Mahasiswa Teknik Mesin Sumatera Gelar Muswil ke-4 di Bangka
By beritage |
GETARBABEL.COM, BANGKA — Himpunan Mahasiswa Jurusan Teknik Mesin (HMJTM )…
Monday, 5 May 2025
Oleh : Maman Supriatman || Alumni HMI
Agama tanpa spiritualitas adalah mayat beraroma wangi. Spiritualitas tanpa agama adalah hantu yang mengaku punya rumah. (Adaptasi dari “Tasawuf Modern”, Buya Hamka).
DUNIA hari ini dilanda krisis multidimensi: pandemi global, ketidakpastian politik-ekonomi, revolusi kecerdasan buatan, serta anomali budaya dan nilai. Di tengah gemuruh itu, manusia haus akan ketenangan batin.
Dari seminar internasional, forum lintas iman, hingga algoritma media sosial, muncul narasi baru: agama-agama harus bersatu karena perbedaan dianggap sumber konflik.
Tapi benarkah penyatuan agama adalah jawaban, atau justru wujud baru penyeragaman spiritual yang mengaburkan kebenaran?
Ritual Kosong dan Spiritualitas Kosmopolitan
Fenomena agama tanpa spiritualitas sudah lama ada: agama dipertahankan sebagai simbol atau identitas, tapi kehilangan makna terdalam.
Shalat menjadi rutinitas tanpa khusyuk, puasa sebatas formalitas sosial, zakat seperti pajak, sementara hati kering dari dzikir dan kasih sayang.
Sebaliknya, kini muncul gelombang spiritualitas tanpa agama: keyakinan cair tanpa Tuhan spesifik, fokus pada “energi semesta,” afirmasi positif, meditasi, hingga afirmasi algoritmik di media sosial.
Bahayanya, bukan hanya hilangnya wahyu sebagai sumber kebenaran, tetapi munculnya spiritualitas baru yang kompatibel dengan pasar global.
Fondasi Teologis yang Disalahpahami
Seruan _One Religion_ sering dikaitkan dengan QS. Ali Imran: 64: “Katakanlah: Wahai Ahli Kitab! Marilah kepada satu kalimat yang sama antara kami dan kamu, yaitu bahwa kita tidak menyembah selain Allah…”
Ayat ini kerap dipelintir sebagai legitimasi semua agama menuju Tuhan yang sama. Padahal, maksud ayat adalah seruan tauhid, bukan undangan meleburkan akidah.
Di balik slogan Global Harmony atau Common Values, ada agenda besar menyatukan kesadaran umat manusia dalam satu sistem global. Forum seperti World Economic Forum lewat The Great Reset menyebut pandemi sebagai “jendela peluang” untuk merombak tatanan dunia, termasuk keyakinan.
Pandemi COVID-19 menjadi panggung awal: ibadah kolektif dibatasi, masjid-gereja tutup, ritual berpindah ke ruang digital. Tata shalat yang dulu diatur mazhab fikih, tiba-tiba dirombak mengikuti “mazhab WHO.”
Kini, AI perlahan menggantikan peran imam, dai, bahkan penafsir kitab suci. Agama kehilangan basis wahyu, bergeser pada nilai “netral” sesuai opini mayoritas global.
Al-Furqan di Era Relativisme
Al-Qur’an menyebut dirinya al-Furqan, pembeda kebenaran dan kebatilan (QS. Al-Furqan: 1). Islam tidak menolak nilai universal seperti keadilan dan kasih sayang, tapi menolak menyamakan semua jalan iman. Kebenaran dalam Islam bersumber dari wahyu, bukan konsensus global.
Relativisme iman membingkai agama sebagai produk budaya setara, padahal agama adalah petunjuk Tuhan.
Proyek global sering melampaui dialog menuju sinkretisme, penghapusan identitas demi perdamaian universal.
Misalnya, proyek Human Fraternity antara Vatikan dan dunia Islam yang mengklaim semua agama menuju Tuhan yang sama.
Paus Fransiskus bahkan menyatakan, “semua agama adalah jalan berbeda menuju Tuhan yang satu”; sebuah klaim sinkretis, bukan dialogis.
Islam mengakui keberadaan agama lain, tapi tidak mengaburkan perbedaan akidah. Tauhid tidak untuk dikompromikan.
Spiritualitas Tanpa Rumah
Pertemuan rahasia di Davos 2022 membahas dokumen Spiritual Reset 2030. Salah satu poinnya: “Agama-agama tradisional harus diadaptasi menjadi nilai-nilai global yang kompatibel dengan ekonomi digital.”
Tak lama, pandemi datang. Masjid-masjid di Eropa ditutup demi protokol kesehatan, sementara pusat meditasi tetap buka. “Kami tidak melarang spiritualitas,” ujar pejabat, “hanya ritual kuno yang berisiko.”
Di Timur Tengah, sebuah startup meluncurkan AI Mufti yang bisa berfatwa dalam 50 bahasa, selalu sejalan dengan nilai PBB.
