasrah. Ia tidak lagi diperbudak dunia, tapi justru menjadikan dunia sebagai ladang pengabdian.

Namun ketenangan jiwa tidak otomatis hadir bersama uban. Usia hanyalah angka; kematangan adalah hasil dari suluk, yakni perjalanan rohani yang penuh kesadaran, riyadhah, dan muhasabah.

Di sinilah titik temu antara psikologi dan tasawuf: keduanya mengakui bahwa kematangan jiwa adalah proses, bukan pemberian. 

Al-Ghazali menyatakan, “Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya,” yang menjadi dasar perjalanan batin ini.

Dalam tradisi tasawuf, tujuan akhir dari perjalanan ini adalah insan kamil: manusia yang telah menapaki jalan fana’ (melepaskan ego) dan baqa’ (menyatu dalam Kehendak Ilahi).

Al-Jilli dalam karyanya Al-Insan al-Kamil menyebut insan kamil sebagai cerminan sempurna dari Sifat-sifat Allah, manusia yang menjadi jembatan antara langit dan bumi.

Sufisme tidak menolak teori psikologi modern. Sebaliknya, ia memperdalamnya dengan menyatakan bahwa krisis identitas atau kegelisahan eksistensial adalah panggilan jiwa untuk kembali kepada Tuhan.

Maslow menyebut aktualisasi diri sebagai puncak hierarki kebutuhan manusia. Sufisme melampauinya: bukan hanya aktualisasi diri, tapi peleburan diri dalam cinta dan makna Ilahi.

Perjalanan dari ammarah ke mutmainnah adalah perjalanan dari kepalsuan menuju kejujuran batin, dari reaktif ke reflektif, dari gelisah ke tenang. 

Ia bisa berlangsung seumur hidup, atau hanya dalam hitungan tahun, tergantung kesungguhan. Sebab waktu tidak menyucikan jiwa, hanya kesadaran dan mujahadah yang bisa.

Maka di setiap usia, pertanyaannya bukan lagi “sudah berapa tua aku?”, tapi “sudah sampai di mana jiwaku?”

*Nafs Mutmainnah: Solusi atas Nestapa Modernitas*

Tahap tertinggi ini bukan sekadar aktualisasi diri (Maslow), melainkan transendensi yang menghubungkan manusia dengan kosmos. 

Di sini, Psikologi Spiritual berperan sebagai jembatan antara sains dan agama, memanfaatkan praktik seperti meditasi sufistik untuk mencapai nondual consciousness (Wilber).

Seyyed Hossein Nasr menegaskan bahwa krisis ekologis, psikologis, dan sosial zaman ini bersumber pada amnesia spiritual, pemisahan diri dari hakikat transenden. Psikologi Spiritual, dengan akar tasawuf dan kedalaman psikoanalisis, menawarkan solusi:

Resakralisasi kehidupan: Mengembalikan dimensi spiritual dalam praktik sehari-hari, seperti kerja sebagai ibadah (ihsan).

Terapi berbasis ma’rifah: Menggunakan kontemplasi sifat-sifat Ilahi (Asmaul Husna) untuk memulihkan keseimbangan neurokimia dan spiritual.

Pendidikan kesadaran holistik: Integrasi kurikulum psikologi transpersonal dengan tradisi pesantren atau suluk.

Sebagaimana dikatakan Malik Badri dalam _Contemplation: An Islamic Psychospiritual Study:_ “Krisis psikologis modern terletak pada kelalaian manusia terhadap jiwanya. Jiwa bukanlah produk sampingan dari tubuh, tetapi amanah Ilahi yang ditempatkan di dalamnya.” 

Maka untuk menyembuhkan jiwa manusia modern, pendekatannya harus kembali menyentuh dimensi ketuhanan yang dilupakan.

Epilog: Jiwa yang Menemukan Rumahnya

Bumi ini retak. Setiap jengkalnya menganga oleh parang perang, mengerang oleh racun limbah, mengeluh oleh jeritan ketimpangan. 

Tapi dari celah-celah tanah yang pecah itu, akar-akar jiwa justru menjalar, mencari air kehidupan yang tak pernah kering, meski permukaan dunia mengeras menjadi gurun.  

Di tengah puing-puing peradaban yang memuja logika tetapi membunuh makna, jiwa manusia tetap menggenggam rahasia purba: bahwa retakan bukan akhir, melainkan pintu. 

Seperti cahaya fajar yang menyusup lewat celah kaca pecah, nestapa modern—kegelisahan eksistensial, kesepian di tengah keramaian digital, luka-luka tak kasatmata—justru menjadi jalan masuk menuju penemuan diri. 

