Umardani Sanjaya, Tokoh Muhammadiyah Babel Tutup Usia
By beritage |
SUNGAILIAT–Keluarga besar Muhammadiyah berduka. Setelah berjuang melawan sakitnya akibat kecelakaan…
Monday, 30 June 2025
Oleh: Maman Supriatman || Alumni HMI
“Buku ini hadir pada waktu yang tepat dan sangat diperlukan; sebuah kebangkitan kembali kesadaran eskatologis yang telah lama terkubur di bawah lapisan pemikiran modernis.”
Buku “Jerusalem in the Qur’an” karya Syekh Imran N. Hosein bukanlah sekadar buku tafsir tematik atau spekulasi geopolitik, melainkan sebuah karya intelektual monumental yang menjawab dua tantangan besar sekaligus: eksternal dan internal.
Buku ini, yang pertama kali diterbitkan sebagai e-book pada tahun 2001 dan dalam bentuk buku pada 2002, hingga kini tetap menjadi rujukan utama dalam Eskatologi Islam, dan telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia.
Menjawab Tantangan Eksternal: Membantah Klaim Zionis
Secara eksternal, buku ini merupakan respons langsung terhadap artikel Daniel Pipes yang dimuat dalam The New York Times pada 21 Juli 2000, berjudul “Jerusalem Means More to Jews Than to Muslims”.
Dalam artikel tersebut, Pipes mengklaim bahwa umat Yahudi lebih berhak atas Jerusalem dibandingkan umat Islam. Dua alasan utama yang diajukannya adalah:
Pertama, kata “Jerusalem” tidak satu pun disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an. Kedua, tidak terdapat doa khusus dalam peribadatan wajib umat Islam yang menyebut Jerusalem secara eksplisit.
Dengan dua argumen tersebut, Pipes berusaha membangun narasi bahwa keterkaitan spiritual Islam terhadap Jerusalem hanyalah konstruksi politik belaka dan tidak bersifat teologis.
Namun, Syekh Imran dengan tegas membongkar argumen ini melalui pendekatan Al-Qur’an yang mendalam, terutama dengan menganalisis surat Al-Isra’ yang dimulai dengan peristiwa Isra’ Mi’raj.
Dalam surat ini terdapat referensi tentang “qaryah” (kota, negeri) yang dihancurkan Allah akibat kezaliman.
Pada bab “Tersingkapnya Selubung Yerusalem”, Syekh Imran sampai pada kesimpulan bahwa “qaryah” itu adalah Yerusalem, karena tidak ada qaryah lain yang terhubung dengan Ya’juj dan Ma’juj, selain Yerusalem (QS. Al-Isra: 95-96).
Syekh Imran menyatakan bahwa Ya’juj dan Ma’juj inilah yang setelah dibuka temboknya yang dibangun oleh Dzulqarnain sebagaimana diabadikan dalam Surat Al-Kahfi, kemudian membentuk aliansi Yudeo-Kristen Eropa, yang melahirkan zionisme.
Merekalah yang kemudian membawa orang Yahudi ke Palestina, terutama setelah Holocaust (misi pertama Dajjal) sebagai persiapan bagi pendirian negara Israel 1948 (misi kedua).
Apa yang saat ini terjadi di Gaza, adalah untuk memenuhi misi ketiga dan terkahir, agar orang Yahudi menerimanya sebagai al-masih, yaitu menjadikan Israel sebagai penguasa dunia baru menggantikan Amerika, Pax Judaica.
Inilah esensi “Jerusalem in the Qur’an”, berdasarkan Surat Al-Isra Ayat 95-96.
(Syekh Imran memilih frasa Yerusalem bukan Palestina, karena buku ini dimaksudkan juga untuk menjangkau pembaca non- Muslim).
Dalam konteks ini, Jerusalem bukan hanya disebut dalam Al-Qur’an secara implisit, melainkan menjadi pusat dari narasi besar akhir zaman.
Dengan demikian, klaim Daniel Pipes dipatahkan bukan hanya secara argumentatif, tetapi juga secara spiritual dan profetik.
Menjawab Tantangan Internal: Koreksi atas Warisan Modernisme Islam
Secara internal, buku ini menyasar kalangan intelektual Muslim yang selama ini terpengaruh oleh pemikiran simbolik seperti yang ditemukan dalam karya Ibnu Khaldun (Muqaddimah) dan Muhammad Iqbal (The Reconstruction of Religious Thought in Islam).
Kedua tokoh ini secara eksplisit menolak eksistensi fisik tokoh-tokoh eskatologis seperti Imam Mahdi, Dajjal, dan Nabi Isa AS. Penolakan ini kemudian menjadi fondasi bagi banyak pemikir modernis Muslim setelah mereka, seperti Muhammad Abduh, Fazlur Rahman, Harun Nasution, hingga Nurcholish Madjid.