Namun di balik permukaan modern ini, ada kegelisahan yang tak terucapkan:
Klinik kesehatan mental dipenuhi pasien yang merasa hidupnya hampa.
Angka bunuh diri di kalangan ateis muda melonjak 40% dalam dekade terakhir.
Epidemi kesepian menjadi krisis kesehatan publik.
Dr. Markus Weil, seorang neurolog, menemukan sesuatu yang mengejutkan: “Otak manusia punya ‘God-shaped hole,’ ruang kosong yang dirancang untuk pengalaman transenden. Ketika diabaikan, muncul depresi eksistensial.”
Memulihkan Jiwa di Tengah Keretakan Dunia
Di tengah badai narasi global, kekuatan sejati lahir dari komunitas kecil: masjid-masjid lokal, majelis taklim, keluarga beriman.
Di sana ketenangan otentik dipelihara. Ibadah sederhana yang khusyuk, dakwah jujur, keteguhan pada nash, dan penyucian hati jauh lebih penting daripada euforia proyek besar yang justru menggerus akidah.
Kita memerlukan agama yang teguh lahir-batin, dan spiritualitas yang terpandu wahyu agar tak tersesat dalam relativisme.
Islam bukan anti-perdamaian, tetapi menolak penyesatan atas nama perdamaian. Penyatuan agama, dominasi ekonomi digital, dan kontrol global bukan sekadar teori konspirasi, tapi bagian dari tanda-tanda zaman.
Epilog: Di Tengah Gemuruh Zaman, Selalu Ada Cahaya yang Tetap Menyala
Di sudut kota metropolitan, seorang pemuda mengetik kode aplikasi meditasi berbasis AI. Di layar sebelah, laman World Economic Forum memproyeksikan visi “harmoni spiritual global 2030.” Notifikasi dari grup diskusi lintas iman muncul: “Semua agama sama. Mari bersatu dalam spiritualitas universal!”
Pemuda itu menghela napas. Ayahnya, imam masjid kampung, sering mengingatkan bahaya dua jurang: agama tanpa ruh dan spiritualitas tanpa arah. Ia menutup laptop, berwudhu, dan bersujud khusyuk. Di tengah bumi yang retak, inilah ketenangan sejati yang tak tergantikan algoritma.
Sementara itu, seorang neuroscientist mempresentasikan temuannya:
“Otak manusia bisa mencapai spiritual high lewat stimulasi elektrik. Tak perlu lagi berdoa kepada Tuhan mana pun.” Hadirin bertepuk tangan.
Di sudut ruangan virtual, seorang Syekh tua bergumam, “Mereka menukar cahaya petunjuk dengan lampu disko neurosains.”
Sarah, mantan aktivis masjid kampus, kini penggemar zen coaching. “Agama terlalu banyak aturan,” katanya sambil memutar gelang kristal. “Energi semesta lebih bebas, tanpa doktrin.”
Namun, saat pandemi melanda, Sarah terbangun dalam hampa. Aplikasi meditasinya tak mampu menjawab satu pertanyaan besar: “Jika aku mati malam ini, apa yang terjadi pada jiwaku?”
*******
MAYAT BERAROMA WANGI, HANTU YANG KEHILANGAN RUMAH
Di altar-altar megah, orang-orang membungkuk, bersujud, berdoa. Namun hatinya kering, matanya tak menangis, hanya bibir yang bergerak sementara jiwa tertidur pulas.
Agama tanpa ruh, tanpa getar cinta, hanya menyisakan ritual kosong, seperti mayat yang dibalsem harum: indah di mata, tetapi dingin saat disentuh.
Di jalanan sunyi, ada jiwa-jiwa yang berkata: “Aku tak butuh agama, aku hanya perlu merasakan kedalaman batin, mengikuti cahaya di dadaku.”
Namun tanpa peta, tanpa rumah untuk kembali, ia hanyalah hantu yang berkelana, mengaku memiliki langit, padahal terombang-ambing di angin.
Agama dan spiritualitas adalah tubuh dan nyawa, rumah dan api di perapian. Tanpa salah satunya, manusia kehilangan arah.
Tugas kita bukan memilih salah satu, tetapi menjahit keduanya agar ibadah menjadi taman jiwa, dan jiwa menemukan rumahnya.
والله أعلم
MS 04/05/25
(Foto: Ilustrasi/IST)
Posted in SOSBUD
GETARBABEL.COM, BANGKA — Himpunan Mahasiswa Jurusan Teknik Mesin (HMJTM )…
Menyambut hari raya Idul Fitri, ada beberapa amalan yang sangat…
GETARBABEL.COM,BANGKA- Diakhir pekan lalu Sabtu 16/3/2024), telah beredar sebuah video…
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sejumlah ASN…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sungguh miris…
GETARBABEL.COM, BANGKA- Kawasan hutan seluas…