Opini || POLITIK ANAK KECIL

IMG-20241113-WA0175_11zon

Oleh: Satera Sudaryoso || Guru Ngaji Madin Tahfiz Insan Cita

NARASI anak kecil dan mainannya menjadi alat politik yang sekarang santer dimunculkan. Saat Pilpres lalu misalnya, istilah “bocah ingusan atau anak kemarin sore” dikampanyekan, sedang saat Pilkada kemarin, narasi “anak kecil atau mainannya” dipekikkan kehadapan penyelenggara Pemilu di Pulau Bangka. Gumaman rasio menyeruak. Politik identik dengan trik dan permainan. Begitulah kira-kira.

Namun di luar itu, pertanyaan mendasar menggelayut liar setelah rentetan geruduk massa para pendemo di kantor Bawaslu dan KPU Kota Pangkalpinang beberapa waktu lalu, seraya berujar dalam hingar-bingar “Ada apa denganmu?” Lagi-lagi, pernyataan ini bagian dari seni memainkan kata. Tetapi, bukan di situ porsinya. Karena anak kecil tidak akan mengerti makna di balik kata.

Bukan Anak Kecil
Anak kecil memang karakternya senang bermain. Karena dunia mereka begitulah adanya. Apapun bisa menjadi mainan. Mobil-mobilan dimainkan supaya bisa berkendara dan kemanapun bisa dituju. Pedang-pedangan dilakoni agar bisa melukai dan menguasai. Adapun boneka, menjadi model dan figur yang akan diperankan. Sejumlah mainan ini sarat nuansa politik yang kemudian akan dilakoni pada waktu yang tepat.

Persoalannya, anak kecil ini belumlah sadar bahwa mobil, pedang, dan boneka yang dimainnya bisa membuatnya jatuh dalam bahaya. Mobil yang dengannya ia menabrak, pedang yang karenanya ia melukai, dan boneka yang melaluinya ia melakoni peran, menjadi ancaman besar yang tidak pernah dipikirkannya. Tidak salah bila kemudian orang tua mengambil tindakan tegas untuk mendisiplinkan anak supaya terhindar dari perkara buruk yang mengancam.

Porsi pukulan ringan atau marah mendidik “Dhorban ghoiru mubarrohin”, sebagaimana sabda Nabi, bisa diambil sebagai langkah awal supaya bandel dan membangkangnya anak bisa terhenti. Tapi masalahnya, anak kecil ini merasa besar dan sudah dewasa. Kepantasan untuk memiliki mainan lebih besar dan memantik adrenalin menjadi sesuatu yang bisa digenggam. Pada akhirnya, beragam trik dan cara jitu, ditempuh gigih agar mainan baru bisa diperoleh. Bim salabim, man jadda wa jada, mainan bergengsi akhirnya didapat.

Soal stigma anak kecil dan dewasa, sebenernya tak melulu bicara usia dan fisik semata. Yang dewasa pun kadangkala berperangai seperti anak kecil yang sering baperan dan ngambekan. Ngambekan model ini kadang justru sulit didapati obatnya. Anak kecil yang ngambek, dikasih mainan, iming-iming permen, selesai perkara, sementara orang tua yang ngambek, kadang dibawa mati pun belumlah usai.

Sungguh pun bila tak rela disangka anak kecil, maka cukup katakan dengan lugas “Saya bukan anak kecil”. Lelaki sejati, akan berani mengungpkan jati diri dengan karakter “lelakinya” yang elegan. Ungkapannya, sikap dan cara bertindaknya, bahkan cara berpikirnya, dinyatakan secara elegan dan berkarisma, tidak dengan main-main layaknya petak umpet. Ia tidak pernah khawatir dan takut dengan tekanan apalagi ancaman. Benar dikata benar, salah dibilang salah. Di sinilah diperlukan nyali besar dari lelaki sejati. Bahkan dalam konteks berpolitik pun ia bisa bernyali “Gw lelaki bray, bukan banci”.

Bukan Politik Mainan
Kancah politik memanglah luas. Tidak melulu soal kuasa, pangkat, dan harta. Tetapi soal sederhana pun adakalanya ia mengada. Soal menjadi warga yang baik, pejabat publik yang berintegritas, pemimpin yang adil, dan “imam” yang disegani, menjadi skup yang dilingkupi dalam perspektif Filsafat Islam. Bahwa politik, masuk dalam kategori ilmu terapan, sebagaimana etika dan ekonomi. Politik di sini menyangkut soal bagaimana individu bertindak sebaik mungkin sebagai warga sebuah masyarakat atau negara. Soal-soal inilah yang banyak disuarakan oleh sejumlah pemikir besar sekaliber al-Farabi (w. 339 H.), Ibn Sina (428 H.), al Mawardi (w.450 H.), Imam al-Ghazali (w. 505 H.), dan lainnya.

Dalam konteks kekinian, politik identik dengan seni memainkan peran. Peran berkendara, peran memainkan pedang, atau peran menjadi boneka, menjadi sangat relevan sebagaimana diperagakan oleh para pendomo dalam aksi mereka. Di luar soal ini, seni memainkan peran ini, berkait-kelindan dengan suatu pola. Pola pengelolaan ujaran, sikap, cara berpikir, dan bertindak, ini yang merupakan inti dari politik tadi. Puncaknya, bukan soal kuasa yang dipunya, tetapi menyangkut legacy indah yang ditinggal.

Oleh karena itu, politik kekuasaan bukanlah soal mainan belaka, apalagi sekedar memainkan peran imitatif layaknya anak kecil yang sedang mengusung pedang beneran. Kalau ini yang terjadi, maka pedang tadi bisa saja melukai bahkan membunuh si anak kecil yang sedang bermain. Maka seriuslah menjadi lelaki. Anak kecil dan mainannya cukup menjadi kenangan indah yang lalu untuk dibagi kepada anak-anak di masa datang.

Sun Tzu (w. 496 SM.)pernah berkata: “Kenali dirimu, kenali musuhmu, maka dalam seratus pertempuran pun engkau tidak terkalahkan”. Semoga [].

Posted in

BERITA LAINNYA

Pimpinan Dewan Resmi Dilantik, Pj Wako Budi Utama Ajak Sinergi Wujudkan Harapan Masyarakat Pangkalpinang

GETARBABEL.COM, PANGKALPINANG – Abang Hertza, Hibir dan Bangun Jaya resmi…

Bila Terpilih, MAPAN Pastikan Buka Lapangan Pekerjaan Libatkan Investor

GETARBABEL.COM, BANGKA– Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Bangka Mulkan-Ramadian…

“Ngamen kek Lawang Budaya”, Sanggar ini Siap Tampil dalam Parade Tari Nusantara

SUNGAILIAT— Sanggar Seni Lawang Budaya Kabupaten Bangka mewakili Provinsi Kepulauan…

POPULER

HUKUM

mediaonlinenatal2024ok

IPTEK

PolitikUang-Copy

TEKNOLOGI