Dekonstruksi Waktu: Runtuhnya Logika Waktu Linear dalam Malam 1000 Bulan

images

Oleh : Maman Supriatman || Alumni HMI

Bukankah telah datang kepada manusia suatu waktu dari masa (dahr), sedangkan ia ketika itu belum merupakan sesuatu yang disebut?” (QS. Al-Insan: 1)

Ayat ini bukan sekadar mengisyaratkan asal-usul manusia, tetapi juga memperkenalkan _dahr_, waktu abadi yang melampaui kronologi waktu linear. 

Artikel ini membedah dekonstruksi waktu linear melalui perspektif Kosmologi Islam, teori relativitas Einstein, dan kritik temporal Syekh Imran Hosein.  

Dengan fokus pada Lailatul Qadar, momen ketika satu malam setara dengan 1.000 bulan, argumen utama menunjukkan bahwa Waktu Ilahiah (_kairos_) meruntuhkan logika linear (_chronos_) melalui distorsi transenden.  

Analisis melibatkan Teks Suci Al-Qur’an, filsafat Islam klasik (Al-Kindi, Ibn Arabi), teori relativitas Einstein, serta kritik politik-spiritual Syekh Imran terhadap kolonialisasi waktu Gregorian.  

Kesimpulan artikel menegaskan bahwa Lailatul Qadar bukan sekadar ritual, melainkan revolusi kesadaran yang membebaskan manusia dari tirani temporal modern.  

Dengan demikian, artikel ini adalah undangan untuk melihat waktu bukan sebagai garis linear, tetapi sebagai lingkaran, atau lebih radikal, sebagai titik yang berdenyut dalam keabadian.

Logika Waktu Linear, Kosmologi Islam dan Malam Seribu Bukan

Peradaban modern mengukir waktu sebagai garis lurus: masa lalu, kini, masa depan. Logika ini, yang diwarisi dari Newton, menjadi alat kontrol kapitalistik, seperti dikritik Foucault sebagai “biopolitik kronos”. 

Namun, dalam Kosmologi Islam, Lailatul Qadar menawarkan paradigma alternatif: waktu sebagai kepadatan makna, bukan akumulasi detik. Malam ini, yang disebut Al-Qur’an “lebih baik dari seribu bulan” (QS. Al-Qadr: 3), menjadi kasus unik untuk mengkaji dekonstruksi waktu linear melalui dialektika ilmu, filsafat, dan spiritualitas.  

Dalam Kosmologi Islam waktu adalah Emanasi Ilahiah, yang dapat dijelaskan dalam narasi berikut:

1. Zaman dan _Dahr:_ Hierarki Waktu dalam Filsafat Islam

Al-Kindi dalam _Risalah fi al-Falsafa al-Ūlā_ mendefinisikan waktu (zaman) sebagai pancaran kesadaran Tuhan, bukan entitas fisik, melainkan keberlangsungan murni yang melingkupi ciptaan. 

Konsep ini selaras dengan Surah Al-Qadr: 4-5 tentang turunnya malaikat “untuk mengatur segala urusan”, di mana Waktu Ilahiah adalah medium transaksi transenden antara langit dan bumi.  

Ibn Arabi memperdalam ini dengan membedakan _dahr_ (waktu abadi) dan _waqt_ (waktu partikular).

Lailatul Qadar, baginya, adalah manifestasi _dahr_ yang melarutkan batas-batas _waqt_, memungkinkan manusia mengalami _fana’ fi al-zaman_: lebur dalam keabadian.  

2. _Kairos_ vs. _Chronos:_ Malam Qadar sebagai Singularitas Temporal

Filsuf Paul Tillich membedakan _chronos_ (waktu terukur) dan _kairos_ (momen penuh makna). Lailatul Qadar adalah puncak _kairos_.

Cronos: 1 malam dalam kalender Gregorian umumnya berkisar 10–12 jam (tergantung geografi dan musim), tetapi Lailatul Qadar mengkompresi 83 tahun (≈730.000 jam) ke dalam rentang tersebut.

Jika 1 malam Qadar (misalnya 12 jam) setara dengan 83 tahun (≈730.000 jam), rasio waktu ini mengisyaratkan pengalaman transenden yang melampaui hukum fisika, sebab secara relativitas, ini memerlukan kecepatan di luar batas kosmologis (≈60.000× kecepatan cahaya).

Perhitungan matematis ini bukanlah reduksi metafisik, melainkan analogi untuk menegaskan bahwa Lailatul Qadar adalah distorsi temporal transenden. Durasi malam yang sebenarnya (10–12 jam) hanya ilustrasi, hakikatnya, Waktu Ilahiah _(dahr)_ tidak terikat pada parameter fisika manusia.

Perbedaan ini mengungkap waktu sebagai jaringan makna, bukan garis bilangan. Turunnya malaikat, entitas non-material, menjadi simbol intervensi metafisik yang melipat temporalitas manusia ke dalam singularitas hikmah. 

