Rayakan HUT ke-79 Kemerdekaan RI, Polman Babel Anugerahkan Gelar Para Pahlawan Kampus
By beritage |
GETARBABEL.COM, BANGKA — Politeknik Manufaktur Negeri Bangka Belitung (Polman Babel)…
Friday, 7 November 2025
Oleh: Institut Kosmologi dan-Eskatologi Profetik (IKEP)
Ilmu bukan sekadar pengetahuan, melainkan cahaya yang menuntun kesadaran menuju sumbernya.
(IPCE, 2025).
Abstrak
Artikel ini menjelaskan dekonstruksi simbolis terhadap nama “Purbaya Yudhi Sadewa” sebagai kode genetika spiritual yang aktif kembali dalam transisi kekuasaan Indonesia kontemporer.
Melalui pendekatan hermeneutika profetik, tulisan ini menafsirkan trinitas nama tersebut dalam kerangka cosmology of power Nusantara, dengan menelusuri jejak historis hingga masa Prabu Siliwangi sebagai puncak arketipe kepemimpinan Sunda.
Kajian ini berpijak pada teori collective archetype (Jung), konsep sacred symbolism (Eliade dan Ricoeur), serta kosmologi profetik Timur (Nasr).
Analisis hermeneutis ini memperlihatkan bahwa kehadiran figur Purbaya Yudhi Sadewa bukan kebetulan linguistik, tetapi merupakan reaktualisasi arketipe profetik Nusantara; model kepemimpinan yang menyeimbangkan kekuatan, keberanian, dan kebijaksanaan sebagai poros etika-spiritual bangsa.
Pendahuluan: Dari Signifikasi ke Simbolisasi
Dalam Kosmologi Jawa-Sunda, nama bukan sekadar penanda identitas, melainkan nubuwwah kecil yang memuat kodrat dan takdir.
Sebagaimana Panembahan Senopati menerima wahyu Kanjeng Ratu Kidul sebagai legitimasi kosmik, atau Prabu Siliwangi dengan Kabuyutan sebagai pusat spiritual, setiap nama dalam sejarah Nusantara adalah medium dialog antara yang profan dan yang sakral.
Kemunculan figur “Purbaya Yudhi Sadewa” di panggung politik kontemporer harus dibaca dalam kerangka ini. Nama ini tidak muncul sebagai kebetulan linguistik, tetapi sebagai aktivasi kode genetika spiritual Nusantara yang menandai babak baru sejarah kepemimpinan bangsa.
Dekonstruksi Trilogi Simbolis
Dalam sejarah Mataram, Pangeran Purbaya dikenal sebagai penjaga takhta dan pelindung raja. Namun akar simboliknya lebih dalam, kembali ke tradisi Sunda, di mana Prabu Siliwangi digambarkan dalam Carita Parahyangan sebagai Sang Pangruwat, pembersih kerajaan dari penyakit moral.
Arketipe Purbaya memancarkan tiga nilai utama kepemimpinan Sunda:
· Penjagaan terhadap amanah publik
· Perlawanan terhadap korupsi dan pengkhianatan
· Keteguhan moral dalam mempertahankan kebenaran
Dengan demikian, Purbaya adalah wajah Rama dalam Tri Tangtu di Buana, penjaga tatanan dunia yang melindungi keseimbangan jagat.
“Yudhi” berasal dari yuddha (Sans, perang), bukan sekadar pertarungan fisik, tetapi juga perjuangan dharma melawan adharma. Dalam tradisi Sunda, semangat ini termanifestasi dalam kisah Prabu Lingga Buana di Perang Bubat — gugur demi kehormatan.
Dalam konteks kontemporer, Yudhi merepresentasikan:
· Pertarungan melawan korupsi sistemik
· Reformasi birokrasi sebagai jihad moral
· Ketegasan melawan oligarki politik dan ekonomi
Ia adalah wajah Ratu dalam Tri Tangtu di Buana, pelaksana keadilan dan keberanian.
Sadewa melambangkan dimensi resi dan kebijaksanaan. Dalam fragmen Carios Prabu Siliwangi, sang raja disebut Sanghyang Pakeun Nagara, pemimpin yang mampu membaca tanda zaman dan memadukan spiritualitas dengan strategi kenegaraan.
