Jiwa Yang Tenang Di Tengah Bumi Yang Retak (18):  Dari Krisis Spiritual Ke “Great Reset”

images (8)

Oleh : Maman Supriatman || Alumni HMI

Hasil akhir dari rekayasa ini adalah terciptanya apa yang disebut “manusia zombie spiritual”: profil manusia ideal versi Great Reset. Mereka adalah pribadi yang cukup religius untuk patuh pada otoritas, tapi cukup sekuler untuk tidak mengancam status quo.

Di tengah kemajuan peradaban yang memuja rasionalitas dan teknologi, kita justru menyaksikan kematian spiritual yang terjadi secara perlahan namun pasti. 

Masjid, gereja, dan tempat ibadah lain tetap ramai, tetapi ada sesuatu yang hilang dari kedalaman maknanya. 

Survei Pew Research (2023) mengungkap paradoks mengejutkan: sementara 78% penduduk dunia mengaku beragama, 62% di antaranya mengakui ibadah mereka tak lagi menyentuh relung hati yang paling dalam. 

Inilah wajah krisis spiritual di era Great Reset: saat kita makin mahir mengejar yang fana, tapi makin buta menangkap yang hakiki.

Wajah Krisis Spiritual Kontemporer

Penelitian PPIM (2023) di Indonesia menemukan fakta mencengangkan: 65% jemaah masjid tidak memahami makna ayat yang mereka baca dalam shalat. 

Ibadah telah berubah menjadi rutinitas kosong, seperti mesin yang bergerak tanpa nyawa. 

Kardinal Martini sebelum wafat pernah berujar dengan pilu: “Gereja kita luas, tapi jiwa-jiwanya sempit.” 

Pernyataan ini menggambarkan dengan tepat kondisi spiritual zaman kita.

Industri “wellness spiritual” yang bernilai 4.9 miliar dolar (WHO, 2024) justru melahirkan generasi yang lebih stres dan gelisah. 

Analisis Socialbakers (2024) menunjukkan bahwa 83% konten dengan tagar #SpiritualNotReligious di TikTok ternyata berujung pada promosi produk. 

Inilah bukti nyata dari peringatan Baudrillard bahwa kita telah menjadi penyembah tanda-tanda, bukan Yang Ditandai.

Produk Ikonik Great Reset

Pukul 05.00, alarm berbunyi. Andi Wijaya (35 tahun) membuka mata, tangan langsung meraih ponsel. Screen time-nya hari ini dimulai dengan mengecek portofolio saham syariah, sambil separuh telinga menyimak podcast tafsir Al-Qur’an yang diputar dalam kecepatan 1.5; efisiensi adalah kata kuncinya. 

Lima menit kemudian, ia berdiri untuk shalat Subuh, tapi hati tetap tertuju pada smartwatch yang menghitung gerakan rakaat dan memberi notifikasi: “Kualitas khusyuk Anda hari ini 68%, turun 7% dari minggu lalu.” 

Ia menghela napas, lalu meng-upload laporan otomatis ke aplikasi SoulTrack’, platform blockchain yang mengonversi ibadahnya menjadi credit score spiritual.  

Di kantor, Andi adalah contoh kesalehan modern: rajin menghadiri pengajian korporat, donasinya tercatat rapi di e-wallet syariah, dan feed Instagramnya dipenuhi kutipan ayat dengan filter Celestial Light. Tapi ada yang mengganjal: ibadahnya tak lagi menyisakan getar. 

Ketika khutbah Jumat membahas keadilan sosial, pikirannya justru membolak-balik proyeksi laba kuartalan. Saat mendengar kabar pemutusan hubungan kerja massal di divisinya, ia hanya mengelus dada sambil berkata: 

“Ini ujian, kita harus positive vibes saja.” Agamanya tetap hidup sebagai identitas, tapi mati sebagai kekuatan perubahan.  

Inilah wajah zombie spiritual hasil rekayasa _Great Reset_;  manusia yang cukup rajin beribadah untuk merasa tenang, tapi cukup tumpul untuk tidak mempertanyakan sistem. 

Survei Global Faith Index (2025) mengungkap paradoks: 73% profesional kelas menengah seperti Andi mengaku “religius”, tapi 89% di antaranya menganggap agama harus adaptif dengan tuntutan pasar. 

Mereka adalah produk akhir dari desain sosial yang canggih, di mana spiritualitas dikemas sebagai corporate mindfulness, kesalehan direduksi menjadi data point, dan kepatuhan pada otoritas disamarkan sebagai “ketenangan jiwa”.  

Zombie-zombie ini tidak menggerakkan tubuhnya dengan rantai, tapi dengan likes, dan spiritual wellness score. 

Mereka tidak perlu dibungkam, karena dirinya sendiri telah menjadi penjaga sistem. 

