Jiwa Yang Tenang Di Tengah Bumi Yang Retak (2): Ujian Sebagai Jalan Menuju Kedamaian 

images (2)

Oleh : Maman Supriatman || Alumni HMI

Sungguh Kami akan menguji kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155).  

ESAI pertama mengajak kita merenungi hakikat _nafsul muthmainnah_ (jiwa yang tenang) sebagai pusat perlawanan dalam dunia yang retak. Kini, esai kedua dari Serial ini menjawab pertanyaan: Bagaimana ujian justru menjadi jalan untuk menemukan ketenangan jiwa? 

Bukan kebetulan jika Al-Qur’an menyebut ujian sebagai _ibtila’_ (ujian) dan fitnah (cobaan) secara berulang. Ia adalah Sunatullah yang mengubah getirnya kehidupan menjadi madu kesabaran.

Tiga Tingkatan Nafsu

Allah menciptakan jiwa manusia dalam hierarki yang dinamis, dari _nafsul ammarah_ (jiwa pemaksa kejahatan) hingga _nafsul muthmainnah_ (jiwa yang tenang). Ujian adalah mata pisau yang mengukir perjalanan ini, mengubah kegelapan ego menjadi cahaya kepasrahan.  

Nafsu ammarah adalah tahap paling rendah, di mana jiwa terbelenggu oleh dorongan maksiat dan keangkuhan. 

Al-Qur’an menggambarkannya:  

“Sesungguhnya nafsu itu mengajak kepada kejahatan.” (QS. Yusuf: 53) .  

Pada tahap ini, manusia seperti Nabi Yunus dalam kegelapan perut ikan, terjebak dalam lingkaran dosa, tetapi masih memiliki potensi untuk berseru:  

“Tidak ada Tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau. Sungguh, aku termasuk orang yang zalim.” (QS. Al-Anbiya: 87).  

Ujian di sini berfungsi sebagai palu godam yang memecah tempurung keegoan, memaksa jiwa untuk menyadari kerapuhannya.  

Nafsu lawwamah adalah tahap penyesalan dan pertarungan batin. Al-Qur’an bersumpah:  

“Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).” (QS. Al-Qiyamah: 2) .  

Ini adalah tahap Siti Hajar yang berlari antara Shafa-Marwa: antara kepanikan dan harapan. 

Sebagaimana dijelaskan Murtadha Muthahhari, nafsu lawwamah adalah “jiwa yang menyadari kesalahan tetapi masih lemah untuk konsisten dalam kebaikan”. Di sinilah ujian menjadi _mihrab_ (ruang ibadah) untuk melatih kesabaran.

Adapun nafsu muthmainnah adalah jiwa yang telah mencapai ketenangan abadi, di mana kepasrahan bukanlah kekalahan, tetapi kemenangan atas kegelisahan duniawi. 

Inilah tahap Nabi Ibrahim yang tenang di tengah kobaran api, atau Khidir yang memahami hikmah di balik retaknya kapal (QS. Al-Kahfi: 79). Di sini ujian bukan lagi beban, melainkan undangan untuk menyelami Rahasia Ilahi. 

Dunia sebagai Medan Pensucian Jiwa

Allah menciptakan manusia dalam perjalanan dari nafsul ammarah (jiwa pemaksa) menuju _nafsul muthmainnah_. Ujian adalah alat-Nya untuk mengikis ego, menguatkan iman, dan membersihkan niat.  

“Apakah manusia mengira mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, ‘Kami beriman,’ tanpa diuji?” (QS. Al-Ankabut: 2). Ujian adalah bukti bahwa iman bukan deklarasi lisan, tapi komitmen jiwa.  

Nabi Ayyub AS kehilangan harta, keluarga, dan kesehatan yang tidak membuatnya mengutuk takdir. Justru ia bersimpuh:

“Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit, dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang.” (QS. Al-Anbiya: 83). Ketenangan lahir ketika kita melihat ujian sebagai undangan untuk bertemu Allah.

Sabar bukan diam pasif, tapi gerak aktif menata hati. Ia adalah kemampuan bernapas dalam air, tetap tegak di tengah badai.  

Sabar memiliki tiga tingkatan:

Sabar atas musibah. Seperti Siti Hajar berlari antara Shafa-Marwa, mengubah kepanikan menjadi doa.  