Dengan demikian, Lailatul Qadar bukan soal berapa jam durasi manusia beribadah, tetapi bagaimana intervensi Ilahiah melampaui batas _kronos,_ mengubah momen ini menjadi keabadian. 

Dekonstruksi Linearitas: Dari Einstein ke Syekh Imran Hosein

1. Relativitas Waktu: Einstein dan Paradoks 1.000 Bulan

Einstein dalam _Theory of General Relativity_ (1915) membuktikan waktu sebagai dimensi relatif, bergantung kecepatan dan gravitasi. Jika 1 malam Qadar = 83 tahun, maka “kecepatan Ilahiah” yang terjadi adalah ≈60.000 kali kecepatan cahaya, jauh di atas batas kosmologis.

Meski secara matematis hal ini mustahil dalam fisika, paradoks ini mengisyaratkan Waktu lahiah sebagai realitas di luar hukum empiris.  

2. Kritik Lunar Syekh Imran: Waktu sebagai Perlawanan Politik

Syekh Imran Hosein dalam _The Qur’an and The Moon_ (2021) menafsirkan kalender lunar Islam sebagai bentuk resistensi:  

– Kalender Gregorian: Alat kolonialisasi yang memaksa manusia menyembah _chronos_.

– Kalender Qamariyah: Sistem waktu siklus yang mengingatkan pada ketergantungan manusia pada Tuhan.  

Lailatul Qadar, yang hanya terjadi pada bulan Ramadhan, adalah puncak resistensi ini: ketidakpastian tanggalnya (10 malam terakhir) adalah simbol penolakan terhadap _fetisisme_ angka.  

3. Lubang Hitam Spiritual: Titik Temu Sains dan Tasawuf

Einstein menggambarkan lubang hitam sebagai distorsi ruang-waktu. Syekh Imran melihat Lailatul Qadar sebagai “lubang hitam spiritual”, zona ketika Waktu Ilahiah “menelan” logika waktu linear. 

Dalam momen ini, manusia mengalami _time dilation_ eksistensial: satu nafas ibadah bernilai ribuan tahun.  

4. Implikasi Teologis: Pembebasan dari Tirani Waktu

– Liminalitas Manusia: Antara _Chronos_ dan _Kairos_

Manusia adalah _liminal being_: terikat waktu fisik tetapi merindukan keabadian. Lailatul Qadar mengajarkan bahwa transendensi bukanlah pelarian, melainkan penyadaran akan relasionalitas waktu, sebagaimana relativitas Einstein mengungkap ketergantungan waktu pada pengamat.  

Dekonstruksi sebagai Praksis Spiritual

Heidegger dalam Being and Time (1927) menyebut waktu sebagai “horizon untuk memahami Ada.”

Lailatul Qadar menambahkan: “Ada itu sendiri adalah keabadian. Ritual malam Qadar bukanlah pencatatan waktu, tetapi pelubangan waktu, seperti shalat yang “mencegah perbuatan keji dan munkar” (QS. Al-Ankabut: 45), dengan cara membekukan _chronos_. 

Penutup: Malam Qadar, Portal Keabadian

Di tengah gempita abad ke-21, di mana manusia terjebak dalam siklus _deadline_ dan _lifeline_, Lailatul Qadar muncul sebagai gempa metafisik. Ia bukan sekadar malam ladang pahala, melainkan pemberontakan ontologis terhadap rezim waktu yang mengurung manusia dalam sangkar _chronos_.  

Bayangkan: Satu malam yang merobek tirai kalender Gregorian, melumat logika 24 jam menjadi debu. Di sini, hukum Einstein dan teori Al-Kindi bertaut: relativitas waktu bukan lagi persamaan matematika, melainkan “tiket keabadian”. 

Saat Syekh Imran Hosein mengecam kolonialisasi waktu, malam Qadar menjawabnya dengan bahasa revolusi: “Kalian punya jam, kami punya _Dahr._” 

Inilah paradoks agung: Pada malam ketika langit “turun” ke bumi, justru manusia diundang untuk “naik” melampaui diri. Bukan dengan mesin waktu, tetapi dengan _fana’ fi al-zaman_, melebur dalam denyut _dahr_ yang menyatukan Musa, Einstein, dan seseorang yang tahajud di sudut bumi.

Di sini, _skyscraper_ jadwal harian runtuh menjadi pasir: angka-angka di kalender meleleh seperti lilin di hadapan Yang Maha Tak Terukur.  

Lailatul Qadar adalah antitesis kapitalisme waktu. Jika dunia berkata: “Waktu adalah uang,” malam ini berbisik: “Waktu adalah nafas Tuhan yang kau hirup.” Ia mengubah kalkulasi menjadi kontemplasi, _schedule_ menjadi _sujud_. 

Tanggalnya yang tak pasti, 10 malam terakhir Ramadhan, adalah sindiran Ilahi: “Kau yang mengira bisa mengatur-Ku, justru harus meraba dalam gelap untuk menemui-Ku.”  

Maka, pencarian malam Qadar bukan ritual pasif, melainkan aksi perlawanan: membongkar arloji dari pergelangan jiwa, menyulap garis waktu menjadi lingkaran makna. Seperti kata Ibn Arabi: “Siapa yang menyelami _dahr_, akan melihat detik ini sebagai kuburan masa lalu dan buaian masa depan.”

