86 Personel Polres Bangka Ikut Tes Psikologi Senjata Api, Bukan Untuk Gagah-gagahan
By beritage |
GETARBABEL.COM, BANGKA — Polres Bangka menggelar kegiatan Tes Psikologi Senjata…
Friday, 2 May 2025
Oleh : Maman Supriatman || Alumni HMI
Dunia yang makin retak ini bukanlah hasil kebetulan, tetapi buah dari rekayasa sistemik yang telah lama dirancang oleh kekuatan global untuk membangun tata dunia tunggal: dunia tanpa batas negara, tanpa pluralitas budaya, tanpa otonomi spiritual.
DUNIA kita kini berada di ambang perubahan besar, bukan hanya dari sisi teknologi, tetapi juga ideologi yang mendasari arah peradaban. Retakan-retakan di permukaan global bukanlah sekadar konsekuensi ekonomi, melainkan hasil desain kekuatan global untuk menciptakan tata dunia tunggal.
Di tengah pusaran ini, uang, tulang punggung transaksi manusia, mengalami transformasi dahsyat: dari fisik ke digital, dari alat tukar menjadi instrumen kendali.
Transisi yang Telah Lama Berlangsung
Peralihan dari uang kertas ke uang digital bukanlah sesuatu yang terjadi tiba-tiba. Selama puluhan tahun, transaksi bernilai besar telah lama menggunakan digital: perdagangan minyak, gas, dan komoditas global berlangsung melalui transfer bank, sistem SWIFT, atau pembayaran elektronik.
Di negara-negara maju, lebih dari 90% transaksi ritel telah nontunai melalui kartu, aplikasi, atau QR code. Raksasa fintech seperti PayPal, Alipay, dan WeChat Pay bahkan merevolusi pembayaran sektor informal, menyingkirkan uang fisik secara bertahap. Transformasi ini berjalan dalam tiga fase senyap.
Pertama, fase digitalisasi korporasi (1970–2000), ketika transaksi multinasional beralih ke _Electronic Funds Transfer (EFT)_.
Kedua, fase marginalisasi tunai (2000–2020), ketika bank sentral mengurangi pencetakan uang fisik: pada 2022, hanya sekitar 8% dari total uang AS yang berbentuk kertas.
Ketiga, fase pemaksaan mata uang digital bank sentral _(Central Bank Figital Currency, CBDC)_ sejak 2020, dipacu oleh program IMF seperti _Financial Sector Assessment Program (FSAP)_, yang mendorong lebih dari 130 negara mengadopsi mata uang digital.
Tanda-Tanda Kejatuhan Dolar AS
Dolar AS, sebagai mata uang cadangan dunia, kini tertekan. Utang nasional AS yang melampaui $34 triliun, membatasi kemampuan mencetak uang tanpa memicu hiperinflasi.
Langkah China, Rusia, dan negara lain meninggalkan dolar dalam transaksi internasional, mempercepat erosi dominasi dolar. Krisis perbankan 2023 dan bailout pemerintah semakin menggerus kepercayaan global.
Runtuhnya dolar tak hanya mengguncang AS, tapi menyeret seluruh sistem mata uang kertas, sebab cadangan devisa global sangat bergantung padanya.
Dalam kekacauan ini, CBDC akan tampil sebagai “penyelamat,” padahal sejatinya adalah instrumen kendali global.
CBDC: Dari Alat Tukar Menjadi Alat Kendali
Berbeda dari uang kertas yang memungkinkan anonimitas, CBDC membuka jalan bagi kontrol total. Pemerintah bisa mematikan akses ekonomi seseorang dengan satu sentuhan algoritma.
Contohnya, pada 2023 China memblokir 23.000 dompet digital milik warga yang kritis terhadap kebijakan. Di Eropa, transaksi tunai di atas €10.000 dilarang mulai 2024; di AS, IRS melacak transaksi mulai $600 pada 2025.
Di balik narasi modernisasi ini, tersembunyi bahaya besar: pemrograman sosial.
Hadis Nabi SAW tentang “perdagangan yang menghimpit rumah Muslim” (HR. Ahmad), kini menemukan relevansi baru di era algoritma.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah telah mengingatkan: sistem ribawi bukan sekadar soal bunga, tetapi soal penghancuran otonomi manusia.
Keruntuhan Dolar dan Kekacauan yang Dikendalikan
Kolapsnya dolar bukan sekadar potensi ekonomi, melainkan skenario yang disiapkan. China dan Rusia sudah menolak transaksi minyak dalam dolar, beralih ke mata uang berbasis emas. Utang AS yang tak terbayar mendorong inflasi tak terkendali.
Syekh Imran Hosein sejak lama memperingatkan bahwa kejatuhan dolar adalah jebakan untuk memaksa dunia menerima CBDC sebagai “penyelamat,” padahal itulah pintu menuju pemerintahan Dajjal.
