Oknum Guru Tersinggung, Siswa Gagal Naik Kelas
By beritage |
* Orang tua Siswa Minta Oknum Guru Tak Berkompeten Dipecat…
Saturday, 8 November 2025
GETARBABEL.COM, BANGKA BARAT – Gerakan Pemuda Pangek Peduli (GPPP) menggelar Diskusi Publik bertema “Menelaah Masalah Tapal Batas Desa Pangek: Perspektif Hukum, Tata Ruang, dan Sosial untuk Solusi Berkeadilan”, Minggu, 26 Oktober 2025, di Gedung Serbaguna Desa Pangek, Kabupaten Bangka Barat.
Kegiatan ini menghadirkan tiga narasumber lintas disiplin, yaitu Reski Anwar, S.H., M.H. (Akademisi Hukum sekaligus Doseun Ilmu Hukum IAIN SAS BABEL), Fahri Setiawan S.P., M.Si. Dosen perencanaan wilayah dan tata ruang), serta Dr. Fitri Ramdhani Harahap, M.Si. (dosen sosiologi Universitas Bangka Belitung). Diskusi dipandu oleh Muda Afreiyanto selaku moderator.
Acara ini dihadiri oleh perangkat desa, tokoh masyarakat, akademisi, dan perwakilan lembaga pemerintah desa, serta bertujuan untuk mencari jalan tengah penyelesaian tapal batas Desa Pangek yang dianggap belum mencerminkan keadilan sosial maupun kepastian hukum.
Kegiatan ini diadakan oleh GPPP (Gerakan Pemuda Pangek Peduli) dan dibuka langsung oleh Sarmin A.Ma.Pd, selaku Kepala Desa Pangek. Dalam sambutannya beliau menyampaikan apresiasi kepada pemuda pangek yang sudah menginisiasi kegiatan ini dan ucapan terima kasih kepada pemateri.
Perspektif Hukum: Pentingnya Kepastian dan Prosedur yang Sah
Dalam pemaparannya, Reski Anwar, S.H., M.H. Menjelaskan bahwa dasar hukum batas desa adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan peraturan pelaksanaannya, yaitu Permendagri Nomor 45 Tahun 2016 tentang Pedoman Penetapan dan Penegasan Batas Desa. Selain itu, dasar hukum lainnya juga mencakup Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial.
Menurutnya, setiap keputusan batas wilayah harus melewati tahapan resmi mulai dari penelitian dokumen, survei lapangan, pemasangan pilar batas, hingga penandatanganan berita acara kesepakatan antar-desa. “Proses yang tidak melalui tahapan sesuai aturan bisa digugat secara hukum, baik melalui keberatan administratif maupun ke Pengadilan Tata Usaha Negara,” tegas Reski.
Ia menekankan bahwa penetapan batas bukan sekadar administrasi, tetapi landasan hukum bagi pembangunan, pengelolaan sumber daya alam, dan distribusi dana desa. Karena itu, ia mendorong agar pemerintah daerah segera membuka ruang mediasi dan transparansi prosedur agar konflik tidak berkepanjangan.

Perspektif Tata Ruang: Harus Berbasis Data Spasial dan Partisipatif
Sementara itu, Fahri Setiawan S.P., M.Si. Menyoroti masalah tapal batas dari aspek tata ruang dan geospasial. Ia menjelaskan bahwa SK Bupati saat pembentukan desa yg hanya memuat luasan desa tanpa adanya lampiran peta batas desa menjadi salah satu akar persoalan.
“Batas wilayah menentukan arah pembangunan dan pengelolaan ruang. Karena itu, harus ditetapkan berdasarkan data kartometrik resmi dan disepakati bersama masyarakat,” jelasnya.
Menurut Fahri, partisipasi masyarakat menjadi kunci dalam proses penyusunan dan revisi RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Setiap warga berhak memberikan masukan, keberatan, maupun data lapangan sebelum penetapan keputusan batas wilayah.
Ia menegaskan bahwa musyawarah publik harus menjadi bagian formal dari proses penataan ruang agar kebijakan memiliki legitimasi sosial dan tidak menimbulkan konflik horizontal.
Perspektif Sosial: Tapal Batas Bukan Sekadar Garis Peta
Dalam pandangan sosiologis, Dr. Fitri Ramdhani Harahap, M.Si. Menekankan bahwa tapal batas desa tidak bisa dipandang hanya dari sisi peta, tetapi juga sebagai simbol identitas sosial dan solidaritas masyarakat.
Ia menjelaskan bahwa perubahan batas wilayah Desa Pangek dari sekitar 32.000 hektare menjadi 9.396 hektare telah menimbulkan rasa kehilangan dan ketidakadilan sosial.
“Ketika batas wilayah diubah tanpa partisipasi warga, yang hilang bukan hanya tanah, tapi juga rasa memiliki dan kepercayaan terhadap pemerintah,” ungkap Fitri.
Dr. Fitri menilai bahwa kebijakan seperti Peraturan Bupati Bangka Barat Nomor 71 Tahun 2024, yang dianggap menetapkan batas tanpa musyawarah, dapat memicu resistensi sosial dan melemahkan kohesi masyarakat.
Ia merekomendasikan pembentukan Forum Musyawarah Tapal Desa Pangek yang melibatkan tokoh adat, pemuda, dan akademisi untuk mengawal proses mediasi dan pemetaan ulang secara partisipatif
“Keadilan sosial tidak bisa lahir dari keputusan sepihak. Ia harus dibangun melalui dialog, transparansi, dan pengakuan terhadap sejarah lokal,” tegasnya.
Kesimpulan dan Harapan Bersama
Diskusi publik ini menghasilkan kesepahaman bahwa penyelesaian tapal batas Desa Pangek harus dilakukan secara multidisipliner dengan pendekatan hukum, tata ruang, dan sosial secara terpadu. Peserta juga mendorong agar pemerintah daerah segera membentuk tim independen verifikasi batas wilayah dengan melibatkan masyarakat, akademisi, dan lembaga geospasial resmi.
“Kami berharap hasil diskusi ini menjadi rekomendasi nyata bagi pemerintah Kabupaten Bangka Barat untuk meninjau ulang batas wilayah Desa Pangek secara transparan dan berkeadilan,” ujar moderator Muda Afreiyanto menutup acara.
Kegiatan yang berlangsung dinamis ini diakhiri dengan foto bersama dan penandatanganan komitmen moral antara peserta, dan pemerintah desa untuk menjaga kedamaian dan solidaritas masyarakat dalam proses penyelesaian tapal batas. (*)
Posted in SOSBUD
* Orang tua Siswa Minta Oknum Guru Tak Berkompeten Dipecat…
Oleh : Marwan || Mahasiswa Hukum UBB IinKetua Umum HMI…
Oleh: Zulkarnain Alijudin || Pengamat Politik PILKADA Ulang Bangka 2025…
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sejumlah ASN…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sungguh miris…
GETARBABEL.COM, BANGKA- Kawasan hutan seluas…