Di ujung lorong waktu linear, di mana manusia modern terengah-engah mengejar “esok”, malam 1.000 bulan justru mengajak kita berhenti. Bukan untuk istirahat, tetapi untuk melompat, masuk ke dalam “sekarang” yang abadi. 

Di titik ini, Einstein dan Al-Qur’an bersepakat: “Kau pikir kau kehilangan waktu? Sesungguhnya, waktu telah kehilanganmu.”  

Maka, bertanyalah pada diri:  

“Kalau satu malam bisa menggenggam 83 tahun, bukankah setiap tarikan napasmu sebenarnya cukup untuk mengubah takdir?” 

Lailatul Qadar adalah jendela. Di baliknya, bukan langit biru yang terlihat, melainkan cermin, memantulkan wajah kita yang sesungguhnya: makhluk bebas yang terlahir dari rahim _dahr_, bukan budak kalender.

Glosarium

1. Dekonstruksi Waktu:

Suatu pendekatan filsafat yang berusaha membongkar konsep waktu konvensional, khususnya waktu linear, untuk memahami kemungkinan eksistensi waktu yang bersifat non-linear atau simultan.

2. Chronos: 

Waktu linear terukur, berasal dari mitologi Yunani; simbol kontrol kapitalistik atas temporalitas.

3. Kairos: 

Momen kualitatif penuh makna; Waktu Ilahiah yang melampaui ukuran fisik (teologi Islam/Kristen).  

4. Zaman: 

Konsep waktu absolut dalam filsafat Islam klasik (Al-Kindi), merujuk pada keberlangsungan emanatif dari Tuhan.  

5. Dahr: 

Waktu abadi yang melampaui batas fisik (Ibn Arabi); kerangka metafisik pra-penciptaan hingga pasca-kiamat (QS. Al-Insan:1).

6. Waqt: 

Waktu partikular yang dialami manusia; fragmen temporal dalam sistem _dahr_.

7. Time Dilation: 

Pelambatan waktu dalam teori relativitas Einstein; analogi fisika untuk _fana’ fi al-zaman_.  

8. Liminal Being: 

Status ambang; makhluk di antara dua dimensi (manusia antara _chronos_ dan _kairos_).  

9. Fana’ fi al-Zaman: 

Konsep tasawuf tentang lebur dalam waktu; penyatuan kesadaran manusia dengan _dahr_. 

10. Biopolitik Kronos: 

Konsep Foucault tentang politik pengaturan hidup melalui kontrol waktu linear. 

11. Emanasi Ilahiah: 

Proses pancaran eksistensi dari Tuhan sebagai sumber primordial (Al-Kindi). 

12. Singularitas Temporal: 

Titik distorsi waktu di mana hukum fisika/linearitas runtuh (contoh: Lailatul Qadar).  

13. Kalender Qomariyah: 

Sistem penanggalan berbasis peredaran bulan; simbol resistensi terhadap kolonialisasi waktu Gregorian.

14. Fetisisme Angka: 

Penyembahan semu terhadap kuantitas waktu (Syekh Imran Hosein); kritik atas kapitalisasi _chronos_.  

15. Lubang Hitam Spiritual: 

Metafora distorsi ruang-waktu Ilahiah yang “menelan” logika temporal manusia.  

16. Liminalitas: 

Sifat ambang; kondisi transisi antara dua keadaan (misal: manusia antara fana dan baqa). 

17. Pascakronos: 

Era pasca-dekonstruksi waktu linear; visi temporalitas yang berpusat pada _kairos_. 

18. Transendensi:

Pengalaman melampaui batas fisik/waktu; pencapaian kesadaran _dahr_.

20. Skyscraper:

Secara harfiah berarti “pencakar langit,” namun dalam konteks artikel ini merujuk pada simbol peradaban modern yang berdiri di atas konsep waktu linear, yakni kemajuan yang dianggap selalu bergerak ke depan dan ke atas. Jika waktu linear runtuh, maka “skyscraper” sebagai representasi kemajuan juga kehilangan pijakannya.

والله أعلم

MS 27/03/25

Posted in

BERITA LAINNYA

Malam Ini, Calon Bupati Mulkan Undang Tokoh Agama Gelar Doa dan Zikir Bersama

GETARBABEL.COM, BANGKA- Menjelang hari H pencoblosan Pemilukada Kabupaten Bangka, Calon…

Maryam Dukung APH Usut Tuntas Dugaan Malpraktik di RSUD

GETARBABEL.COM, PANGKALPINANG — Dukungan kepada pihak Aparat Penegak Hukum (APH),…

Operasi Lilin Menumbing, Dokkes Polres Babar Periksa Kesehatan Personel

GETARBABEL.COM, BANGKA BARAT -Subsatgas Dokkes Polres Bangka Barat (Babar) dalam…

POPULER

HUKUM

hipk

IPTEK

drone

TEKNOLOGI