Berikut beberapa paragraf kutipan langsung:
“Buku ini juga mencoba untuk menjangkau mereka yang dipengaruhi oleh tulisan Dr. Muhammad Iqbal (Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam) dan oleh tulisan Ibnu Khaldun (Mukaddimah) yang keduanya menolak keyakinan akan datangnya Imam Mahdi.”
“Ketika menolak keyakinan tersebut, kedua cendekia Islam yang terkenal tersebut telah melakukan kesalahan yang sangat besar. Khususnya untuk Dr. Iqbal, tampaknya dia juga menolak keyakinan akan kembalinya kekhalifahan, kedatangan Dajjal, al-Masih palsu, dan kembalinya Al-Masih Asli, Isa putra Maryam.”
“Ibnu Khaldun dan Iqbal adalah dua orang cendekia yang mempunyai reputasi yang sangat baik sehingga seseorang harus berpikir lagi dan lagi sebelum membuat komentar yang mengkritisi pemikiran mereka.”
“Tetapi pemahaman yang benar mengenai dasar proses sejarah terkait dengan kedatangan Al-Masih sesungguhnya bisa menyelamatkan mereka dari kesalahan yang apa boleh buat sudah terjadi…”
“Pemahaman yang benar…akan menyelamatkan Ibnu Khaldun dari kesalahan serius dan berbahaya yang menolak semua hadis mengenai Imam Al-Mahdi, dan akan menyelamatkan Iqbal dari pengulangan dan penumpukan kesalahan Ibnu Khaldun.”
(Imran N. Hosein, Yerusalem dalam Al-Qur’an. Penerbit Sabiq, Depok; 2014: 359-361).
Akibatnya, wacana pemikiran Islam modern didominasi oleh penafsiran simbolik yang menyingkirkan narasi akhir zaman dari wilayah keilmuan yang serius.
Padahal, sebagaimana ditegaskan Syekh Imran, tanpa pemahaman akan peta besar eskatologis Islam, umat akan kehilangan orientasi dalam memahami realitas global.
Buku ini bukan sekadar mengoreksi kekeliruan tersebut, melainkan membalik fondasi berpikirnya: bahwa sejarah, geopolitik, dan spiritualitas Islam harus dilihat dari kacamata nubuwat dan wahyu, bukan semata logika rasionalisme modern.
Best Practice Intelektual tentang Palestina
Dalam dunia pemikiran Islam modern, hampir tidak ada satu pun karya yang berhasil menyuguhkan jawaban komprehensif terhadap persoalan Palestina, baik dari aspek historis, geopolitik, maupun eskatologis, sekuat dan setegas “Jerusalem in the Qur’an.”
Ia tidak hanya menempatkan Al-Qur’an sebagai landasan utama, tetapi juga menghidupkan kembali nalar profetik yang telah lama terkubur oleh oleh arus modernisme Islam.
Dalam pengantar anonim edisi internet 2001, dinyatakan:
“This book is perhaps the first systematic exposition of the subject of Jerusalem in the Qur’an in the context of modern geopolitics, offering both a response to external Zionist claims and a correction to internal Muslim confusion about the End Times.”
(Buku ini barangkali merupakan eksposisi sistematik pertama tentang tema Jerusalem dalam Al-Qur’an dalam konteks geopolitik modern, yang menawarkan jawaban atas klaim Zionis dari luar dan koreksi atas kebingungan internal umat Islam tentang Akhir Zaman).
Pernyataan ini menegaskan posisi pionir dan keberanian epistemologis buku ini. Ia bukan hanya mengoreksi klaim Yahudi modern, seperti yang dilontarkan Daniel Pipes, melainkan juga membongkar akar dari kebuntuan pemikiran Islam itu sendiri, yang selama ini enggan bersentuhan dengan tema eskatologi secara serius.
Hampir seluruh wacana intelektual tentang Palestina pasca-Perang Dunia II didominasi pendekatan politik, hukum internasional, dan HAM.
Namun buku ini hadir menembus batas itu semua, menunjukkan bahwa tanpa memahami kerangka besar akhir zaman, terutama peran Ya’juj dan Ma’juj serta bangkitnya Dajjal di Tanah Suci, maka semua solusi yang diajukan bersifat sementara dan superfisial.
Oleh karena itu, layak jika buku ini dinobatkan sebagai best practice dalam karya intelektual tentang Palestina.
Ia menyajikan sintesis antara nalar keimanan dan analisis geopolitik, antara tafsir ayat dan membaca realitas global, antara sejarah masa lalu dan nubuwat masa depan.
Ghazwul Fikri dan Ketahanan Nalar Profetik
Dalam perspektif akademik yang jernih, tantangan internal maupun eksternal terhadap umat Islam sejatinya bukan dua medan yang terpisah, melainkan satu wajah dari apa yang oleh banyak ulama disebut sebagai ghazwul fikri, perang pemikiran.
Dari luar, serangan datang dalam bentuk narasi historis dan klaim teologis yang hendak melemahkan legitimasi umat terhadap simbol-simbol sucinya, termasuk Jerusalem.
