8 Lokasi Tempat Hiburan Malam di Kota Madiun Dirazia Satpol PP, Apa Hasilnya?
By beritage |
Untuk menciptakan ketertiban dan keamanan di tengah masyarakat, Petugas Satuan Polisi…
Wednesday, 30 April 2025
Oleh : Maman Supriatman || Alumni HMI
Jangan cari Dajjal di gua-gua gelap atau bayangan monster. Carilah di layar ponselmu, di pasar uang, di pusat kekuasaan yang memutuskan nasibmu tanpa bertanya.
Dunia sedang diuji bukan oleh makhluk bermata satu dan bertanduk secara literal, tetapi oleh sistem global yang membuat kita menerima kebatilan sebagai keniscayaan.
Tulisan ini mengkaji bagaimana Dajjal, dalam perspektif Eskatologi Islam kontemporer, beroperasi bukan sebagai sosok mitologis semata, tetapi sebagai arsitek dari sistem kontrol global yang melibatkan elit dunia dan organisasi simbolik.
Melalui pendekatan reflektif, simbolik, dan kritis terhadap hadis-hadis akhir zaman serta pemikiran Syekh Imran N. Hosein, tulisan ini menunjukkan bahwa komunikasi antara Dajjal dan elit global tidak bersifat verbal-literal, tetapi berlangsung melalui infiltrasi nilai, manipulasi persepsi, dan penyamaran sistemik yang mendistorsi realitas dan kebenaran.
Penyamaran Dajjal melalui Sistem Nilai dan Ilusi
Dalam sebuah hadis, Nabi SAW bersabda bahwa bersama Dajjal ada surga dan neraka, tetapi “nerakanya adalah surga dan surganya adalah neraka” (HR Muslim, 2934).
Tafsir simbolik terhadap hadis ini menggambarkan bahwa fitnah Dajjal muncul dalam bentuk sistem yang tampak memberi kesejahteraan: teknologi, kekuasaan, stabilitas, tetapi sejatinya merusak akidah dan tauhid manusia.
Syekh Imran Hosein menyebut ini sebagai “fitnah sistemik” (Jerusalem in the Qur’an, 2002), di mana umat manusia dikondisikan untuk hidup dalam dunia yang dikendalikan oleh nilai-nilai terbalik, ilusi digital, ekonomi ribawi, dan politik global yang memarjinalkan spiritualitas.
Ini merupakan bentuk “komunikasi ideologis” antara Dajjal dan elit dunia, di mana tidak ada komunikasi verbal, melainkan pembentukan struktur berpikir yang menyesatkan.
Organisasi Rahasia sebagai Jaringan Inisiasi Ideologis
Freemasonry, Illuminati, dan kelompok-kelompok serupa sering kali disebut sebagai entitas pendukung Dajjal.
Namun, dalam pendekatan akademik-eskatologis, lebih penting untuk melihat fungsi simbolik mereka: sebagai jaringan inisiasi ideologis yang mengarahkan elit global kepada pola pikir sekuler dan antispiritual.
Karen Armstrong (The Battle for God, 2000) menyatakan bahwa institusi modern sering menyamar sebagai rasional dan netral, padahal membawa agenda ideologis yang dalam.
Syekh Imran Hosein menyebut proses ini sebagai “inisiasi Dajjalik”, di mana elit global secara tidak sadar menjadi pengikut sistem Dajjal melalui kontrol pendidikan, ekonomi, dan media.
Mekanisme Penyamaran: Distorsi, Monopoli, dan Teknologi
Dajjal menyamarkan dirinya melalui tiga mekanisme utama:
Distorsi Kebenaran (The Great Deception): Media modern memanipulasi persepsi publik. Studi MIT (2023) menemukan bahwa hoaks menyebar enam kali lebih cepat dibanding fakta.
Ini paralel dengan simbol “mata buta” Dajjal; kebenaran yang cacat. Contohnya adalah narasi palsu tentang senjata pemusnah massal dalam invasi Irak 2003.
