Jelang Pendaftaran Pilkada, Satgas OMP Menumbing Polres Bangka Patroli ke KPU dan Bawaslu
By beritage |
GETARBABEL.COM, BANGKA — Satgas Preventif Operasi Mantap Praja (OMP) Menumbing…
Friday, 27 June 2025
Oleh: Maman Supriatman || Alumni HMI
Abstrak
Penelitian ini menyajikan pembacaan multidisipliner tentang paralelitas dan koherensi yang mengagumkan antara tradisi spiritual dalam Kosmologi Nusantara dengan narasi Eskatologi Islam.
Melalui analisis filologis terhadap teks-teks Hadis sahih dan penelusuran kritis terhadap naskah tradisional Jawa-Sunda, tulisan ini membangun tiga argumen utama:
Temuan ini memperkaya diskusi akademis, sekaligus menawarkan perspektif baru dalam membaca masa depan peradaban.
I. Pendahuluan
Kebangkitan minat terhadap studi Eskatologi Islam dalam dekade terakhir belum diimbangi dengan pendekatan yang mengintegrasikan tradisi lokal di luar Timur Tengah, tantangan epistemologi kontemporer, dan dinamika sosio-kultural spesifik.
Penelitian ini menjawab kebutuhan tersebut dengan menjadikan Nusantara sebagai studi kasus melalui pembacaan kritis atas teks-teks otoritatif.
Pendekatan integratif-interkonektif digunakan dengan memadukan metode filologis untuk verifikasi matan Hadis, antropologi simbolik dalam membaca mitos Ratu Adil, dan filsafat sejarah untuk menganalisis fase-fase kekuasaan dalam tradisi Islam.
Penelitian ini mengombinasikan Takhrij Hadis dengan standar al-jarh wa at-ta’dil, analisis semiotik terhadap teks Nusantara, dan studi komparatif antara konsep Eskatologi Islam dengan Kosmologi Nusantara.
II. Pembahasan
Status riwayat tentang Imam Mahdi tersebar dalam Kitab-kitab utama seperti Sunan Abu Dawud (11 riwayat berstatus hasan-sahih), Musnad Ahmad (9 riwayat shahih), dan al-Mustadrak al-Hakim (6 riwayat sahih sesuai syarat Bukhari-Muslim).
Kriteria kemutawatiran dipenuhi secara maknawi dengan tujuh tema pokok yang konsisten meliputi: keturunan Nabi Muhammad, karakteristik nama, dan misi penegakan keadilan.
Analisis matan hadis dengan kunci, “Yamla’u al-arḍ qisṭan wa ‘adlan kamā muli’at ẓulman wa jawran”, menunjukkan tidak hanya peran Imam Mahdi sebagai pelaku keadilan, tetapi juga sebagai arsitek sistemik atas tatanan yang selama ini penuh penindasan.
Kata “qisṭ” dalam struktur bahasa Arab klasik merujuk pada keadilan distributif, yaitu distribusi hak dan sumber daya yang adil, yang sangat relevan dalam konteks ekonomi-politik kontemporer.
Sementara “adl” menekankan keadilan prosedural, yakni tercapainya keadilan melalui proses yang sah dan terpercaya.
Dualitas ini membentuk fondasi konsep keadilan substansial, tidak hanya dalam bingkai spiritual tetapi juga dalam praktik sosial-politik.
Konsepsi ini diperluas oleh Ibn Hajar al-Asqalani yang dalam Fath al-Bārī menekankan bahwa keadilan Mahdi bukanlah restorasi simbolik, tetapi reformasi menyeluruh atas struktur kekuasaan yang timpang¹.
Dalam pembacaan tafsir sosiologis, dapat dikatakan bahwa Imam Mahdi bukan sekadar tokoh eskatologis, melainkan figur profetik-politik yang menjungkirbalikkan struktur ketidakadilan global, dan memulai babak baru peradaban².
Hadis tentang turunnya Nabi Isa (‘alayhi al-salām), yang diawali dengan redaksi:
“Kaifa antum idzā nazala fīkum Ibnu Maryam wa imāmukum minkum” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Memuat struktur interogatif yang tidak hanya menanyakan kondisi, tetapi menyimpan konotasi eksistensial tentang kesiapan spiritual dan epistemik umat manusia.
Kata “kaifa” dalam konteks ini bersifat retoris dan mengandung nada keheranan yang dalam, serupa gaya bahasa dalam QS. Al-Qāri‘ah: “Wa mā adrāka mā al-qāri‘ah”³.
Makna ini menunjukkan bahwa turunnya Nabi Isa bukanlah peristiwa yang linier atau diterima secara universal.
