3 Bidang Tanah Milik Tersangka JGP Seluas 11,7 Ha Disita Kejagung
By beritage |
JAKARTA–Kapuspenkum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana merilis informasi terbaru terkait kasus…
Friday, 2 May 2025
Oleh : Maman Supriatman || Alumni HMI
Kita sedang menghadapi rekayasa besar: sebuah proyek global yang berupaya menghapus batas bangsa, agama, dan identitas, demi membentuk satu sistem dunia tunggal yang terpusat, terkontrol, dan tanpa ruang bagi Wahyu.
KITA hidup di zaman ketika keputusan politik tak lagi sepenuhnya berada di tangan manusia. Di balik layar sistem demokrasi modern, algoritma mulai mengambil alih peran musyawarah, mengandalkan data besar dan kecerdasan buatan untuk memetakan, mengarahkan, bahkan memprediksi kehendak publik.
Ini adalah bentuk baru kekuasaan: kekuasaan tanpa wajah, tanpa suara, namun sangat menentukan arah hidup manusia.
Demokrasi algoritmik lahir dari keyakinan bahwa data dapat mewakili suara rakyat, bahkan lebih akurat daripada kehendak sadar mereka sendiri.
Namun, di sinilah letak paradoksnya: manusia yang sebelumnya dipercaya untuk menentukan nasibnya sendiri, kini justru diminta percaya kepada mesin yang tak mengenal nurani.
Inilah era ketika suara hati digantikan oleh suara statistik, dan keputusan kolektif digantikan oleh keputusan yang dikalkulasi.
Kuasa Politik di Tangan Algoritma: Ilusi Pilihan dalam Era Prediksi
Dalam sistem politik masa depan, algoritma akan (dan dalam banyak hal, sudah) menjadi aktor utama. Dengan teknologi psikometrik dan analisis perilaku, sistem kecerdasan buatan mampu meramalkan apa yang akan dipilih seseorang bahkan sebelum ia menyadarinya.
Ini bukan lagi teori fiksi ilmiah, tapi sudah menjadi praktik dalam kampanye politik berbasis micro-targeting, sistem peringkat sosial, dan e-voting cerdas.
Fenomena ini mengingatkan kita pada sabda Nabi Muhammad SAW dalam Shahih Muslim tentang Dajjal yang membawa surga dan neraka, ilusi pilihan yang menyesatkan.
Demokrasi algoritmik menjanjikan efisiensi dan keadilan, namun diam-diam menghapus kesadaran dan kebebasan.
Keputusan yang tampak “netral” justru dibentuk oleh kerangka yang sangat bias, didesain untuk mengarahkan manusia kepada kepentingan para perancang sistem.
Musyawarah vs Prediksi: Menghidupkan Kembali Ali Imran 159
“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu…” (Ali Imran: 159). Ayat ini tidak sekadar perintah teknis, melainkan inti dari kepemimpinan spiritual: proses kolektif yang menghargai hati nurani, pengalaman, dan hikmah umat.
Sebaliknya, demokrasi algoritmik menganulir musyawarah dan menggantikannya dengan statistik. Ia menjadikan masyarakat sebagai objek eksperimen sosial, bukan subjek aktif dalam membentuk masa depan.
Dalam sistem ini, manusia tak lagi menjadi makhluk yang berdialog, tapi hanya angka dalam sistem pemrosesan data.
Manusia sebagai Node Data: Tafsir Kontemporer Al-Baqarah 30-33
Ketika Allah menyatakan kepada para malaikat bahwa Dia akan menciptakan khalifah di bumi, malaikat mempertanyakan potensi kerusakan manusia.
Namun Allah membalas dengan menunjukkan kemampuan manusia untuk _ta’allama al-asmaa_, mengetahui, memahami, menamai, dan memilih.
Bandingkan dengan manusia dalam sistem digital saat ini: ia tidak lagi diberi ruang untuk memahami secara sadar, tetapi diarahkan oleh pola-pola perilaku yang telah dimodelkan sebelumnya.
Dalam logika ini, manusia lebih mirip makhluk terprogram daripada makhluk pemilih. Nilai kemanusiaan yang hakiki sebagai khalifah menjadi kabur.
Hilangnya Ikhtiar dalam Dunia yang Dikendalikan Algoritma
Di balik setiap pilihan yang tampak bebas di media sosial atau platform digital, tersembunyi logika algoritma yang telah membentuk lingkungan informasional kita.
Filter bubble, echo chamber, dan predictive targeting mengikis kebebasan berpikir. Manusia tidak lagi memilih secara sadar, tetapi hanya bereaksi terhadap opsi-opsi yang telah dikurasi oleh mesin.
Dalam konteks Islam, ini adalah bahaya besar karena mengikis ikhtiar (usaha sadar), yang merupakan syarat eksistensial dari tanggung jawab moral. Manusia tanpa ikhtiar adalah manusia yang kosong dari makna.
