Polres Bangka Rayakan HUT ke-73 Humas Polri dengan Donor Darah, Kumpulkan 26 Kantong
By beritage |
GETARBABEL.COM, BANGKA — Dalam memperingati HUT ke-73 Humas Polri, Polres…
Friday, 4 July 2025
Oleh: Maman Supriatman || Alumni HMI
Untuk mempersiapkan perahu sebelum badai, tidak mungkin hanya dengan mempersoalkan metafora perahu, kita harus benar-benar membangunnya.
SALAH satu karakter pemikiran Islam modern adalah kecenderungannya untuk mengalihkan tokoh-tokoh kunci akhir zaman (Dajjal, Imam Mahdi, Ya’juj dan Ma’juj, serta Nabi Isa) ke dalam wilayah simbolisme moral, sosiologis, atau ideologis.
Tafsir semacam ini, meskipun tampak progresif dan kontekstual, pada kenyataannya dapat berujung pada dekontekstualisasi strategis terhadap skenario akhir zaman sebagaimana dipandu oleh al-Qur’an dan Hadits.
“Bocor Alus” Tafsir Simbolik
Dalam kerangka rasionalisasi agama pascakolonial, Eskatologi Islam sering kali direduksi menjadi simbol moral atau etika.
Tokoh-tokoh profetik seperti Dajjal, Imam Mahdi, dan Ya’juj–Ma’juj ditafsirkan sebagai alegori: Dajjal sebagai simbol ideologi sekuler, Mahdi sebagai gerakan sosial, dan Ya’juj–Ma’juj sebagai metafora ekspansi teknologi atau kapitalisme global.
Namun pendekatan ini dikritik keras oleh Syekh Imran Hosein dalam Jerusalem in the Qur’an (2001), khususnya dalam lampiran yang menanggapi tafsir simbolik. Ia menulis:
“Sungguh mengherankan bahwa bahkan seorang pemikir besar seperti Iqbal terjebak dalam penyangkalan terhadap realitas kembalinya Nabi Isa… Ini adalah akibat tragis dari penyerahan otoritas epistemologis kepada rasionalisme modern Barat” (hlm. 256).
Menurutnya, tokoh-tokoh eskatologis bukanlah simbol abstrak, melainkan entitas nyata dalam sejarah akhir zaman. Menolak eksistensi fisik mereka sama saja dengan menolak petunjuk strategis nubuwat.
Ia juga mengkritik Ibnu Khaldun karena menolak hadis-hadis akhir zaman berdasarkan metode “ilmiah” rasional modern, yang menurutnya merupakan pelepasan dari otoritas kenabian.
Syekh Imran menegaskan bahwa Dajjal adalah kekuatan riil yang beroperasi melalui sistem global: perbankan ribawi, media internasional, kekuatan militer Barat, serta institusi politik dunia.
Ya’juj–Ma’juj tidak dipahami secara etnologis, tetapi sebagai blok kekuatan global dari kawasan Eropa–Eurasia yang membentuk tatanan sekuler menjelang kehancuran.
“Those who insist on symbolic interpretation rob the Qur’an and Hadith of their strategic function in guiding the Ummah through the trials of Akhir al-Zaman” (hlm. 257).
“Mereka yang bersikeras pada penafsiran simbolik telah merampas fungsi strategis al-Qur’an dan Hadis dalam membimbing umat melewati ujian di akhir zaman.”
Diskursus Eskatologi Islam kini didominasi dua pendekatan: literal-konservatif dan simbolik-modernis. Pendekatan simbolik, yang dipengaruhi hermeneutika Barat, menafsirkan Dajjal, Mahdi, dan Isa Al-Masih secara alegoris.
Nubuwat dipahami sebagai refleksi moral, bukan roadmap geopolitik akhir zaman.
Fazlur Rahman, dengan double movement theory-nya, menekankan pentingnya rekonstruksi moral dari teks Qur’ani:
‘The Quran must be understood as a historically contextualized text whose moral vision is to be reconstructed in every age.” (Islam and Modernity, 1982).
Namun, pendekatan ini membuka ruang bagi rasionalisme reduktif. Dajjal hanya dipahami sebagai simbol dominasi kapitalisme atau dekadensi moral. Ini memutus hubungan antara wahyu dan realitas strategis akhir zaman.
