Sindrom Super Power di Pilkada Ulang: Pemimpin Seolah Bisa Segalanya, DPRD Tinggal Formalitas

IMG-20250711-WA0006

Oleh: Zulkarnain Alijudin || Pengamat Politik, Mantan Ketua KPU Bangka

Debat publik adalah panggung rakyat untuk menguji para calon pemimpin. Namun baik di Pilwalkot Ulang Pangkalpinang 2025 maupun Pilkada Ulang Bangka 2025, ada pola sama yang mengemuka: janji menggunung, jargon besar, tapi satu elemen krusial selalu menghilang—peran DPRD.

Pemimpin Super Power: Seolah Bisa Menyelesaikan Semua Masalah

Di atas panggung debat, publik disuguhi narasi bahwa Bupati atau Walikota bisa menyelesaikan segala persoalan daerah. Dari kemiskinan, pengangguran, infrastruktur, pendidikan, kesehatan, hingga tata kelola birokrasi—semuanya seolah cukup diatasi oleh satu tangan, satu keputusan, satu figur.

Inilah yang disebut sindrom super power: citra seorang kepala daerah sebagai “raja kecil” yang serba bisa, serba kuasa, dan serba cepat. Dalam bayangan ini, DPRD hanyalah formalitas—bisa diatur, bisa dibujuk, bahkan bisa dianggap tidak perlu disebut di depan publik.

Padahal realitasnya berbeda jauh. Tidak ada satu rupiah pun APBD yang bisa berjalan tanpa DPRD. Tidak ada regulasi daerah yang lahir tanpa persetujuan legislatif. Kepala daerah tanpa DPRD sama saja seperti mobil tanpa roda: mesin mungkin menyala, tapi tak akan pernah berjalan.

Pangkalpinang dan Bangka: Dua Cermin, Satu Masalah

Pangkalpinang: Debatnya meriah, janji ditaburkan, tapi tak ada satu pun yang menyinggung bagaimana membangun komunikasi politik dengan DPRD. Semua seolah bisa dikerjakan eksekutif seorang diri.

Bangka: Debat bahkan hanya terlaksana sekali, setengah ruang transparansi hilang. Namun pola retorika tetap sama—DPRD absen dari wacana, seakan semua bisa dibereskan kepala daerah terpilih.

Kedua arena ini menyampaikan pesan sama: ada kecenderungan menampilkan kepala daerah sebagai tokoh tunggal, sementara DPRD ditempatkan sekadar sebagai “stempel” kebijakan.

Risiko dari Ilusi Super Power

Menganggap DPRD bisa diatur dan direduksi menjadi pelengkap semata membawa risiko serius Kebuntuan politik ketika DPRD ternyata tidak bisa dikendalikan.APBD buntu, program berhenti di meja legislatif. Konflik terbuka yang bisa menghambat pembangunan. Kekecewaan publik, karena janji besar runtuh oleh realitas tarik-menarik kepentingan.

Pada akhirnya, ilusi super power justru melemahkan posisi kepala daerah, karena gagal menyiapkan strategi komunikasi politik yang sehat dengan legislatif.

Dari Ego ke Tata Kelola

Demokrasi lokal seharusnya tidak dibangun di atas ego satu figur, melainkan atas kesadaran bahwa pemerintahan adalah kerja kolektif. Menyebut DPRD bukan tanda kelemahan, melainkan tanda kedewasaan politik.

Rakyat membutuhkan pemimpin yang mau berkata jujur: “Saya tidak bisa bekerja sendiri. Saya butuh DPRD, saya butuh kolaborasi, saya butuh sinergi.” itulah pemimpin sejati, bukan yang menjual citra super power.

Penutup

Pilwakot ulang Pangkalpinang dan Pilkada ulang Bangka adalah cermin yang sama: calon kepala daerah masih terjebak ilusi super power, sementara DPRD dianggap formalitas yang bisa diatur.

Padahal, justru keberanian untuk menempatkan DPRD sebagai mitra sejajar adalah kunci pemerintahan yang sehat. Tanpa itu, semua janji hanyalah bayangan indah yang tak akan pernah menjejak bumi. (*)

Posted in

BERITA LAINNYA

Pelatihan Batimetri Tingkatkan Kompetensi Masyarakat Babel

PANGKALPINANG—Bertempat di pantai koala kawasan jembatan emas Provinsi Kep. Babel,…

Sat Polair Polres Bangka Barat Berhasil Temukan Nelayan Hilang

GETARBABEL.COM, BANGKA BARAT — Peristiwa hilangnya nelayan, Firdaus warga Ogan…

Gubernur Hidayat Akan Terapkan Hasil Retreat Dalam Kebijakan Daerah

GETARBABELCOM, JAWA BARAT – Pelaksanaan retreat Kepala Daerah gelombang kedua…

POPULER

HUKUM

hipk

IPTEK

drone

TEKNOLOGI