Monopoli Sumber Daya Vital: Empat korporasi menguasai lebih dari 60% pasar benih dunia (ETC Group, 2023), menciptakan ketergantungan pangan global.
Sistem keuangan ribawi global juga merefleksikan janji palsu Dajjal yang “membawa air dan api”; seolah menyelamatkan, padahal menjerumuskan.
Teknologi sebagai “Mata Dajjal”: Sistem pengawasan seperti Social Credit System di China dengan ratusan juta kamera, dan Metaverse yang mengalihkan manusia dari kenyataan, adalah realisasi metafora hadis tentang Dajjal yang “melihat dari kejauhan seperti awan diterpa angin”.
Arsitektur Kuasa Elit Global dalam Dunia Modern
Di balik panggung demokrasi dan kemajuan teknologi, tersimpan suatu arsitektur kuasa yang terorganisir dan tersembunyi: elit global.
Mereka bukanlah tokoh fiktif atau hasil imajinasi paranoid, tetapi jaringan nyata yang terdiri dari sekelompok kecil individu dan institusi yang mengendalikan sumber daya utama dunia: politik, ekonomi, media, pendidikan, hingga budaya, dengan tujuan mempertahankan dominasi dan agenda jangka panjang mereka.
Dalam politik, elit global bekerja dari balik layar. Mereka membiayai kampanye, memanipulasi opini publik melalui media, dan mendikte kebijakan lewat lembaga internasional.
Seperti yang dikatakan Noam Chomsky, “The smart way to keep people passive and obedient is to strictly limit the spectrum of acceptable opinion.” (Cara cerdas untuk membuat orang tetap pasif dan taat adalah dengan secara ketat membatasi spektrum opini yang dapat diterima.) Demokrasi, dalam sistem ini, kerap menjadi kemasan, bukan isi.
Di bidang ekonomi, dominasi mereka beroperasi melalui lembaga keuangan global seperti IMF, Bank Dunia, dan bank-bank sentral. Mereka mengatur sistem riba global dan krisis ekonomi rekayasa.
Ekonom John Perkins dalam bukunya Confessions of an Economic Hitman menulis: “Economic hit men are highly paid professionals who cheat countries around the globe out of trillions of dollars.” (Para penipu ekonomi adalah profesional bergaji tinggi yang menipu negara-negara di seluruh dunia hingga triliunan dolar.) Dalam logika ini, utang dijadikan alat kolonisasi baru.
Media arus utama, yang tampak netral, sebenarnya menjadi corong kekuasaan. Edward Bernays, bapak propaganda modern, pernah menyatakan: “The conscious and intelligent manipulation of the organized habits and opinions of the masses is an important element in democratic society.” (Manipulasi sadar dan cerdas terhadap kebiasaan dan opini massa yang terorganisir adalah elemen penting dalam masyarakat demokratis.)
Narasi dibentuk, opini diarahkan, dan kebenaran yang tidak sesuai dibungkam secara sistemik.
Pendidikan tak luput dari cengkeraman. Sistem pendidikan dirancang bukan untuk membebaskan pikiran, tetapi untuk mencetak pekerja taat bagi sistem pasar.
Seperti yang pernah dikritik Ivan Illich, “School is the advertising agency which makes you believe that you need the society as it is.” (Sekolah adalah agen iklan yang membuat Anda percaya bahwa Anda membutuhkan masyarakat seperti adanya.)
Teknologi, meski menjanjikan kemudahan, menjadi alat pengawasan. Melalui algoritma, big data, dan kecerdasan buatan, manusia dipetakan dan diarahkan tanpa sadar.
Yuval Noah Harari dalam Homo Deus mengingatkan: “Those who control the data, control the future.” (Mereka yang mengendalikan data, mengendalikan masa depan.)
Budaya dijadikan medium propaganda nilai-nilai sekuler, liberal, dan hedonistik. Melalui film, musik, dan media sosial, struktur keluarga, norma agama, dan spiritualitas disubversi perlahan.
Strategi ini bukan kebetulan, melainkan desain dari sistem yang ingin melemahkan fondasi moral masyarakat.
