Dua PKS Stop Beroperasi, Petani Sawit Ancam Demo Kajati Babel
By beritage |
GETARBABEL.COM, BANGKA TENGAH- Setelah terhentinya operasional dua unit pabrik kelapa…
Saturday, 14 June 2025
Oleh : Maman Supriatman || Alumni HMI
Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dalam keadaan ridha dan diridhai. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. Al-Fajr: 30).
AYAT ini sering dibaca saat jenazah terbujur kaku. Tapi sejatinya, ayat ini adalah pesan hidup, panggilan abadi bagi jiwa-jiwa yang memilih untuk tenang saat dunia gemetar. Ia adalah panggilan bukan hanya untuk mati dengan _husnul khatimah_(akhir kehidupan yang baik), tapi lebih dahulu untuk hidup dengan _husnul hayah_ (kehidupan yang baik).
Ketika bumi retak, langit menghitam, dan kabar-kabar buruk datang dari segala arah, jiwa muthmainnah tetap berdiri. Ia tidak tuli terhadap berita duka, tapi juga tidak hanyut dalam pusaran kekalutan.
Ia hadir, sadar, dan teguh. Sebagaimana Nabi Ibrahim tetap tenang di tengah kobaran api, dan Maryam tetap sabar saat dituduh tanpa ampun. Jiwa muthmainnah belajar dari mereka yang memilih keheningan atas kepanikan.
Dunia hari ini bukan sekadar gaduh, tapi gelisah: Perang tiada henti, penindasan politik, ketimpangan ekonomi struktural, kerusakan lingkungan, anomali budaya dan sistem nilai, hancurnya institusi pernikahan, sistem pengetahuan dan pendidikan yang makin menjauh dari nilai-nilai spiritual.
Semuanya telah menciptakan iklim global yang kering dari kasih. Manusia kelelahan, bukan hanya secara fisik, tapi secara eksistensial.
Media sosial menjerit tiap detik, menawarkan simulasi kebahagiaan dan kekhawatiran dalam paket yang sama. Kebenaran menjadi relatif, dan ketenangan menjadi barang langka.
Sebagaimana disebut dalam hadits: “Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh tipu daya: orang yang berdusta dipercaya, dan orang yang jujur didustakan” (HR. Ahmad).
Maka jiwa muthmainnah adalah yang tetap memegang kebenaran meski terlihat ganjil.
Al-Qur’an tidak menyuruh kita melarikan diri dari dunia, melainkan menanamkan ketenangan di tengah dunia. Jiwa muthmainnah bukan jiwa yang terisolasi dari realitas, tapi jiwa yang berhasil membangun pusat kedamaian di tengah badai zaman.
Spiritualitas yang Membumi
Kedamaian sejati bukan pelarian ke tempat sunyi, melainkan keheningan batin di tengah hiruk pikuk. Jiwa muthmainnah bukan berarti tidak merasa sakit, tapi tahu kepada siapa ia bersandar.
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28).
Ayat ini bukan sekadar dzikir lisan, tapi ajakan untuk kembali ke pusat orientasi hidup: kepada Allah, bukan kepada dunia.
Di tengah dunia yang gersang makna, dzikir adalah seni menghidupkan jiwa. Ia adalah seni melampaui kegaduhan, kembali pada keheningan yang melahirkan kejernihan.
Menjadi _nafsul muthmainnah_ di era ini bukan perkara pasif, tapi perjuangan aktif. Ia mensyaratkan:
Kesadaran Profetik: Memandang dunia bukan hanya dengan logika statistik, tapi juga dengan nur nubuwah; melihat tanda-tanda zaman sebagai peringatan.
Kejernihan Moral: Menolak ikut arus keburukan. Menjaga integritas di tengah normalisasi dosa adalah laku utama jiwa yang tenang.
Spiritualitas Sosial: Jiwa yang tenang bukan hanya fokus pada keselamatan pribadi, tapi menjadi pelipur bagi dunia yang luka. Dalam dunia yang retak, kedamaian adalah bentuk tertinggi dari perlawanan.
Epilog: Panggilan Abadi
Ayat terakhir Surat Al-Fajr bukan penutup, tapi pintu masuk. Ia memanggil setiap jiwa untuk kembali, bukan sekadar ke akhirat, tapi ke asal-muasal jati diri: kepada Rabb yang Maha Damai.
Dalam khazanah sufisme, ada seruan abadi: “Mati sebelum mati”, menaklukkan ego dalam kehidupan untuk meraih kelahiran jiwa yang abadi. Ketenangan bukanlah pelarian, melainkan kematian atas segala kegelisahan duniawi yang fana.
Sebagaimana diajarkan Ibn ‘Ata’illah dalam Al-Hikam: “Barangsiapa menyaksikan Keagungan Tuhan, tenanglah ia dari gelisahnya diri.” Jiwa yang tenang adalah jiwa yang telah “mati” dari belenggu nafsu, lalu hidup dalam cahaya kepasrahan.
Di setiap retakan bumi, ada cahaya langit yang menyeruak. Di situlah jiwa-jiwa tenang ditempa: menjadi lentera di kegelapan, menjadi saksi bisu bahwa kedamaian sejati tetap mungkin, bahkan ketika dunia bergetar.
Di tengah puing kehancuran, Allah menanamkan benih-benih Surga melalui keteguhan hati hamba-Nya. Seperti angin yang tak terlihat namun mampu menerbangkan kapal. Ketenangan batin adalah kekuatan tak kasatmata yang menggerakkan perubahan.
Maka, berjalanlah dengan tenang; setiap langkah yang disertai dzikir adalah deklarasi iman. Bahwa kita takkan membiarkan retaknya dunia meretakkan hati yang telah berserah. Sebab, jiwa yang terdiam dalam Keheningan Ilahiah adalah jiwa yang paling keras menggema di langit.
والله أعلم
MS 19/04/25
(Foto: ilustrasi/IST)
Posted in SOSBUD
GETARBABEL.COM, BANGKA TENGAH- Setelah terhentinya operasional dua unit pabrik kelapa…
GETARBABEL.COM, BANGKA– Sejak mulai dibukanya pendaftaran calon bupati dan calon…
GETARBABEL.COM, BANGKA BARAT – Dalam merayakan HUT ke-79 TNI, Polres…
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sejumlah ASN…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sungguh miris…
GETARBABEL.COM, BANGKA- Kawasan hutan seluas…