Mohammed Arkoun melangkah lebih jauh dengan membongkar otoritas tafsir tradisional:
“The dogmatic closure of meaning in traditional exegesis has blocked the Qur’an from engaging in new fields of signification.” (Rethinking Islam, 1994).
Menurut Arkoun, kisah Dajjal, Ya’juj & Ma’juj, dan Mahdi hanyalah narasi mitologis masa lalu yang harus direkonstruksi secara kritis.
Akibatnya, nubuwat tidak lagi dipandang sebagai sinyal masa depan, melainkan sekadar ekspresi budaya masa lampau.
Syekh Imran menolak keras pendekatan simbolik seperti ini. Baginya, pengingkaran terhadap aspek ghaib berarti menafikan dimensi paling mendasar dari nubuwat.
Simbolisme modern gagal memahami struktur profetik secara utuh, ia hanya menyisakan wacana etika tanpa orientasi geopolitik. Umat pun kehilangan roadmap untuk membaca krisis Palestina, hegemoni NATO, atau dominasi Zionisme dalam konteks nubuwat.
Simbolisme modernis, jika tak diiringi pengakuan terhadap dimensi ghaib dan literal, akan jatuh pada dekonstruksi tanpa rekonstruksi. Ia membongkar iman, namun tak membangunnya kembali.
Dalam dunia yang retak oleh krisis nilai dan kehilangan arah, ini bukan solusi, melainkan keretakan epistemologis yang lebih dalam.
Kritik terhadap simbolisme modernis tidak berarti menolak tafsir kontekstual, tetapi menuntut integrasi antara iman kepada yang ghaib, pemahaman literal, dan konteks sejarah.
Di sinilah kekuatan pendekatan tekstual–kontekstual yang ditawarkan Syekh Imran (1942– ), yang menolak dikotomi konservatisme tradisional vs liberalisme akademik.
Tafsir simbolik menjadi berbahaya jika:
Menyingkirkan dimensi geopolitik dari nubuwat.
Memutus kesinambungan antara teks dan realitas.
Menggiring pada sekularisasi wahyu dengan akal Barat sebagai penafsir utama.
Dalam konteks ini, umat Islam bukan lagi subjek profetik, melainkan korban simbolisme yang dikendalikan epistemologi asing.
Tafsir simbolik bukan hanya lahir dari dunia yang retak, ia juga penyebab keretakan itu. Ia lahir dari jiwa yang tercerabut dari iman kepada yang ghaib, lalu memperburuknya dengan mencairkan batas antara metafora dan realitas.
Bumi retak karena manusia enggan membaca tanda langit; jiwa retak karena lebih percaya pada alegori ketimbang nubuwat.
Ketika Dajjal direduksi menjadi simbol abstrak, atau Ya’juj–Ma’juj hanya kiasan, wahyu kehilangan taringnya, dan jiwa kehilangan kompasnya.
Dari Simbolik ke Profetik: Jalan Rekonstruksi
Rekonstruksi pemahaman akhir zaman harus dimulai dari pengakuan bahwa wahyu bukanlah kumpulan metafora kosong, tetapi petunjuk profetik konkret.
Tafsir simbolik boleh jadi menggugah, tetapi tanpa akar pada realitas nubuwat, ia menjauhkan umat dari kesiapan spiritual dan geopolitik.
Berikut langkah-langkah menuju rekonstruksi:
Eskatologi bukanlah soal ketakutan, tapi navigasi. Ia adalah GPS umat dalam badai sejarah.
Imam Mahdi, Dajjal, Nabi Isa, dan Ya’juj–Ma’juj bukan ide. Mereka adalah bagian dari rencana Ilahi yang menuntut iman dan kesiapan.
Tafsir harus menyatu antara teks, konteks, dan horizon profetik. Kita tidak hanya membaca realitas, tapi juga membaca nubuwat tentang realitas.
Rasionalisme modern tidak berhak menyaring apa yang layak dipercaya dari wahyu. Wahyu bukan objek verifikasi akal, tapi subjek kebenaran tertinggi.
Simbol dalam tasawuf bukan untuk melemahkan literalitas, tapi memperdalam makna. Jiwa yang tenang mengenali tanda-tanda langit melalui qalb yang tercerahkan.