Di situlah Psikologi Spiritual berdiri: bukan sebagai pelipur lara, tapi sebagai peta navigasi yang menuntun jiwa melintasi gurun ammarah (nafsu yang membara), mendaki tebing lawwamah (pertarungan batin), hingga sampai di dataran mutmainnah—tempat jiwa yang tenang bersemayam, menyatu dengan langit, meski kaki tetap menginjak bumi yang rekah.  

Rumi mungkin akan tersenyum: “Setiap luka adalah tempat cahaya-Mu masuk.” Tapi jiwa-jiwa yang terlatih dalam suluk tahu—luka itu sendiri adalah cahaya. Di puncak perjalanan, retakan-retakan dunia tak lagi dilihat sebagai kubangan air mata, melainkan cermin yang memantulkan Asmaul Husna. 

Manusia bukan lagi tawanan retakan, ia menjadi retakan itu sendiri—celah di mana Langit dan Bumi berbisik, di mana transendensi dan imanensi bersatu.  

Lihatlah, di jantung kota-kota yang terfragmentasi oleh kesibukan palsu, di balik layar-layar yang memenjarakan kesadaran, jiwa-jiwa yang telah mencapai mutmainnah justru menjadi oase diam. Mereka tidak lari dari dunia, tapi menyulam retakan-retakannya dengan benang-benang dzikir. 

Mereka tidak menolak krisis, tapi mengubahnya menjadi mihrab—tempat berdialog dengan Sang Mutlak. Bekerja, mencinta, berjuang—semua menjadi ritual pengabdian, gerakan tai chi antara kehendak insani dan Takdir Ilahi.  

Psikologi Spiritual mengajari kita: krisis terbesar bukanlah bumi yang retak, tapi jiwa yang lupa cara merangkai pecahan-pecahannya menjadi Mosaik Ilahi. 

Malik Badri mengingatkan: “Keterputusan dari Sang Sumber adalah sumber segala nestapa.” Maka, di sini, sekarang, di zaman yang pongah tapi rapuh ini, setiap jiwa dipanggil untuk menjadi seniman—mengumpulkan serpihan-serpihan diri, menyusunnya kembali dalam pola-pola yang memantulkan cahaya ma’rifah.  

“Wahai jiwa yang tenang…” seru Sang Maha di ujung waktu. Suara itu menggema melalui retakan-retakan zaman, melalui getar jantung yang terluka, melalui sunyi malam-malam tanpa kepastian. 

Kembalilah, bukan dengan lari, tapi dengan merangkak lebih dalam ke inti diri. Bukan dengan menutup mata, tapi dengan melihat retakan sebagai jalan.  

Di puncak perjalanan, jiwa yang mutmainnah itu tersenyum: ia tak lagi bertanya “mengapa bumi retak?”, karena di setiap pecahan, ia membaca ayat-ayat tentang keindahan yang tak sempurna, tentang rahmat yang turun justru melalui ketidaksempurnaan. 

Ia tegak bukan di luar retakan, tapi di dalamnya—menjadi saksi bisu bahwa kehancuran pun bisa menjadi medium tarian cahaya. Maka, biarlah bumi tetap retak. Jiwa yang telah pulang akan menemukan: di setiap celah, ada tangan Tuhan yang menggapai.

Glosarium Psikologi Spiritual

Aktualisasi Diri (Maslow): Pemenuhan potensi tertinggi manusia yang dalam sufisme dilampaui oleh transendensi spiritual (fana’ dan baqa’).

Asmaul Husna: Nama-nama Allah yang menjadi dasar terapi kontemplatif untuk penyembuhan jiwa, merujuk QS. Al-A’raf: 180.

Baqa’: Keberlangsungan jiwa dalam Kehendak Ilahi setelah meleburkan ego (fana’), tahap akhir perjalanan sufistik.

Dzikir Terstruktur: Praktik mengingat Allah secara sistematis, menggabungkan lisan, hati, dan tindakan (QS. Al-Ahzab: 41).

Egosentris: Fase perkembangan awal manusia yang paralel dengan dominasi nafs ammarah (jiwa yang dipimpin hawa nafsu).

Fana’: Peleburan ego dalam kesadaran Ilahi, tahap awal menuju penyatuan spiritual (baqa’).

Ihsan: Kesadaran akan kehadiran Tuhan dalam setiap tindakan, inti dari psikologi spiritual Islam (Hadis Jibril).

Insan Kamil: Manusia paripurna yang merefleksikan sifat-sifat Ilahi melalui penyucian jiwa (tazkiyah).

Kosmo-Sentris: Kesadaran holistik yang melampaui kepentingan diri, terkait dengan teori kesadaran nondual (Wilber).