Yang lebih mengkhawatirkan, semua ini terorganisir melalui jaringan tertutup; dari kelompok rahasia seperti Freemason hingga forum elite seperti Bilderberg dan World Economic Forum.
Mereka bukan sekadar klub diskusi, melainkan forum koordinasi narasi dan arah global.
Elit global tidak selalu hadir dalam bentuk diktator. Mereka hadir dalam bentuk sistem: halus, sistemik, dan dibungkus retorika “kemajuan”, “kemanusiaan”, dan “demokrasi”.
Seperti yang pernah dikatakan George Orwell, “The further a society drifts from truth, the more it will hate those who speak it.” (Semakin jauh suatu masyarakat dari kebenaran, semakin besar kebenciannya terhadap mereka yang mengungkapkan kebenaran.)
Untuk melawan sistem ini, dibutuhkan kesadaran, keberanian berpikir mandiri, dan peneguhan nilai-nilai spiritual yang tak bisa dibeli.
Elit Global: Korban atau Pelaku?
Elit global bukanlah individu jahat secara personal, melainkan bagian dari sistem nilai yang menyimpang. Mereka berada dalam jaringan kekuasaan yang menciptakan ketimpangan ekstrem.
Laporan Oxfam (2024) menyebut bahwa 1% elit menguasai 54% kekayaan dunia; fenomena yang mengingatkan pada sabda Nabi bahwa “Dajjal akan menguasai seluruh bumi kecuali Makkah dan Madinah”.
Tokoh-tokoh seperti Larry Fink (BlackRock) dan Klaus Schwab (WEF) menjadi simbol dari kekuatan korporat dan visi teknokratis global yang sejalan dengan sistem Dajjal: menghapus kepemilikan individu, mengatur perilaku sosial melalui algoritma, dan membentuk masa depan melalui rekayasa narasi.
Epilog: Wahyu Terbalik dan Jalan Perlawanan
Bila Wahyu Ilahi adalah lentera kebenaran, maka meninggalkannya demi merangkul zaman adalah kegelapan itu sendiri.
Al-Qur’an dan Sunnah bukan warisan beku yang tunduk pada sejarah, melainkan petunjuk abadi yang menembus zaman, menjawab keresahan, dan membimbing langkah umat di samudra tipu daya.
Justru di era penuh kamuflase moral dan dusta global inilah, cahaya wahyu kian dibutuhkan untuk menuntun umat agar tak larut dalam bujuk rayu narasi palsu yang berselimut ilmu, politik, dan slogan kemanusiaan semu.
Namun hidayah tak berpulang kepada akal yang pongah atau hati yang tertutup. Bashirah, mata hati yang jernih, hanya lahir dari jiwa yang tunduk dan akal yang berserah.
Ia menyinari pandangan agar mampu menembus tipuan Dajjal zaman ini, yang memutarbalikkan hakikat: menyulap batil jadi benar, menjadikan kegelapan tampak bercahaya.
Maka tugas kita bukan sekadar memahami teks, tapi menghidupkannya, menyelaraskan nash dan realitas dalam satu nafas iman.
Akhir zaman bukanlah sekadar fase sejarah, tetapi panggilan jiwa. Dalam arus besar ilusi global, mereka yang mampu berdiri tegak sebagai saksi kebenaran adalah yang menjadikan wahyu sebagai cermin, bukan sekadar jubah.
Di pundak merekalah beban kenabian dititipkan, agar cahaya tak padam, dan umat tak kehilangan arah.
والله أعلم
MS 30/04/25
Posted in SOSBUD
Untuk menciptakan ketertiban dan keamanan di tengah masyarakat, Petugas Satuan Polisi…
Oleh : Maman Supriatman || Alumni HMI Jangan cari Dajjal…
GETARBABEL.COM, PANGKLPINANG – Kabar baik diberikan Penjabat (Pj) Wali Kota…
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sejumlah ASN…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sungguh miris…
GETARBABEL.COM, BANGKA- Kawasan hutan seluas…