Dan ketika lentera masjid-masjid megah itu bersinar terang di malam hari, yang terpantul di kaca jendelanya hanyalah bayangan orang-orang yang sibuk menyembah “gods of efficiency”, sambil lupa bahwa langit masih ada di atas sana.  

“Mereka memuja tanda-tanda, tapi melupakan Yang Ditandai.”

*Great Reset dan Komodifikasi Spiritualitas*

Dokumen-dokumen resmi World Economic Forum dengan gamblang menyebut spiritualitas sebagai “aset yang perlu diatur volatilitasnya”. 

Agenda tersembunyi ini dijalankan melalui dua strategi utama:

Pertama, membiarkan agama hidup sebagai simbol identitas tetapi memisahkannya dari kekuatan transformasi sosial. 

Kedua, mengubah spiritualitas menjadi corporate mindfulness yang membuat pekerja tetap produktif dalam sistem yang sebenarnya menindas.

Hasil akhir dari rekayasa sosial ini adalah terciptanya apa yang disebut manusia zombie spiritual: profil manusia ideal versi Great Reset.

Mereka adalah pribadi yang cukup religius untuk patuh pada otoritas, tapi cukup sekuler untuk tidak mengancam status quo, cukup spiritual untuk merasa tenang, namun cukup materialis untuk terus konsumtif. 

Nietzsche telah mengingatkan bahaya ini: “Agama menjadi tempat parkir untuk berhenti bertanya.”

Jembatan Menuju Kontrol Total

Dalam narasi besar serial ini, kita bisa melihat pola yang konsisten. Dari mekanisme kontrol melalui elite global dan kelompok rahasia dengan Dajjal berada di puncak piramida (esai 12), demokrasi algoritmik (esai 13), uang digital (esai 14), hingga pandemi AI (esai 15). 

Krisis spiritual yang dibahas pada esai 16-18, menjadi batu pijakan terakhir menuju kontrol global yang lebih masif yang akan dibahas dalam esai 19.

_Great Reset_ telah menyiapkan panggung untuk langkah berikutnya: pengawasan total terhadap dimensi spiritual manusia. 

Konsep “biometric spirituality” akan menjadi alat kontrol baru, di mana data detak jantung saat shalat, gelombang otak saat meditasi, dan pola pernafasan saat berdoa akan menjadi komoditas baru yang diperjualbelikan. 

Sistem “credit score spiritual” akan mengukur kesalehan seseorang berdasarkan zakat dan sedekah yang terekam blockchain.

Epilog: Cahaya di Balik Retakan

Namun di balik semua skema Great Reset yang terlihat sempurna ini, ada celah yang tak bisa diatasi oleh sistem mana pun. 

Jiwa-jiwa yang terjaga tetap mampu membedakan antara esensi dan simbol. Ibadah yang hidup akan selalu menjadi ancaman bagi mesin kontrol. 

Spiritualitas sejati tak akan pernah bisa sepenuhnya direduksi menjadi data dan algoritma.

Sebagaimana kata Iqbal: “Api ada di genggamanmu.” Di tangan kitalah letak kekuatan untuk membakar belenggu-belenggu sistem ini. 

Ketika Great Reset berhasil menciptakan manusia zombie spiritual, justru di situlah titik balik akan terjadi. Sebab, setiap sistem buatan manusia pasti memiliki retakan. 

Dan dari retakan-retakan itulah cahaya kebenaran akan menyelinap masuk, mempersiapkan fajar peradaban baru yang akan dibahas dalam serial selanjutnya.

وَمَكَرُوْا مَكْرًا وَّمَكَرْنَا مَكْرًا وَّهُمْ لَا يَشْعُرُوْنَ

“Dan mereka membuat tipu daya, dan Kami pun menyusun tipu daya, sedang mereka tidak menyadari.”

(QS. An-Naml: 50).

والله اعلم

MS 06/05/25

(Foto: ilustrasi/iSR)

Posted in

BERITA LAINNYA

Libur Lebaran, Puluhan Ribu Pengunjung Padati Pantai Matras

GETARBABEL.COM, BANGKA– Di penghujung musim liburan lebaran idul Fitri 1446…

Dampingi SBY, Sjarifuddin Hasan : Hadirnya Lavani Mengangkat Popularitas Bolavoli

GETARBABEL.COM, JAWA BARAT–Sejak siang, Komplek Gedung Olah Raga (GOR) Sijalak…

Polman Babel Terapkan Kuliah Lapangan ke Badan Penerapan Standarisasi Instrumen Pertanian

GETARBABEL.COM, BANGKA — Mahasiswa Program Studi Pertanian Presisi dari Politeknik…

POPULER

HUKUM

hipk

IPTEK

drone

TEKNOLOGI