Jiwa Yang Tenang Di Tengah Bumi Yang Retak (10):  Menyusuri Lorong Waktu Menuju Pax Judaica

images (7)

Oleh : Maman Supriatman || Alumni HMI

DUNIA kita bukan sekadar retak. Ia sedang mengalami pergeseran lempeng-lempeng peradaban yang bergerak dalam diam, menggemakan gemuruh yang hanya bisa didengar oleh mereka yang mau menyimak bahasa zaman. 

Retakan ini bukan fenomena abad ke-21 semata, melainkan kelanjutan dari rekahan kosmik yang sudah dimulai sejak menara Babel mulai dibangun, sejak imperium-imperium kuno saling menggantikan dalam tarian kekuasaan yang tak pernah usai.

Di abad kita sekarang, retakan itu mengambil bentuk yang semakin jelas: sistem internasional yang goyah, nilai-nilai lama yang tercerabut dari akarnya, dan kegelisahan kolektif yang merayap di bawah permukaan kehidupan modern yang tampak gemerlap. 

Kita hidup di era transisi besar-besaran, saat tatanan dunia yang kita kenal perlahan runtuh, sementara bentuk baru belum sepenuhnya terwujud. 

Dalam ruang antara ini, sejarah seperti sedang menarik nafas panjang sebelum melompat ke babak berikutnya.

Runtuhnya Para Raksasa: Dari Pax Britannica ke Pax Americana

Pax Britannica adalah mahakarya rekayasa geopolitik yang mengagumkan. Selama hampir seabad, kerajaan kecil di sebuah pulau di Eropa Utara itu mampu menguasai seperempat daratan dunia dan mengendalikan jalur-jalur perdagangan global. 

Mereka menciptakan sistem yang menjadikan Pound Sterling sebagai mata uang dunia, bahasa Inggris sebagai lingua franca, dan angkatan laut mereka sebagai penjaga perdamaian global. 

Namun seperti semua imperium sebelumnya, kerajaan ini mengandung benih-benih kehancurannya sendiri.

Perang Dunia I adalah pukulan telak pertama. Perang Dunia II menjadi pukulan pamungkas. Di Bretton Woods tahun 1944, kita menyaksikan detak jantung terakhir Pax Britannica ketika Amerika mengambil alih peran sebagai penjamin sistem moneter global. 

Krisis Suez 1956 adalah upacara pemakaman resminya, saat Amerika memaksa Inggris dan Prancis mundur dari Mesir, mengukuhkan siapa yang kini menjadi tuan rumah di pentas dunia.

Pax Americana yang menggantikannya adalah fenomena yang unik dalam sejarah. Tidak seperti imperium-imperium sebelumnya yang mengandalkan pendudukan teritorial langsung, Amerika membangun hegemoninya melalui jaringan yang lebih halus namun tak kalah kuat: pangkalan militer di seluruh dunia, dominasi budaya melalui Hollywood dan industri musik, kontrol atas sistem keuangan global, dan yang terpenting, Petrodolar yang menjadikan setiap transaksi minyak bumi sebagai penguat kekuatan ekonominya.

Krisis Eksistensial Sebuah Hegemoni

Namun hari ini, raksasa itu sedang sakit. Amerika Serikat abad ke-21 adalah negeri yang terbelah oleh kontradiksi internalnya sendiri. Ketimpangan ekonomi yang semakin lebar telah menciptakan jurang sosial yang tak terjembatani. 

Sistem politiknya terjebak dalam polarisasi yang semakin dalam, di mana dialog rasional telah digantikan oleh teriakan ideologis. 

Budaya popnya yang dulu menjadi senjata soft power kini berubah menjadi bumerang, mengekspor dekadensi daripada nilai-nilai inspiratif.

Di panggung internasional, posisinya semakin terpojok. Kebangkitan China sebagai pesaing strategis, ketangguhan Rusia yang tak terduga, dan munculnya kekuatan-kekuatan regional yang semakin percaya diri telah membuat unipolar moment pasca-Perang Dingin menjadi kenangan yang semakin kabur. 

Inisiatif seperti BRICS, penggunaan mata uang lokal dalam perdagangan internasional, dan semakin banyaknya negara yang menolak didikte oleh Washington, adalah gejala-gejala jelas dari pergeseran ini.