Sabar dalam ketaatan. Sejak shalat tahajud hingga puasa sunnah, disiplin spiritual melatih jiwa untuk stabil.  

Sabar menjauhi maksiat. Seperti Nabi Yusuf AS menolak godaan Zulaikha, memilih kehormatan iman.  

“Sabar itu seperti nama Allah yang tersembunyi dalam Al-Qur’an. Barangsiapa mencarinya, ia akan menemukan-Nya.” 

(Syekh Abdul Qadir al-Jailani).

*Ujian Kontemporer: Menyucikan Jiwa di Era Digital*

Di tengah banjir informasi dan _cancel culture, nafsu lawwamah_ rentan terjebak dalam kegelisahan virtual. 

Hadits Nabi mengingatkan:  

“Janganlah kalian banyak bicara tanpa dzikir kepada Allah, sebab ia mengeraskan hati.” (HR. At-Tirmidzi) .  

Karena itu, strategi menjaga ketenangan harus menyentuh akar hierarki nafsu:  

Memutus rantai ammarah. Membatasi konsumsi konten destruktif dan memilih bacaan yang menguatkan spiritualitas .  

Mendidik nafsu lawwamah. Membentuk komunitas _tarbiyah_ yang saling mengingatkan, seperti lingkaran dzikir yang menjaga kejernihan hati.

Memelihara nafsu muthmainnah. Menjadikan shalat Dhuha sebagai dialog intim dengan Allah, sebagaimana anjuran Surat Al-Baqarah: 186:  “Dan ketika hamba-Ku bertanya tentang Aku, sesungguhnya Aku dekat.”.

*Epilog: Dari Ujian Tumbuh Bunga Kesabaran*

Seorang petani tidak menangisi benih yang terkubur, karena ia tahu, di balik gelap tanah ada kehidupan yang menanti.  

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata: ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un’.” (QS. Al-Baqarah: 155-156).  

Ketenangan jiwa adalah mahkota yang hanya diberikan kepada mereka yang berani bertahan dalam ketidaknyamanan, yakin bahwa Allah sedang menuliskan kisah terindah di balik kesulitan.  

Seperti mutiara yang lahir dari gesekan kerang dan pasir, jiwa yang tenang terlahir dari gesekan ujian dan kesabaran. Di puncak kesulitan, kita belajar bahwa Allah tidak menjauh. Dia justru sedang membisikkan:  

“Wahai jiwa-jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu!” (QS. Al-Fajr: 27-30).  

Seperti biji kurma yang tumbuh di gurun, jiwa yang tenang justru menemukan kekuatan di tanah yang retak. 

Ibn Qayyim al-Jauziyyah berkata:  

“Ujian adalah tanda cinta Allah. Ia membersihkan jiwa sebagaimana api membersihkan emas.”

Dalam kitab Al-Hikam, Ibn ‘Atha’illah menegaskan:  

“Barangsiapa menyaksikan Keagungan Tuhan, tenanglah ia dari gelisahnya diri.” 

Maka, jadilah seperti akar beringin, semakin kering zaman, semakin dalam menghujam ke Sumber Ilahi. Sebab, di balik setiap retak ujian, Allah menuliskan kisah kemuliaan bagi jiwa-jiwa yang bertahan dengan kesabaran dan keyakinan.  

والله أعلم

MS 20/04/25

(Foto: ilustrasi/IST)

Posted in

BERITA LAINNYA

Polres Bangka Pantau Tempat Nongkrong dan Mabuk-mabukan Pemuda di Sungailiat

GETARBABEL.COM, BANGKA — Dalam menciptakan situasi kamtibmas yang aman dan…

BPS sebut Angka Kemiskinan Babel 4 Terendah se-Indonesia

GETARBABEL.COM, PANGKALPINANG– Angka Kemiskinan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Kep. Babel)…

Untuk Para Istri, Ini Hukum Mengambil Uang di Saku Suami Tanpa Izin

Secara hukum, istri mengambil uang di dompet suami tanpa izin…

POPULER

HUKUM

mediaonlinenatal2024ok

IPTEK

PolitikUang-Copy

TEKNOLOGI