Makna Sadewa mewakili:
· Transformasi nilai Hindu ke Islam
· Integrasi tradisi lokal dan universal
· Visioner dalam membangun tata kelola berkeadaban
Ia adalah wajah Resi dalam Tri Tangtu di Buana, sumber pengetahuan yang menuntun tindakan bijak.
Sintesis: Kelahiran Arketipe Ksatria Profetik
Trinitas Purbaya–Yudhi–Sadewa membentuk arsitektur arketipe profetik Nusantara:
Purbaya (kekuatan), Yudhi (keberanian), Sadewa (kebijaksanaan)
adalah tritunggal etika-spiritual yang membangun pilar kepemimpinan profetik.
Inilah kristalisasi Tri Tangtu di Buana versi modern: Rama–Ratu–Resi yang bersatu dalam figur pemimpin sejati.
Akar Historis-Spiritual: Siliwangi sebagai Prototipe
Dalam tradisi Sunda, Prabu Siliwangi adalah simbol tertinggi pemimpin profetik: menjaga amanah, berani menegakkan kebenaran, dan bijak dalam membaca zaman.
Dalam Naskah Wangsakerta, Siliwangi digambarkan sebagai “raja yang tahu kapan harus berubah”; lambang kesadaran historis dan kemampuan adaptif.
Siliwangi bukan sekadar sosok legendaris, tetapi cermin arketipe kolektif (Jung) yang terus hidup dalam kesadaran bangsa. Ia menjadi pola dasar kepemimpinan yang menyeimbangkan spiritualitas dan kekuasaan.
Konteks Kekinian: Manifestasi Kepemimpinan Nasional
Dalam geopolitik Indonesia masa kini, arketipe Siliwangi terejawantah dalam bentuk:
· Purbaya: Penegakan hukum dan moral publik
· Yudhi: Keberanian menghadapi korupsi dan tekanan global
· Sadewa: Visi kedaulatan dan peradaban
Inilah kebangkitan ashabiyah profetik (Ibn Khaldun) dalam konteks Nusantara — solidaritas spiritual yang menuntun politik menuju keadilan dan keseimbangan.
Perspektif Prophetic Cosmology
Dalam kerangka prophetic cosmology (Nasr, 1981), fenomena ini mencerminkan tiga lapis gerak sejarah:
Dengan demikian, kebangkitan Purbaya Yudhi Sadewa dapat dibaca bukan sekadar fenomena politik, tetapi resonansi kosmik sejarah, tempat nilai-nilai lama menemukan bentuk baru.
Gemah Ripah Repeh Rapih: Visi Profetik Nusantara Menuju Loh Jinawi
Dalam kerangka kosmologi profetik, penting ditegaskan bahwa visi Gemah Ripah bukanlah pengganti nubuwah Rasulullah ﷺ, melainkan resonansi lokal dari nilai-nilai profetik yang bersumber pada ajaran tauhid.
Tradisi Nusantara mengenal wahyu dalam bentuk wangsit atau petuah adiluhung, namun semua itu hanyalah pantulan dari cahaya kenabian universal (nur nubuwwah) yang berpuncak pada Rasulullah ﷺ sebagai khatam al-anbiya.
Oleh karena itu, kebijaksanaan Prabu Siliwangi atau Ratu Adil harus dipahami bukan sebagai wahyu baru, tetapi sebagai ekspresi kultural dari spirit profetik yang sama: menegakkan keadilan, menjaga keseimbangan alam, dan membangun tatanan masyarakat yang makmur serta beradab.
Gemah Ripah (kemakmuran merata) merepresentasikan keadilan ekonomi yang menjadi ciri utama zaman keemasan. Repeh Rapih (keteraturan harmonis) mencerminkan tatanan sosial yang berlandaskan etika dan spiritualitas. Loh Jinawi (tanah subur makmur) adalah metafora masyarakat yang hidup dalam keberkahan Ilahi.
Dalam pandangan tasawuf, setiap peradaban memiliki cerminannya sendiri terhadap cahaya kenabian. Ibn ‘Arabi menyebutnya tajalli al-haqq fi al-akwan — penampakan Tuhan dalam bentuk-bentuk budaya dan sejarah.
