Inilah PerbedaanTurunnya Rahmat dan Laknat Membaca Al Qur’an
By beritage |
GETARBABEL.COM, BANGKA- sesungguhnya orang yang gemar membaca Al Qur’an didunia,…
Wednesday, 11 June 2025
oleh: Maman Supriatman || Alumni HMI
Abstrak
Tulisan ini berupaya menelaah dua arus utama pemikiran Islam kontemporer melalui figur Nurcholish Madjid (Cak Nur) dan Syekh Imran Hosein.
Keduanya mewakili pendekatan yang sangat berbeda dalam merespons tantangan zaman: Cak Nur dengan pendekatan kontekstual-liberal yang menekankan rasionalitas dan modernisasi nilai-nilai Islam; sementara Syekh Imran Hosein dengan pendekatan eskatologis-tekstual yang menyoroti struktur dominasi global dan nubuwat akhir zaman.
Artikel ini menyajikan sintesis kritis antara dua pendekatan tersebut dalam konteks kebutuhan membangun fondasi peradaban baru yang relevan bagi umat Islam masa kini.
Pendahuluan
Kebangkitan peradaban Islam membutuhkan lebih dari sekadar nostalgia romantik masa lalu. Ia menuntut pembacaan yang jernih dan reflektif terhadap peta pemikiran Islam kontemporer.
Dalam konteks ini, dua pendekatan yang kontras namun saling melengkapi muncul ke permukaan: pendekatan kontekstual-liberal yang berkembang dari warisan pemikiran modernis, dan pendekatan tekstual-eskatologis yang berkembang dari kritik terhadap peradaban modern dan penekanan pada tanda-tanda akhir zaman.
Tulisan ini mengupas bagaimana kedua pendekatan tersebut hadir melalui tokoh-tokoh representatif: Nurcholish Madjid (Indonesia) dan Syekh Imran Hosein (Trinidad).
Kerangka Teoritis dan Kategori Pemikiran
Pemikiran Islam kontemporer dapat dipetakan ke dalam beberapa kategori yang mencerminkan sikap terhadap Barat, metode penafsiran Islam, serta fokus strategisnya.
Terdapat kelompok konservatif-literalis yang menolak Barat secara mutlak dan berupaya mengembalikan Islam kepada model klasik.
Kelompok kedua adalah modernis-kontekstual seperti Cak Nur yang mencoba mendialogkan Islam dengan nilai-nilai modernitas dan demokrasi.
Ketiga adalah kelompok tekstual-kontekstual kritis seperti Syekh Imran Hosein yang menekankan nubuwat, geopolitik, dan dinamika akhir zaman.
Keempat adalah Islamis inklusif yang bersikap pragmatis terhadap institusi Barat.
Kelima adalah reformis-progresif yang ingin melakukan reinterprestasi radikal terhadap ajaran Islam.
Dan terakhir adalah sufistik kosmopolitan yang mengedepankan spiritualitas universal.
Dari spektrum ini, Cak Nur menempati posisi sebagai modernis-kontekstualis, sementara Syekh Imran sebagai tekstualis-kritis dengan penekanan kuat pada eskatologi dan geopolitik.
Mereka mewakili dua arah ekstrem namun penting dalam diskursus peradaban Islam kontemporer.
Biografi dan Orientasi Intelektual
Nurcholish Madjid lahir pada 1939 dan menempuh pendidikan doktoralnya di University of Chicago dengan fokus pada pemikiran klasik (Ibn Taymiyyah).
Ia dikenal luas sebagai pembaru pemikiran Islam di Indonesia yang menekankan pentingnya rasionalitas, demokrasi, dan kontekstualisasi ajaran Islam agar relevan dengan semangat zaman.¹
Sebaliknya, Syekh Imran Hosein lahir pada 1942 dan sempat menempuh studi doktoral di Swiss, dalam Hubungan Internasional, namun tidak menyelesaikannya karena perbedaan pendekatan dengan pembimbingnya.
Ia memilih untuk menulis karya-karya mandiri, termasuk Jerusalem in the Qur’an, yang menjadikannya rujukan penting dalam studi Eskatologi Islam.²
Perbedaan orientasi pendidikan ini juga mencerminkan perbedaan epistemologis: Cak Nur menggunakan pendekatan akademik yang sistematis dan mengedepankan hermeneutika kontekstual, sementara Syekh Imran menggunakan pendekatan tafsir tematik dengan struktur naratif-prophetik yang berfokus pada realitas geopolitik akhir zaman.
Perbandingan Metodologis dan Isi Pemikiran
Perbedaan mendasar antara keduanya terlihat dari pendekatan terhadap wahyu.