Dari dalam, serangan itu justru lebih halus, menyusup lewat pemikiran simbolik dan rasionalisme modernis yang perlahan-lahan menghapus dimensi nubuwat dari nalar kolektif umat Islam.
“Jerusalem in the Qur’an” berdiri kokoh di tengah arus ini sebagai benteng intelektual dan spiritual, yang tidak hanya membantah tuduhan dan klaim musuh, tetapi juga membongkar bangunan ideologis yang telah lama bercokol dalam tubuh pemikiran Islam kontemporer.
Buku ini menyadarkan kita bahwa pembelaan terhadap tanah suci tidak bisa dilakukan hanya dengan retorika politik atau diplomasi geopolitik, melainkan harus dimulai dengan pembenahan epistemologi: mengembalikan kesadaran umat kepada peta besar sejarah yang diwariskan Rasulullah SAW.
Inilah sebabnya mengapa buku ini tetap best seller hingga hari ini. Bukan karena popularitas penulisnya, tetapi karena ia menjawab kebutuhan paling mendasar umat: kebutuhan akan peta, arah, dan makna di tengah kekacauan global dan kebingungan internal.
Ia adalah suara kenabian yang menjelaskan masa depan dengan hujjah Al-Qur’an dan Sunnah, bukan dengan asumsi akademik sekuler.
Sebagaimana ditegaskan oleh Prof. Malik Badri dalam pengantarnya:
“Buku ini hadir pada waktu yang tepat dan sangat diperlukan; sebuah kebangkitan kembali kesadaran eskatologis yang telah lama terkubur di bawah lapisan pemikiran modernis.”
Maka membaca “Jerusalem in the Qur’an” bukan sekadar menelusuri lembar demi lembar teks, tetapi menapaki jalan pulang menuju warisan nubuwat.
Epilog: Zionis yang Menjadi Mesianik, Islam yang Menjadi Akademik
Ketika Zionis bertransformasi dari sekuler menjadi mesianik dan mengambil alih narasi profetik demi legitimasi penjajahan, Islam justru terjebak dalam perangkap akademik yang steril dari kesadaran eskatologis.
Ini bukan ironi, tetapi bencana epistemik. Umat yang dahulu dipandu oleh cahaya wahyu kini tersesat dalam cahaya neon laboratorium intelektual modern.
Maka, saat musuh menghidupkan mitos dan nubuwat palsunya untuk membakar dunia, umat ini malah mematikan nubuwat sejatinya dengan dalih ilmiah dan rasionalitas metodologis.
Di tengah bumi yang retak, bukan teori politik atau diplomasi yang akan menjadi jangkar, melainkan kesadaran bahwa sejarah bukanlah siklus netral, melainkan panggung Takdir Ilahi.
Inilah saatnya menghidupkan kembali nalar profetik yang telah lama dibungkam, agar kita tak hanya tahu bahwa Palestina dijajah, tetapi juga kenapa Yerusalem menjadi titik akhir pertarungan antara kebenaran dan kebatilan.
Puisi Pohon Gharqad
Di tanah yang retak oleh sejarah,
Yahudi menanam pohon gharqad berjuta akar,
mengakar di nadi tanah rampasan,
sebuah pohon, tapi bukan sembarang tanaman—
ia hidup dalam nubuat,
berakar dalam firman akhir zaman.
Di sekolah-sekolah mereka,
anak-anak SMA mengaji nubuat kehancuran,
bukan sekadar pelajaran, tapi strategi masa depan.
Mereka membaca hadits dengan mata terbuka,
menghafal sabda Nabi tentang pelindung terakhir
bagi mereka yang lari dari kebenaran.
Sementara itu, di dunia Islam,
kitab akhir zaman ditutup rapat,
pohon gharqad dianggap dongeng pengantar tidur,
hadits-hadits eskatologis dicampakkan seperti debu
di rak perpustakaan yang sunyi,
dan para ulama pun membisu
di hadapan nubuat yang menjerit.
Inilah ironi:
yang menolak nubuwat justru menanamnya,
yang menerimanya malah membuangnya.
Yang seharusnya bersiap, justru tertidur.
Yang seharusnya bangkit, malah menertawakan.
Kini kita berdiri di ambang bencana eskatologis,
bukan karena musuh kita kuat,
tapi karena kita lupa
bahwa nubuwat Nabi akhir zaman bukan mitos,
dan pohon gharqad bukan dongeng atau metafora.
والله أعلم
MS 15/05/25
kFoto: ilustrasi/IST)
Posted in SOSBUD
SUNGAILIAT–Keluarga besar Muhammadiyah berduka. Setelah berjuang melawan sakitnya akibat kecelakaan…
GETARBABEL.COM, BANGKA– Kegiatan musyawarah rencana pembangunan desa (Musrembangdes) Desa Karya…
GETARABABEL.COM, BANGKA SELATAN – Keberhasilan sektor pertanian di Bangka Belitung selain…
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sejumlah ASN…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sungguh miris…
GETARBABEL.COM, BANGKA- Kawasan hutan seluas…