Perspektif Eskatologi Islam
Syekh Imran Hosein sering menekankan bahwa sistem Dajjal bukan hanya simbolik, melainkan nyata, termasuk dalam bentuk tatanan global yang menggantikan petunjuk Ilahi dengan logika materialistik.
Demokrasi algoritmik adalah satu bentuk dari tatanan ini: menghapus musyawarah, menggantikan nurani dengan angka, dan memperdaya umat manusia agar merasa mereka masih berdaulat, padahal telah dikendalikan.
Dalam kacamata Eskatologi Islam, dominasi sistem ini adalah bagian dari keretakan besar dunia, “fitnah” terbesar menjelang akhir zaman. Ia bukan sekadar masalah teknologi, tapi masalah akidah: kepada siapa manusia menyerahkan keputusannya: kepada Allah, atau kepada sistem buatan manusia?
Ilustrasi: Demokrasi Lembaga Survei
Fenomena demokrasi algoritmik tidak hanya terjadi di negara-negara maju. Dalam konteks Indonesia, gejala serupa tampak jelas, terutama sejak tiga Pemilu terakhir: 2014, 2019, dan 2024.
Peran lembaga survei dalam membentuk persepsi publik menjelma menjadi kekuatan politik tersendiri, bahkan lebih menentukan daripada visi-misi atau kualitas kandidat.
Dengan pendekatan statistik, framing media, dan penyajian data secara selektif, lembaga survei telah menciptakan ilusi konsensus dan menggiring opini publik untuk menerima hasil tertentu sebagai takdir demokrasi.
Bahkan sebelum hari pemungutan suara, hasil akhir sudah “dipersiapkan” melalui bombardir prediksi yang berulang.
Apa yang terjadi bukan sekadar pengukuran kehendak rakyat, tetapi rekayasa arah politik melalui logika prediksi.
Pemilu tak lagi menjadi proses partisipatif yang menghargai kesadaran kolektif, tetapi menjadi panggung simulasi yang dikendalikan oleh aktor-aktor algoritmik dan teknokratik.
Dalam konteks ini, demokrasi Indonesia tidak kebal dari “fitnah terbesar” zaman ini: tunduk pada kekuasaan yang tak terlihat, namun sangat menentukan.
Ke Kota Serang naik sepeda,
Mata tajam menatap terang.
Survei dibayar demi agenda,
Yang kalah menjadi tampak curang.
Ke pasar pagi beli pepaya,
Langkah cepat meski berpeluh.
Citra dijual di media maya,
Suara rakyat tenggelam luruh.
Ke warung kopi duduk bersila,
Politisi bersandiwara kata.
Survei disebut demokrasi mulia,
Padahal hanya tipu daya semata.
Ke bukit sunyi kala fajar,
Kabut turun memutar nalar.
Narasi disusun setajam senar,
Namun Tuhan tak bisa dibayar.
Epilog: Bayang-Bayang Rekayasa Dunia Tunggal
Ketika bumi retak oleh dominasi teknologi tanpa nilai, dan kesadaran manusia disempitkan oleh prediksi algoritmik, kita menyaksikan lebih dari sekadar kemajuan.
Kita sedang menghadapi rekayasa besar: sebuah proyek global yang berupaya menghapus batas bangsa, agama, dan identitas, demi membentuk satu sistem dunia tunggal yang terpusat, terkontrol, dan tanpa ruang bagi Wahyu.
Dalam narasi Eskatologi Islam, inilah “fitnah terbesar” Dajjal: membangun dunia yang tampak rasional dan efisien, namun sesungguhnya menjauhkan manusia dari fitrahnya. Sistem ini menawarkan ilusi keadilan digital, padahal melucuti kehendak bebas dan menggantinya dengan ketaatan pada mesin.
Maka, tugas kita bukan melawan teknologi, tapi melawan narasi tunggal yang menggantikan Allah dengan algoritma, musyawarah dengan statistik, dan nurani dengan data. Kita harus membela ruang spiritual di tengah sistem global yang ingin menghapusnya.
Jiwa yang tenang adalah benteng terakhir umat. Ia bersandar bukan pada pusat data, tapi pada pusat petunjuk Wahyu Ilahi. Ia tahu bahwa hidup bukan tentang dikendalikan, tapi tentang memilih dengan sadar. Di tengah bumi yang direkayasa menjadi satu, hanya jiwa yang setia pada langit yang tetap utuh.
والله اعلم
MS 01/05/25
(Foto: ilustrasi/IST)
Posted in SOSBUD
JAKARTA–Kapuspenkum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana merilis informasi terbaru terkait kasus…
Oleh : Abu Hanif SH || Tokoh Masyarakat Belinyu PEMBAHASAN…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Reputasi Azis, warga Sungailiat Kabupaten Bangka sebagai…
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sejumlah ASN…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sungguh miris…
GETARBABEL.COM, BANGKA- Kawasan hutan seluas…