Cak Nur memandang wahyu sebagai nilai universal yang harus ditransformasikan melalui akal dalam konteks sejarah dan budaya lokal.³
Sementara Syekh Imran memandang wahyu sebagai sumber utama kebenaran yang tidak hanya berbicara tentang masa lalu, tetapi lebih penting lagi tentang masa depan yang sedang dibentuk oleh skenario nubuwat.⁴
Cak Nur lebih menekankan pentingnya ijtihad kontekstual dalam isu-isu sosial-politik seperti demokrasi, pluralisme, dan HAM, sedangkan Syekh Imran justru menolak proyek demokratisasi liberal karena dianggap sebagai bagian dari skenario global Dajjal untuk mengontrol umat manusia.⁵
Dalam aspek geopolitik, Syekh Imran mengembangkan kerangka eskatologi yang sangat tajam, seperti pembacaan terhadap hadits Muslim no. 5161 tentang pembebasan Jazirah Arab, Persia, Romawi dan akhirnya pembebasan Palestina, setelah sebelumnya (atau setelahnya dalam Hadits lain), pembebasan Konstantinopel atau Istambul Turki. Seluruhnya merupakan tahapan historis dalam rangkaian peristiwa penting akhir zaman.⁶
Ia membaca tanda-tanda zaman, termasuk peran NATO, Israel, dan dolar AS, sebagai instrumen dominasi Dajjal.
Cak Nur tidak menaruh perhatian besar pada aspek ini karena fokusnya lebih pada rekonsiliasi Islam dengan modernitas pascakolonial.
Integrasi Dua Kutub
Jika kita menjadikan Cak Nur dan Syekh Imran sebagai dua kutub, maka titik tengah dari diskursus ini adalah kebutuhan untuk membangun kerangka berpikir Islam yang holistik, yang mampu memahami tantangan struktural global (melalui kacamata eskatologi) sekaligus merespons kebutuhan lokal umat Islam (melalui pendekatan kontekstual).
Pemikiran Cak Nur membantu umat Islam untuk berdamai dengan modernitas dan keluar dari kejumudan, sedangkan Syekh Imran mengingatkan kita bahwa modernitas itu sendiri bisa jadi adalah jebakan global yang mengarah pada tatanan dunia yang dikendalikan oleh sistem zionistik akhir zaman.
Dalam perspektif ini, eskatologi bukan hanya soal kiamat atau nubuwat, tetapi merupakan alat kritik sosial-politik global.⁷
Di sinilah pendekatan Syekh Imran menjadi penting guna mengisi kekosongan dalam diskursus Islam liberal yang kerap ahistoris dan tidak geopolitikal.
Sebaliknya, rasionalitas Cak Nur tetap penting untuk menjaga agar umat tidak terjebak dalam fatalisme dan paranoia.
Penutup
Kedua tokoh ini menunjukkan bahwa pemikiran Islam tidak tunggal, dan justru keberagaman pendekatan menjadi kekayaan epistemik yang bisa digunakan sesuai dengan konteks tantangan zaman.
Di era di mana struktur global semakin menunjukkan wajah hegemonik dan eksploitatif, umat Islam memerlukan sintesis pemikiran: rasionalitas-kontekstual Cak Nur untuk membangun institusi, dan kewaspadaan eskatologis Syekh Imran untuk membaca tanda-tanda geopolitik dunia.
Keduanya, jika dipertemukan dalam dialektika yang sehat, bisa menjadi fondasi bagi lahirnya peradaban global baru yang adil, damai, sejahtera, merdeka, dan tercerahkan.
Catatan Kaki
¹ Madjid, Nurcholish. Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina, 1994.
² Hosein, Imran N. Jerusalem in the Qur’an: An Islamic View2 of the Destiny of Jerusalem. Kuala Lumpur: Masjid Dar al-Qur’an, 2001.
³ Rahman, Fazlur. Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press, 1982.
⁴ Hosein, Imran N. The Quranic Method of Tafsir. Trinidad: Masjid al-Mu’minun, 2003.
⁵ Nasr, Seyyed Hossein. The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity. New York: HarperCollins, 2002.
⁶ Muslim, Imam. Sahih Muslim. Hadits no. 5161.
⁷ Naisbitt, John. Global Paradox: The Bigger the World Economy, the More Powerful Its Smallest Players. New York: William Morrow, 1994.
والله أعلم
MS 09/06/25
Posted in SOSBUD
GETARBABEL.COM, BANGKA- sesungguhnya orang yang gemar membaca Al Qur’an didunia,…
GETARBABEL.COM, JAKARTA — Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memaparkan dua…
GETARBABEL.COM, BANGKA SELATAN – Bertempat di Hotel Grand Marina Toboali, Wakil…
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sejumlah ASN…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sungguh miris…
GETARBABEL.COM, BANGKA- Kawasan hutan seluas…