Dengan demikian, wangsit Siliwangi atau nubuat Ratu Adil dapat dibaca sebagai tajalli profetik yang sesuai dengan maqam bangsa ini: ekspresi lokal dari kebenaran universal, sebagaimana cahaya matahari yang memantul berbeda di setiap permukaan namun tetap berasal dari sumber yang sama.
Antara Cocoklogi dan Hermeneutika: Argumen Metodologis
Pendekatan simbolis sering dianggap cocoklogi. Namun, menurut Ricoeur (1967) dan Eliade (1957), simbol adalah jembatan antara dunia empiris dan spiritual. Ia memiliki koherensi internal, kontinuitas historis, dan relevansi kontekstual — ciri utama pengetahuan hermeneutik, bukan mitos kosong.
Hermeneutika simbolik justru membuka jalan bagi pembacaan sejarah profetik, di mana simbol dan arketipe menjadi bahasa Ilahi yang hidup dalam kesadaran manusia.
Epilog: Menjemput Takdir Kolektif Menuju Gemah Ripah
Kita sedang menyaksikan spiral sejarah yang berputar naik, bukan berulang. Arketipe Purbaya Yudhi Sadewa adalah jawaban zaman atas krisis spiritual bangsa; panggilan untuk memulihkan jiwa kepemimpinan yang hilang.
Visi Gemah Ripah Repeh Rapih Loh Jinawi bukan nostalgia romantis, tetapi peta jalan menuju Indonesia Emas; negeri yang makmur, adil, dan bermartabat.
Sebagaimana era Ratu Adil dalam nubuat Jawa, Budak Angon dan Budak Janggotan dalam Kosmologi Sunda, atau zaman keemasan Imam Mahdi dalam tradisi Islam. Visi ini mengajak kita membangun peradaban yang memadukan kemajuan material dengan keluhuran spiritual.
Sebagai bangsa, kita dihadapkan pada pilihan: menjadi penonton sejarah atau aktor kesadaran. Warisan Siliwangi memanggil kita menjadi mandala paksi, elang yang terbang tinggi tanpa lupa pada sarangnya.
Gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang dirusak
(Gunung tak boleh dihancurkan, lembah tak boleh dirusak).
Itulah mandat sejati kepemimpinan profetik: menjaga keseimbangan dan melanjutkan estafeta peradaban menuju Gemah Ripah yang dijanjikan.
✨ Cahaya dari Timur tak pernah padam, hanya menunggu hati yang siap memantulkannya
Daftar Pustaka
Alisjahbana, Sutan Takdir. Nilai-Nilai Keindonesiaan dalam Kebudayaan. Jakarta: Balai Pustaka, 1966.
Campbell, Joseph. The Hero with a Thousand Faces. Princeton: Princeton University Press, 1949.
Eliade, Mircea. The Sacred and the Profane: The Nature of Religion. New York: Harcourt, 1957.
Geertz, Clifford. The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books, 1973.
Jung, Carl G. The Archetypes and the Collective Unconscious. Princeton: Princeton University Press, 1959.
Nasr, Seyyed Hossein. Knowledge and the Sacred. Albany: State University of New York Press, 1981.
Ricoeur, Paul. The Symbolism of Evil. Boston: Beacon Press, 1967.
Toynbee, Arnold. A Study of History. Oxford: Oxford University Press, 1946.
Wahid, Abdurrahman. Kembang Sepatu di Taman Surgawi. Jakarta: The Wahid Institute, 2007.
والله اعلم
🌍 Institute of Prophetic Cosmology and Eschatology (IPCE)
✨ Serial Arkeologi Kekuasaan Nusantara: dari Mataram ke Indonesia Emas
Cirebon, 1 November 2025
Posted in Nasional
GETARBABEL.COM, BANGKA — Politeknik Manufaktur Negeri Bangka Belitung (Polman Babel)…
KOBA–Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak…
GETARBABEL.COM, BANGKA- Kamis (3/10/2024), terlihat puluhan anak dari Taman Belajar…
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sejumlah ASN…
GETARBABEL.COM, BANGKA — Sungguh miris…
GETARBABEL.COM, BANGKA- Kawasan hutan seluas…