Jiwa Yang Tenang Di Tengah Bumi Yang Retak (17):  Dari Keterputusan Transeden Ke Mateialisme, Manusia Tanpa Agama Tanpa Spiritualitas

IMG_20250505_124256

Oleh : Maman Supriatman || Alumni HMI

Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya. (QS. As-Saff: 8).

Pertarungan ideologis besar abad ini mungkin bukan lagi antara agama, melainkan antara jiwa yang merindu dan mesin yang hendak memangkasnya menjadi deret kode.

DANIEL menatap layar komputernya di apartemen minimalis, dikelilingi oleh poster “In Data We Trust”. 

Jam menunjukkan pukul 03.47, tapi kopi keempatnya membuatnya terjaga. “Tidur tidak efisien,” bisik Daniel. 

Malam yang mestinya jadi rahim sunyi untuk perenungan, kini direbut cahaya layar yang tak kenal belas kasih. Ia begadang menantang fajar, hanya untuk terlelap ketika matahari memanggil kehidupan. 

Fenomena tidur malam bangun siang bukan sekadar pola, melainkan potret zaman yang kehilangan arah: ketika malam tak lagi sakral, dan siang tak lagi suci. 

Dalam irama yang patah, manusia menjadi makhluk yang berlari tanpa tahu tujuan, memeras waktu tanpa sempat merasai keheningan. 

Begitulah, di peradaban ini, tidur dan terjaga pun kehilangan maknanya: tak ada malam untuk mendoa, tak ada siang untuk bersyukur.

Malam mestinya menjadi sajadah rindu, tempat jiwa bersimpuh di hadapan Kekasihnya; tapi cahaya layar kini menghapus takbirnya. 

Siang mestinya ladang syukur, tempat manusia menabur amal; tapi mata yang lelah tertidur, terkunci di balik tirai yang menolak mentari. 

Bagaimana rahmat turun di malam yang dibunuh cahaya? Bagaimana keberkahan menyapa siang yang dikubur dalam tidur? 

Kala manusia tertidur saat dipanggil, dan terjaga saat dilupakan, fajar pun menangis, mengetuk hati yang tak lagi mendengar. 

Di luar, sekelompok anak muda di kafe menertawakan agama sebagai “takhayul kuno”. 

Mereka adalah wajah zaman baru: materialis radikal yang hanya percaya pada yang terukur, transhumanis yang memuja singularitas teknologi, dan kaum skeptik yang menganggap spiritualitas sebagai kelemahan.  

Profesor Evelyn Tan menyebutnya “Kematian yang disengaja dari Yang Transenden”.

“Ya Rabb, bangunkan kami sebelum cahaya-Mu tak lagi dicari.”

Retak-retak Zaman

Di ruang server, superkomputer “Prometheus” mencatat lonjakan 300% pencarian makna hidup di kalangan usia 25-35 tahun. “Bukankah kita sudah membunuh Tuhan?” canda Arka, sang engineer. 

Namun kemudian muncul ironi abad ini: di tengah klaim kemajuan, manusia justru menghadapi krisis kesepian digital (60% Gen Z mengalaminya, WHO 2023) dan epidemi depresi (resep antidepresan naik 250% dalam dekade terakhir).  

Ada tiga pilar kekosongan modern:

– Transhumanisme: Tubuh sebagai mesin yang perlu di-upgrade.  

– Dataisme: Pengalaman manusia direduksi menjadi algoritma.  

– Kultus Diri: Self-actualization sebagai pengganti kebijaksanaan.  

Tapi retak-retak mulai terlihat. Komunitas “Analog Souls” di Berlin menolak teknologi di akhir pekan, sementara penjualan buku filsafat Kierkegaard melonjak 70% di kalangan pekerja tech. 

Proyek Digital Buddha, sebuah model AI pencerahan spiritual, gagal total: 80% pengguna justru merasa “kosong yang lebih dalam”. Seorang engineer AI diam-diam mengaku: “Aku merindukan masa kecil di surau desa.” 

Dua Wajah Kemajuan

1. Manusia sebagai Bug

Filosofi transhumanis:

“Kita adalah kesalahan biologis yang perlu diperbaiki oleh teknologi”. 

Perusahaan seperti EternalMind menawarkan “digital afterlife” seharga $2 juta.  

2. Manusia sebagai Pencari: 

“Kita adalah jiwa yang merindukan makna” (gerakan “Slow Thought”, yang menggali kembali filsafat eksistensialis).  

Di balik gemuruh teknologi, jiwa manusia tetap gelisah. Survei WHO mengungkap 50% penduduk negara maju merasa kesepian meski hidup hiper-terhubung. 