Yang lebih menarik adalah bagaimana semua ini beresonansi dengan nubuat-nubuat kuno. Dalam tradisi Islam, disebutkan bahwa menjelang akhir zaman, kekuatan besar akan mengalami kemunduran sementara “Romawi” (yang sering diinterpretasikan sebagai Barat) akan terlibat dalam konflik besar. 

Apakah kita sedang menyaksikan fase awal dari penggenapan nubuat ini?

Zionisme sebagai Proyek Sejarah

Di tengah gejolak transisi kekuasaan global ini, satu fenomena menonjol dengan jelas: kebangkitan Israel sebagai aktor geopolitik yang semakin penting. Namun untuk memahami ini sepenuhnya, kita harus menelusuri akar-akar historisnya yang dalam.

Gerakan Zionisme modern secara resmi dimulai pada akhir abad ke-19, tetapi benih-benihnya sudah tertanam ribuan tahun sebelumnya dalam kesadaran kolektif Yahudi tentang “tanah yang dijanjikan”. 

Pengusiran dan diaspora yang berulang-ulang justru memperkuat ikatan spiritual dengan Yerusalem dalam imajinasi Yahudi. 

Setiap Paskah Yahudi diakhiri dengan seruan “Tahun depan di Yerusalem!”, sebuah mantra yang menjaga harapan akan kembali selama berabad-abad.

Deklarasi Balfour 1917 bukanlah awal dari proses ini, melainkan titik balik penting ketika kekuatan imperial utama saat itu memberikan legitimasi politik pada aspirasi Yahudi. 

Holocaust kemudian menjadi katalis yang mengubah simpati internasional menjadi dukungan konkret bagi berdirinya negara Israel pada 1948.

Namun, apa yang terjadi sejak itu jauh melampaui sekadar pendirian sebuah negara bangsa biasa. Israel telah bertransformasi dari negara kecil yang berjuang untuk bertahan menjadi kekuatan regional dengan pengaruh global yang tidak proporsional dengan ukuran geografis atau demografinya.

Yerusalem sebagai Pusat Gravitas Baru

Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan percepatan proses yang luar biasa. Normalisasi hubungan antara Israel dan negara-negara Arab melalui Abraham Accords adalah perkembangan yang tak terbayangkan sepuluh tahun sebelumnya. 

Yerusalem yang dulu menjadi titik sengketa kini semakin diterima sebagai ibukota Israel, bahkan oleh sebagian negara Muslim.

Di bidang ekonomi, Israel telah menjadi pusat inovasi teknologi yang menarik investasi global. Di bidang militer, kemampuannya telah melampaui sekadar pertahanan diri menjadi kekuatan proyeksi yang disegani. Dalam diplomasi internasional, suaranya semakin didengar di forum-forum global.

Yang lebih menarik adalah perkembangan di bidang spiritual. Gerakan-gerakan yang mendorong pembangunan Bait Suci Ketiga semakin mendapatkan momentum. Persiapan-persiapan teknis, mulai dari penelitian arkeologi hingga pelatihan imam-imam dari suku Lewi, menunjukkan bahwa ini bukan lagi sekadar mimpi kaum marginal, melainkan proyek yang sedang dipersiapkan secara serius.

Pax Judaica sebagai Fase Transisi

Dalam kerangka Eskatologi Islam, semua perkembangan ini bukanlah rangkaian peristiwa acak, melainkan bagian dari skenario besar yang sedang menggenap. 

Konsep Pax Judaica, suatu tatanan dunia yang berpusat pada Israel, dipahami sebagai fase transisi menuju klimaks akhir zaman.

Tiga syarat utama untuk kemunculan Dajjal adalah: kembalinya Yahudi ke Palestina, berdirinya negara Israel, dan Yerusalem menjadi pusat kekuasaan dunia

Dua syarat pertama telah terpenuhi. Yang ketiga sedang dalam proses penggenapan. Ketika ketiganya lengkap, panggung akan siap untuk aktor utama (Dajjal) dalam drama kosmik ini.

Namun, Pax Judaica bukanlah akhir cerita, melainkan fase yang harus dilalui sebelum penyelesaian akhir. Ia adalah kegelapan sebelum fajar, ujian terberat sebelum kemenangan terakhir.