Epilog: Jiwa yang Tenang, Dunia yang Retak
Dalam dunia yang retak ini, tafsir simbolik menawarkan kenyamanan, tapi bukan kebenaran. Ia memeluk puisi dan menolak nubuwat. Namun, jiwa yang benar-benar tenang tak mencari penghiburan simbolik, melainkan kekuatan profetik.
Dunia ini bukan dongeng. Dajjal bukan fiksi. Gaza bukan metafora. Nubuwat adalah realitas yang mendekat.
Saat yang ghaib mengetuk pintu sejarah, kita harus siap membuka bukan dengan tafsir, tapi dengan iman. Sebab, yang akan menang di akhir zaman bukan yang paling simbolik, tapi yang paling profetik.
Tafsir simbolik adalah pengakuan tersirat bahwa kita tak sanggup lagi menghadapi kebenaran yang keras, maka kita bungkus dengan simbol, seperti menyembunyikan luka di balik kain sutra.
Tapi bumi yang retak tak bisa diperbaiki dengan metafora. Jiwa yang retak tak bisa disembuhkan dengan kiasan.
Keduanya membutuhkan kepastian, bahwa yang ghaib itu nyata, bahwa janji Allah bukan permainan bahasa. Tanpa itu, kita hanya berjalan di atas pecahan-pecahan, sambil berpura-pura itu adalah mozaik kebenaran.
Mengapa kau ubah nubuat menjadi puisi? Musuh nyata sedang mendekat, dan kau sibuk merangkai metafora. Bagaimana kau ubah genosida Gaza menjadi metafora genosida?
Maka mari kita berhenti sejenak untuk merenungkan pertanyaan esensial ini:
Jika Dajjal muncul hari ini dengan segala ilusi pesonanya, apakah kita masih sanggup mengenalinya, atau seperti banyak orang di sekeliling kita, menyambutnya dengan penuh sukacita?
Mengatasi Metafora dengan Metafora
Metafora bukan jubah cahaya.
Ia mungkin bisa menutup luka, tapi tidak menyembuhkan.
Jika ia menyamarkan musuh jadi bayang-bayang,
maka ia bukan seni, melainkan pelarian.
Metafora, jika jujur, menunjuk pada hakikat.
Bukan menyelundupkan keraguan dalam estetika.
Ia seharusnya membawa jiwa pada langit.
Bukan menjatuhkan iman ke lubang simbol.
Tapi hari ini,
dimbol dipakai menolak yang ghaib,
Kiasan jadi tameng menolak janji Tuhan,
Maka izinkan aku mengembalikan puisi
Ke fungsinya yang mula:
Menunjuk yang tak terlihat,
tanpa menafikan keberadaannya.
Dajjal bukan imajinasi.
Ia tak bersembunyi dalam sajak.
Ia berdiri di panggung politik dunia
dengan mata satu dan tawa media.
Ya’juj dan Ma’juj tak menari di metafora.
Mereka menggerakkan blok kekuatan nyata.
Mereka membelah bumi dengan besi dan algoritma.
Maka kuangkat metafora bukan untuk menipu,
tapi untuk meruntuhkan metafora palsu.
Agar terang kembali menyinari makna.
Dan iman tak lagi sembunyi di balik kata.
Aku lelah pada tafsir yang membius,
pada akal yang mengira dirinya langit.
Kau sangka simbol akan menyelamatkanmu?
Tapi api tak peduli pada metafora,
ia tetap membakar.
Jiwa yang tenang tak butuh metafora.
Ia mengenali angin sebelum badai.
Ia tahu, yang ghaib bukan puisi,
tapi panggilan untuk bangun.
Karena saat dunia ini retak sempurna,
yang kau butuhkan bukan kiasan,
tapi kompas dari nubuwat yang nyata,
dan jiwa yang tak takut pada kenyataan.
والله أعلم
MS 17/05/25
(Foto: ilustrasi/IST)
Posted in SOSBUD
GETARBABEL.COM, BANGKA — Dalam memperingati HUT ke-73 Humas Polri, Polres…
GETARBABEL.COM, BANGKA- Kegiatan sosialiaasi pembinaan dan pemberdayaan organisasi kemasyarakatan (Ormas)…
GETARBABEL.COM, BANGKA – Pasca kesepahaman damai kedua belah pihak yang…
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sejumlah ASN…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sungguh miris…
GETARBABEL.COM, BANGKA- Kawasan hutan seluas…