“Teknologi memberi ilusi kedekatan, tapi tak pernah menggantikan kehangatan interaksi nyata,” ujar Dr. Clara Jensen.  

Epilog: Di Mana Ada Cahaya di Situ Ada Bayangan

Kemajuan material telah membawa ke puncak pencapaian duniawi, tapi di sana, di ruang hampa antara data dan algoritma, jiwa manusia masih meronta. 

Kita membangun menara Babel digital, tapi lupa bahwa bahasa tertinggi manusia bukanlah kode biner, melainkan rindu akan Yang Tak Terukur.  

Kau bisa menghapus Tuhan dari algoritma, tapi bagaimana kau menghapus kerinduan akan Tuhan dari hati?

Generasi ini terjepit antara dua kutub: materialisme yang menggoda dengan janji kepastian, dan spiritualitas yang memanggil dengan bisikan misterinya. 

Krisis spiritual ini bukan akhir, melainkan gerbang menuju Great Reset; saat manusia harus memilih: terus mengubur jiwa dalam data, atau membiarkannya bangkit dalam cahaya transenden.

Dalam bisikan Ibn Ataillah: “Bagaimana cahaya hati dapat masuk, sementara gambaran dunia terus berdesakan di dalamnya?”

Krisis spiritual ini adalah tanah subur bagi lahirnya sebuah reset besar, bukan sekadar ekonomi atau teknologi, tapi reset jiwa. 

Lalu, apa yang akan kau pilih: menjadi angka dalam _cloud,_ atau nyala dalam gelap?

Glosarium

Analog Souls = komunitas yang menolak penggunaan teknologi di akhir pekan untuk mencari makna dan keaslian hidup.

Bug = istilah dalam dunia komputer untuk menyebut kesalahan atau cacat dalam sistem atau program. Dalam esai ini, digunakan sebagai metafora untuk melihat manusia sebagai “kesalahan biologis” yang perlu diperbaiki.

Cloud = metafora untuk penyimpanan dan pemrosesan data digital di server jarak jauh yang diakses lewat internet.

Dataisme = pandangan bahwa semua pengalaman manusia dapat direduksi menjadi data dan diproses secara algoritmik.

Digital afterlife = kehidupan digital setelah mati, misalnya kesadaran atau kenangan yang diunggah ke server untuk “hidup abadi”.

Digital Buddha = proyek AI yang mencoba meniru pencerahan spiritual seperti Buddha, tetapi gagal memberikan makna sejati bagi penggunanya.

EternalMind = perusahaan fiktif yang menawarkan layanan digital afterlife dengan harga sangat mahal.

Great Reset = reset besar atau perubahan mendasar. Dalam esai ini merujuk pada reset bukan hanya di bidang teknologi/ekonomi, tapi pada jiwa manusia.

Kultus Diri = pemujaan berlebihan terhadap pengembangan diri (self-actualization) yang menggantikan nilai-nilai kebijaksanaan klasik atau spiritualitas.

Prometheus = nama superkomputer. Dalam esai ini digunakan untuk melambangkan pencarian makna dan pengetahuan tak terbatas, mengambil inspirasi dari mitologi Yunani, di mana Prometheus membawa api (pengetahuan) kepada manusia.

Self-actualization = pencapaian potensi tertinggi diri menurut psikologi humanistik, tapi dalam esai ini dikritik sebagai pengganti spiritualitas sejati.

Singularitas teknologi = titik hipotetik ketika kecerdasan buatan melampaui kecerdasan manusia dan membawa perubahan besar pada peradaban.

Slow Thought = gerakan yang mengajak memperlambat ritme berpikir untuk kembali menggali kedalaman makna filosofis dan eksistensial.

Transhumanisme = pandangan bahwa tubuh manusia harus di-upgrade dengan teknologi agar melampaui keterbatasan biologisnya.

والله أعلم  

MS 05/05/25

Posted in

BERITA LAINNYA

Soetrisno Bachir : HIPKA Harus Mengukir Takdir Ekonomi

JAKARTA-Pegusaha muslim di Indonesia saat ini sangat terbatas. Himpunan Pengusaha…

Dilema Pemkab Bangka, Pemotongan Gaji Honorer dan TPP ASN Sulit Dihindari

GETARBABEL.COM, BANGKA- Rapat pembahasan anggaran antara Tim Anggaran Pemerintah Daerah…

Donor Darah di Belinyu, PMI Berhasil Sedot Darah 49 Pendonor

GETARBABEL.COM, BANGKA- Markas Palang Merah Indonesia (PMI) Kabupaten Bangka bekerjasama…

POPULER

HUKUM

hipk

IPTEK

drone

TEKNOLOGI