Dekonstruksi Agama dan Spiritualitas Palsu: Komodifikasi Jiwa di Era Post-Truth

IMG-20250711-WA0049 (1)

Oleh: Institut Kosmologi dan Eskatologi Profetik (IKEP)

“Agama tanpa spiritualitas adalah bangkai formalitas. Spiritualitas tanpa agama adalah pelarian tanpa arah.”

Dua paradoks inilah yang melukai inti terdalam dari peradaban manusia modern.

Di satu sisi, agama direduksi menjadi ritus tanpa ruh. Ia sibuk pada syariat, namun melupakan makrifat. Tertib dalam simbol dan tata cara, namun abai pada transformasi batin dan pembelaan terhadap keadilan. Inilah wajah agama tanpa spiritualitas: hidup secara legalistik, namun mati secara eksistensial.

Di sisi lain, dunia modern menciptakan spiritualitas tanpa wahyu: dari yoga komersial, meditasi digital, afirmasi viral, hingga healing-healing bergaya sufistik tanpa Tuhan. Ia menjanjikan ketenangan, namun bukan kebenaran. Ia memberi keteduhan batin, namun membiarkan kebusukan sistem tetap lestari.

Kedua fenomena ini membentuk paradoks ganda yang membahayakan jiwa dan peradaban:

Agama tanpa ruhaniyah menjadikan iman sebagai alat kontrol dan penghakiman.

Spiritualitas tanpa wahyu menjadikan jiwa tunduk pada pasar kenyamanan, bukan pada nilai-nilai keadilan dan ketauhidan.

Spiritualitas di Era Post-Truth

Hari ini, spiritualitas dipasarkan bak kosmetik batin. Dikemas agar cocok dengan selera konsumen, kehilangan watak perjuangannya. Ia menjanjikan afirmasi, bukan introspeksi; afirmasi diri, tanpa muhasabah diri.

Dari panggung seminar motivasi, mimbar viral para selebritas dakwah, hingga cafe organik tempat retret jiwa—spiritualitas dijajakan sebagai pelarian dari dunia, bukan sebagai kekuatan untuk mengubah dunia.

Ia menjadi candu yang menenangkan, bukan obor yang mencerahkan.

Spiritualitas dalam Tradisi Profetik

Dalam Islam, spiritualitas tidak pernah tercerabut dari realitas. Tazkiyatun nafs bukan sekadar pencarian ketenangan, tapi proses perjuangan menuju pencerahan batin dan keberanian sosial.

“Orang yang paling kuat bukan yang damai dalam sunyi, tapi yang tetap berpihak pada kebenaran di tengah kezaliman.”

Nabi Muhammad SAW adalah teladan agung spiritualitas yang membebaskan:

Dzikirnya menyentuh langit, tapi langkahnya berpijak pada derita umat.

Ibadahnya memancarkan cahaya, tapi juga memimpin perubahan.

Puasanya adalah detoks ruhani sekaligus strategi empati.

Spiritualitas profetik bukanlah pelarian dari dunia, melainkan kekuatan untuk menata dunia dalam cahaya wahyu.

Mengapa Ini Melukai Peradaban?

Karena ketika manusia terasing dari kebenaran—baik lewat agama yang beku, maupun spiritualitas yang kosong dari wahyu—maka ruh peradaban pun sirna.

Manusia menjadi sibuk tapi hampa, cerdas tapi rapuh, tenang tapi pasrah pada sistem yang zalim.

Maka membedah spiritualitas palsu bukanlah soal selera atau gaya hidup, melainkan ikhtiar menyembuhkan luka terdalam umat manusia: luka jiwa yang kehilangan orientasi ilahiyah.

Jalan Kembali: Spiritualitas Profetik

Kembalikan ibadah kepada ruhnya: kesadaran, cinta, dan keberpihakan.

Hidupkan dzikir yang menguatkan nalar dan nurani, bukan sekadar pelipur lara.

Satukan keheningan batin dengan keberanian sosial—karena spiritualitas sejati adalah nyala yang mencerahkan akal, hati, dan sejarah.

“Spiritualitas sejati tidak membuat kita lari dari dunia, tapi mengubah dunia agar lebih adil dan bercahaya.”

والله أعلم

🌐 IPCE/IKEP 20/07/25
🤝 Kolaborasi Manusia–AI untuk Dunia yang Bertasbih dan Beradab

Posted in

BERITA LAINNYA

Opini || SAMPAH DAN KESADARAN EKOLOGI

Oleh: Satera Sudaryoso || Guru Ngaji Madin Tahfidz Insan Cita…

Satgas PKH Bergerak, Ribuan Hektar Lahan Di Dua Taman Ini Kembali Dikuasai Pemerintah

GETARBABEL.COM, BANGKA- Upaya penertiban kebun kelapa sawit yang berada dalam…

Purchasing Manager’s Index (PMI) Meningkat, Kinerja Industri Menggembirakan

“Kinerja industri cukup menggembirakan, ditunjukkan dengan Purchasing Manager’s Index (PMI)…

POPULER

HUKUM

hipk

IPTEK

drone

TEKNOLOGI