Bahkan dalam masyarakat pasca-modern, fenomena ini memicu apa yang disebut Arkoun sebagai “epistemological dissonance”, yaitu ketegangan antara rasionalitas modern dan iman transhistorik⁴.
Lebih jauh, penggunaan kata kerja “nazala” (turun) dalam Hadis itu, mempertegas aspek vertikalitas dan intervensi Ilahiah langsung, berbeda dari “qadima” (datang) atau “ja’a” (muncul), yang bersifat horisontal atau duniawi⁵.
Dalam konteks ini, respons umat terbagi tiga:
Hadis ini pun ditutup dengan penekanan: “La yu’minu bihi illā kullu muslim”, mengisyaratkan bahwa penerimaan terhadap Nabi Isa hanya akan datang dari mereka yang sudah berada dalam orbit iman, bukan dari logika sekuler murni.
Psikologi postmodern dalam narasi eskatologis terlihat dari respons diferensial terhadap turunnya Nabi Isa.
Jika pada abad pertengahan ditandai penerimaan religio-sentris, era modern cenderung menolak secara rasionalis. Sementara masyarakat post-modern mengalami cognitive dissonance.
Jejak Kosmologi Nusantara menunjukkan titik temu dengan tradisi Islam.
Figur Ratu Adil dalam Serat Kalatidha yang digambarkan sebagai “Wong kang weruh bakal winarah, nanging ora weruh yen iku dhewe”, memiliki paralelisme struktural dengan konsep Imam Mahdi sebagai pembawa petunjuk yang tak dikenali³.
Demikian pula tokoh Budak Angon dalam Wangsit Siliwangi yang disebut “Anak angon nu teu ngangon, tapi ngajaga sakabehna”, merefleksikan karakteristik kenabian yang melampaui fungsi literal.
Konvergensi konseptual ini terlihat dalam tiga lapis analogi:
III. Penutup
Penelitian ini mengungkap bahwa narasi Eskatologi Islam dan Kosmologi Nusantara saling memperkaya melalui pola konvergensi simbolik.
Hadis tentang turunnya Nabi Isa mengandung dimensi krisis epistemik modern, sementara Nusantara memiliki modal kultural untuk berperan dalam narasi global akhir zaman.
Studi ini membuka ruang bagi pendekatan baru dalam Ilmu Hadis berbasis konteks lokal, dialog produktif antara agama dan kearifan lokal, serta pembacaan kritis atas tantangan post-modernitas.
Perlu penelitian lanjutan tentang arkeologi naskah Nusantara yang memprediksi perubahan peradaban dan model tata dunia era dan pasca-Mahdi dalam perspektif lokal.
Daftar Pustaka
Al-Bukhari, Muhammad ibn Ismail. Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Beirut: Dar Ibn Kathir, 2002.
Ronggowarsito. Serat Kalatidha. Disunting oleh S. Supomo. Jakarta: KITLV Press, 2015.
Arkoun, Mohammed. The Unthought in Contemporary Islamic Thought. London: Saqi Books, 2002.
Zoetmulder, P.J. Pantheism and Monism in Javanese Suluk Literature. Leiden: KITLV Press, 1995.
Al-Asqalani, Ibn Hajar. Fath al-Bārī syarḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Kairo: Dar al-Hadith, 2004.
Shihab, Muhammad Quraish. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan, 2003.
Nasr, Seyyed Hossein. Knowledge and the Sacred. Albany: SUNY Press, 1989.
Arkoun, Mohammed. Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers. Boulder: Westview Press, 1994.
Wangsit Siliwangi. Naskah koleksi Museum Sri Baduga, Bandung, kode MSB/LT/WS/19.
Catatan Kaki
¹ Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bārī (Kairo: Dar al-Hadith, 2004), 13:77.
² Lihat analisis linguistik Arkoun dalam The Unthought, hlm. 112–115.
³ Bandingkan dengan tafsir Zoetmulder tentang simbolisme Jawa dalam Pantheism and Monism, hlm. 204.
⁴ Mohammed Arkoun, The Unthought in Contemporary Islamic Thought, hlm. 112–118.
⁵ Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 267–269.
والله أعلم
MS 27/06/25
(Foto: ilustrasi/IST)
Posted in SOSBUD
GETARBABEL.COM, BANGKA — Satgas Preventif Operasi Mantap Praja (OMP) Menumbing…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Institut Sains dan Bisnis (ISB) Atma Luhur…
GETARBABEL.COM, BANGKA– Berbagai kegiatan telah dilaksanakan oleh Pimpinan Daerah Muhammadiyah…
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sejumlah ASN…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sungguh miris…
GETARBABEL.COM, BANGKA- Kawasan hutan seluas…