Di AS, dengan 400 juta pucuk senjata sipil, keruntuhan dolar berpotensi memicu kerusuhan massal. Untuk itu, kekuatan global menyiapkan _soft landing:_ menciptakan krisis buatan, pemadaman listrik, kelangkaan pangan (seperti pola pandemi COVID-19), untuk menumbuhkan kepanikan, lalu menawarkan Digital Dollar sebagai stabilisator.
Demokrasi Algoritmik dan Keuangan Digital: Dua Pilar Pax Judaica
Hadis Muslim 2937 tentang Dajjal yang tinggal di bumi 40 hari telah memantik perenungan panjang. Kini, tanda-tanda itu muncul sebagai realitas yang menggenggam kehidupan sehari-hari, melalui tiga fase yang menjepit umat manusia:
Fase pertama (sehari seperti setahun): pembangunan infrastruktur global, sensor cerdas, _Internet of Things (IoT)_, jaringan pengawasan.
Fase kedua (sehari seperti sebulan): ujicoba sistem kontrol, social credit, CBDC terbatas, rating digital yang menentukan hak-hak dasar.
Fase ketiga (sehari seperti sepekan): lahirnya Pax Judaica, pemerintahan tunggal bertumpu pada dua pilar utama.
Pilar pertama: demokrasi algoritmik, sandiwara politik yang dikendalikan big data. Skandal Cambridge Analytica 2016 hingga algoritma TikTok 2024 adalah cikal bakalnya.
Pemilu virtual digelar, digital ID jadi syarat, tapi kandidat sudah dikurasi kecerdasan buatan. Estonia diprediksi jadi prototipe pada 2025.
Pilar kedua: keuangan digital terprogram. Bukan hanya uang digital, tetapi _Programmable Money._ Donasi ke masjid bisa diblokir, seperti yang dialami gereja anti-LGBTQ+ di Swedia pada 2023.
_Carbon allowance_ akan mengontrol konsumsi daging, bahan bakar, bahkan perjalanan haji, sebagaimana dalam prototipe EU Digital ID Wallet 2026.
Ironisnya, Kripto Yahudi seperti Worldcoin dipasarkan sebagai “alternatif bebas” padahal makin mengikat.
Di fase Pax Judaica, Dajjal tak perlu menumpahkan darah. Ia cukup memutus akses: tanpa CBDC, manusia tak bisa membeli makanan; tanpa _social credit,_ tak bisa naik transportasi; sementara literasi eskatologi dicap “hoaks” dan diblokir algoritma.
Epilog: Di Ambang Fase Ketiga
Fase ketiga, “sehari seperti sepekan” (HR. Muslim, 2937), adalah yang paling pendek, tapi mematikan. Di sini, fitnah Dajjal menuju puncaknya, bukan lewat pedang, melainkan lewat algoritma yang membelenggu jiwa.
Uang digital yang mengendalikan perut, dan demokrasi digital yang mengendalikan pikiran manusia, bukan sekadar alat transaksi, tapi senjata kontrol yang memastikan manusia bergerak dalam koridor tertentu.
Jika di fase pertama dan kedua masih ada ilusi kebebasan, di fase ketiga semua ilusi runtuh. Setiap transaksi dipantau, setiap pilihan dibatasi, setiap perlawanan dihukum dengan pemadaman akses ekonomi: kematian sosial yang lebih kejam dari eksekusi fisik.
Namun, satu kebenaran tetap berdiri: sistem Dajjal itu rapuh, sebab dibangun di atas ketakutan dan tipu daya.
Sebagaimana Nabi Nuh membangun bahtera di tengah cibiran dan ejekan, hari ini kita mesti membangun ketahanan: memurnikan tauhid, memperkuat kemandirian, dan menyiapkan jiwa untuk tetap teguh ketika seluruh dunia terperangkap dalam “solusi” yang sejatinya adalah perangkap.
Sebab, fitnah terbesar Dajjal bukanlah teknologinya, melainkan ilusi bahwa manusia bisa hidup tanpa Tuhan. Dan di saat itulah, kebenaran akan terungkap, bahwa yang bertahan bukanlah yang paling terhubung dengan sistem, melainkan yang paling terhubung dengan Sang Pencipta Supra Sistem.
“Maka bersabarlah, karena sesungguhnya janji Allah itu benar.” (QS. Ar-Rum: 60).
والله أعلم
MS 02/05/25
(Foto: ilustrasi/ISR)
Posted in SOSBUD
GETARBABEL.COM, BANGKA — Polres Bangka menggelar kegiatan Tes Psikologi Senjata…
GETARBABEL.COM, BANGKA- Jum’at (29/11/2024), Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Sungailiat mulai…
GETARBABEL .COM, JAKARTA – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menjatuhkan…
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sejumlah ASN…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sungguh miris…
GETARBABEL.COM, BANGKA- Kawasan hutan seluas…