Dagang Sapi Politik: Kepentingan Elit vs Harapan Rakyat

IMG-20240819-WA0123

Oleh: Zulkarnain Alijudin || Mantan Ketua KPU Bangka

Fenomena politik dagang sapi ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Ia tumbuh subur di tengah lemahnya kaderisasi partai politik di Bangka, di mana partai lebih berperan sebagai kendaraan pencalonan ketimbang rumah ideologi dan pembinaan calon pemimpin. Banyak partai justru menjadi broker politik, membuka pintu pencalonan bagi siapa saja yang mampu menyodorkan “tiket masuk”—bukan lewat prestasi, tapi kontribusi materi.

Di balik layar, proses pencalonan bukan soal siapa yang paling layak, tetapi siapa yang bisa menutupi biaya operasional partai, mengamankan logistik kampanye, dan menjanjikan posisi strategis usai terpilih. Konstelasi ini menciptakan ruang gelap demokrasi, di mana rakyat hanya menjadi penonton yang disuguhi pertunjukan politik penuh kepura-puraan.

Beberapa tokoh yang mencalonkan diri bahkan berasal dari kelompok birokrat yang sedang menuju masa pensiun. Dengan memanfaatkan jaringan struktural, mereka mengemas diri sebagai sosok berpengalaman, padahal sebagian besar hanya ingin memperpanjang masa pengaruh dan mengamankan masa depan politik dan ekonomi mereka. Di sisi lain, muncul pula para “pendatang baru”—bukan dari kader partai, tapi dari latar belakang pengusaha atau pemilik modal yang melihat politik lokal sebagai investasi jangka menengah.

Padahal, Pilkada ulang semestinya menjadi refleksi dari kegagalan politik sebelumnya, dan menjadi ruang bagi rakyat untuk mengevaluasi. Namun yang terjadi justru sebaliknya: kontestasi kembali direbut oleh elit yang itu-itu saja, hanya berganti pasangan, berganti narasi, tapi tetap menjual kepentingan yang sama.

Bangka Butuh Politik Gagasan, Bukan Transaksi

Masyarakat Bangka hari ini menghadapi persoalan serius: ketimpangan pembangunan, lemahnya pelayanan publik, isu tata kelola lingkungan, dan lapangan kerja yang menyempit. Tapi dalam pusaran pilkada, isu-isu strategis ini nyaris tenggelam oleh gemerlap baliho, seremonial deklarasi, dan kampanye populis yang miskin substansi.

Sudah saatnya publik Bangka lebih kritis. Jangan biarkan suara rakyat kembali dibarter dengan janji proyek, bantuan sembako, atau uang tunai menjelang pemungutan suara. Demokrasi tidak boleh dijual murah. Kedaulatan rakyat harus dikembalikan ke tangan pemilih yang cerdas dan berdaulat atas pilihannya.

Jika pilkada terus dikendalikan oleh kalkulasi transaksional, maka yang lahir bukan pemimpin, tapi pemodal. Yang terpilih bukan pelayan rakyat, melainkan operator kepentingan. Akibatnya, Bangka akan kembali terjebak dalam siklus stagnasi politik dan pembangunan yang tak berpihak pada kebutuhan masyarakat luas.

Penutup: Lawan Dagang Sapi dengan Kesadaran Politik

Politik dagang sapi hanya bisa dilawan dengan kesadaran politik kolektif. Masyarakat harus mulai menagih janji, menelisik rekam jejak, dan menolak iming-iming jangka pendek. Media lokal, tokoh masyarakat, dan organisasi sipil pun harus aktif membongkar praktik-praktik curang, serta memberi ruang bagi debat publik yang sehat dan terbuka.

Pilkada ulang Bangka 2025 adalah momentum. Ia bisa menjadi titik balik, atau justru pengulangan keburukan. Tergantung pada siapa yang lebih kuat: kekuatan uang, atau kesadaran rakyat. (*)

Posted in

BERITA LAINNYA

Rapat Pleno Pengundian Nomor Urut Paslon Bupati, Polres Bangka Kerahkan 55 Personel

GETARBABEL.COM, BANGKA — Polres Bangka melakukan pengamanan dalam kegiatan Rapat…

Purchasing Manager’s Index (PMI) Meningkat, Kinerja Industri Menggembirakan

“Kinerja industri cukup menggembirakan, ditunjukkan dengan Purchasing Manager’s Index (PMI)…

Siap Juarai Kejurprov, Bupati Algafry Kobarkan Semangat Kontingen Drum Band Bateng

GETARBABELCOM, BANGKA TENGAH– Bangka Tengah siap berkompetisi dan menjuarai event…

POPULER

HUKUM

hipk

IPTEK

drone

TEKNOLOGI