Logoterapi (Frankl): Terapi pencarian makna hidup, yang dalam Islam diintegrasikan dengan konsep sabar dan tawakal.

Ma’rifah: Pengetahuan hakiki tentang Tuhan melalui pengalaman batin, tujuan tertinggi tasawuf (Al-Ghazali).

Meditasi Sufistik: Kontemplasi untuk mencapai ketenangan jiwa, seperti muraqabah (merasa diawasi Allah) atau khulwah (menyepi).

Mihrab: Simbol ruang dialog dengan Yang Ilahi, baik secara fisik (ceruk masjid) maupun metaforis (kedalaman hati).

Muraqabah: Kesadaran konstan akan pengawasan Allah, mirip mindfulness namun dengan dimensi transendental.

Nafs Ammarah: Jiwa yang dikuasai nafsu dan impuls destruktif (QS. Yusuf: 53), perlu diintegrasikan melalui tazkiyah.

Nafs Lawwamah: Jiwa yang mulai kritis terhadap kesalahan diri (QS. Al-Qiyamah: 2), fase pertumbuhan moral.

Nafs Mutmainnah: Jiwa tenang yang mencapai kepasrahan spiritual (QS. Al-Fajr: 27-30), puncak perkembangan insani.

Nondual Consciousness (Wilber): Kesadaran yang melampaui dikotomi subjek-objek, sejalan dengan wahdat al-wujud dalam tasawuf.

Psikologi Transpersonal: Studi tentang pengalaman spiritual dan kesadaran tertinggi, menghubungkan sains dan agama.

Resakralisasi: Mengembalikan makna sakral pada kehidupan sekuler, solusi krisis modern (Seyyed Hossein Nasr).

Riyadhah: Latihan spiritual intensif (puasa, dzikir) untuk mentransformasi kebiasaan buruk menjadi akhlak mulia.

Shadow Self (Jung): Bagian kepribadian yang ditolak, perlu diintegrasikan untuk mencapai keutuhan psikis (individuasi).

Suluk: Perjalanan spiritual terstruktur dalam tasawuf, mirip psikoterapi eksistensial yang berfokus pada pencarian makna.

Tazkiyah al-Nafs: Penyucian jiwa dari sifat buruk menuju ketenangan mutmainnah (QS. Asy-Syams: 9-10).

Terapi Berbasis Ma’rifah: Pendekatan penyembuhan dengan kontemplasi sifat-sifat Ilahi (Asmaul Husna).

Metafora Kunci

Bumi yang Retak: Krisis peradaban modern akibat keterpisahan dari spiritualitas.

Celah Langit-Bumi: Titik temu transendensi dan imanensi dalam pengalaman spiritual.

Gurun Ammarah: Perjalanan jiwa melalui fase nafsu yang gersang.

Jembatan Langit-Bumi: Peran insan kamil sebagai mediator nilai ilahi dan manusiawi.

Krisis Eksistensial: Panggilan jiwa untuk kembali pada makna transenden.

Kubangan Air Mata: Penderitaan sementara yang membersihkan hati.

Ladang Pengabdian: Dunia sebagai medan praktik spiritual.

Mosaik Ilahi: Penyatuan serpihan hidup menjadi pola bermakna.

Oase Diam: Ketengan batin di tengah chaos modern.

Peta Navigasi Jiwa: Psikologi spiritual sebagai penuntun perjalanan batin.

Retakan sebagai Jalan: Krisis sebagai peluang transformasi.

Seniman Serpihan Diri: Proses rekonstruksi identitas yang terfragmentasi.

Tarian Cahaya: Interaksi dinamis antara ikhtiar dan takdir.

Tebing Lawwamah: Tantangan evaluasi diri dalam pertumbuhan spiritual.

والله أعلم

MS 21/04/25

(Foto: ilustrasi/iSR)

Posted in

BERITA LAINNYA

Wamen Dikti Saintek Tinjau Calon Lokasi SMA Unggul Garuda di Bangka, Terkesan Keindahan Pantai Rambak

GETARBABEL.COM, BANGKA –– Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi…

45 Anggota DPRD Babel Dilantik

GETARBABEL.COM, PANGKALPINANG – Sebanyak 45 anggota DPRD Kepulauan Bangka Belitung…

Dua Kelompok Gengster Terlibat Tawuran dan Bawa Sajam, 8 Remaja Diamankan Polisi

GETARBABEL.COM, BANGKA — Tim Opsnal Satreskrim Polres Bangka dan Unit…

POPULER

HUKUM

hipk

IPTEK

drone

TEKNOLOGI