Di tengah arus besar sejarah ini, posisi umat Islam adalah unik. Mereka adalah satu-satunya komunitas keagamaan besar yang memiliki narasi lengkap tentang akhir zaman, termasuk peran mereka sendiri dalam drama kosmik tersebut.

Pengetahuan ini seharusnya memberikan ketenangan, bukan kepanikan. Karena dalam tradisi Islam, setelah masa ujian terberat akan datang Campur Tangan Ilahi melalui kemunculan Imam Mahdi dan turunnya Nabi Isa. Dajjal dan sistemnya akan dikalahkan, dan keadilan akan ditegakkan.

Oleh karena itu, sikap yang tepat bukanlah putus asa atau reaktif, melainkan kesadaran mendalam bahwa kita sedang hidup di zaman istimewa yang ditunggu-tunggu oleh generasi-generasi sebelumnya. Setiap kesulitan yang kita hadapi hari ini adalah bagian dari proses pemurnian dan persiapan.

Epilog: Ketika Bumi Semakin Retak

Kita adalah generasi yang ditakdirkan menyaksikan peralihan zaman. Seperti penonton di tepi sungai sejarah yang melihat dua arus besar bertemu, kita berada di posisi istimewa untuk memahami makna dari semua yang terjadi.

Kita bisa memilih untuk tetap terbenam dalam ketakutan dan kebingungan, hanyut bersama derasnya gelombang perubahan, atau kita memilih untuk berdiri tegak, menyadari bahwa setiap retakan dalam tatanan dunia lama adalah peluang untuk menanam benih-benih peradaban baru.

Ketika gemuruh zaman semakin keras dan retakan bumi semakin dalam, jiwa-jiwa yang tenang menjadi mercusuar harapan. Mereka yang mampu menyimak bahasa zaman, memahami bahwa perubahan besar bukanlah akhir, melainkan awal dari sebuah babak baru.

Di lorong waktu yang gelap, cahaya iman dan kesadaran akan terus bersinar. Dalam kekacauan, jiwa-jiwa yang tenang menemukan kekuatan untuk berdiri teguh, memegang nilai-nilai yang tak lekang oleh waktu.

Ketika bumi terus bergetar dan zaman terus bergulir, jiwa yang tenang menjadi saksi bisu dari perjalanan panjang manusia yang belum tergoreskan. Dalam keheningan, mereka menemukan jawaban atas setiap pertanyaan yang belum terjawab, dan dalam kedamaian, mereka menemukan kekuatan untuk melangkah maju. 

Sejarah tidak bergerak secara acak atau tanpa arah; ia bergerak menuju suatu tujuan yang telah ditetapkan. Sebagaimana dalam surah Al-Ankabut: “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, ‘Kami telah beriman,’ dan mereka tidak diuji?” (QS. Al-Ankabut: 2)

Setiap ujian, setiap perubahan, adalah bagian dari perjalanan menuju titik akhir yang lebih besar. Transisi yang kita hadapi saat ini bukanlah kekacauan belaka, tetapi proses pemurnian yang memperkuat kita, menyiapkan umat manusia untuk tatanan baru yang lebih adil, sesuai dengan Kehendak Ilahi. 

Setiap gempa bumi yang mengguncang, setiap kehancuran yang terjadi, adalah bagian dari proses penyucian yang akan mengantarkan kita pada sebuah peradaban yang lebih baik, sebuah fase sejarah dalam narasi takdir besar umat manusia dan peradabannya.

والله أعلم

MS 28/04/25

(foto: ilustrasi/IST)

Posted in

BERITA LAINNYA

Meski Wajib, Wakil Ketua DPRD ini Tak Mau Menjalankan Reses. Inilah Penyebabnya

GETARBABEL.COM, BANGKA- Pernyataan PLT Sekretaris Al Imran  menyebut bahwa kegiatan…

30 Alumni dan Mahasiswa Polman Babel Ikuti Seleksi Karyawan PT Yokogawa

GETARBABEL.COM, BANGKA — Politeknik Manufaktur Negeri Bangka Belitung (Polman Babel)…

Ombak Tinggi, Sat Polairud Polres Bangka Himbau Pengunjung Pantai Hati- hati Berenang

GETARBABEL.COM, BANGKA — Satuan Polisi Air Udara (Sat Polairud) Polres…

POPULER

HUKUM

hipk

IPTEK

drone

TEKNOLOGI